Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Perkawinan
bagi manusia bukan hanya sebagai pernyataan (statemen) yang
mengandung keizinan untuk melakukan hubungan seksual sebagai suami isteri,
tetapi juga merupakan tempat berputarnya hidup kemasyarakatan. Dengan demikian,
perkawinan mempunyai arti yang amat penting
dalam kehidupan manusia dan merupakan pola kebudayaan untuk
mengendalikan serta membentuk pondasi yang kuat dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu, kalimat perkawinan bukan hanya sekedar kalimat justifikasi
untuk sebuah bentuk atau wadah berkumpulnya hidup bersama antara dua jenis
kelamin berbeda, tetapi lebih agung di dalamnya adalah adanya nilai sakral yang
bersandar pada nilai ruh ilahiyah sebagai muara ridla dalam penghayatan
perkawinan itu sendiri.
umat Islam di Indonesia adalah
unsur paling mayoritas, bahkan komunitas muslim paling besar dalam satu negara
di dunia. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan
sejarah hukum perkawinan Islam. Hal ini untuk mengetahui minimal dua hal. Pertama,
seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air. Kedua, apakah pijakan bagi umat Islam untuk menentukan strategi yang tepat di masa
depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan”
bangsa ini dengan hukum Islam.
Oleh karena itu perlu
pamahaman yang komprehensif terhadap aturan hukum perkawinan Islam di
Indonesia, terutama dari sisi sejarah. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Von
Savigni, pelopor mazhab Sejarah Hukum, bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan
hidup dan berkembang di dalam masyarakat.3 Dari sisi inilah artikel
ini akan membahas hukum perkawinan Islam di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masa
Kolonialis Belanda
Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda
telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh penduduk pribumi,
berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living Law) atau
berupa Hukum Adat (customary law), maupun Hukum Islam. Kehadiran para
kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang
dianut oleh masyarakat pribumi yang dikuasai oleh pemerintahan kolonialis
Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem
Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil
law).[1] Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda
kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur Jenderal
yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya disebelah utara pantai Jawa, yang
intinnya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan
perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon
keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24
Januari1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 tentang
pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari
teori Van den Berg yang menganut paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi
adalah hukum agama yang dipeluknya.[2]
Namun, peradilan-peradilan di atas mendapat
ujian dari masyarakat pribumi sendiri yang berada di beberapa daerah di
luar Jawa yang masih mempunyai peradilan asli di daerah-daerah tertentu.
sehingga dalam renah pidana peraturan yang berupaWetboek van Strafrecht tidak diberlakukan pada daerah tersebut, hanyan saja ada rangkaian
pasal-pasal yang oleh undang-undang tahun 1932 No. 80 dinyatakan berlaku. Dalam
bidang keperdataan permasalahan di atas juga menjadi ancaman yang serius bagi
peraturan perundang-undang yang dibangun pada masa pemerintahan hindia belanda,
sehingga, muncullah beberapa keputusan atau peraturan baru dari pemerintahan
Hindia Belanda, yakni:[3]
1 Hukum yang
berlaku untuk semua penduduk, misalnya Undang-Undang Hak Pengarang
undang-undang milik perindustrian, dan lain sebagainya.
2. Hukum Adat
yang berlaku untuk semua orang asli Indonesia.
3. Hukum
Islam untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai beberapa
bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 I.S.) berlakunya
hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang tersebut menganut
hukum Islam.
4. Hukum yang
khusus diciptakan untuk orang Indonesia asli, yang berupa undang-undang
seperti undang-undang (ordonansi) tentang maskapai andil Indonesia,
undang-undang (ordonansi) perkawinan orang Indonesia Kristen, dan lain
sebagainya.
5. Burgerlijk
Werboek van Koophandel, yang diperuntukkan mula-mula bagi orang
Eropa, kemudian dinyatakan berlaku untuk orang Tionghoa, sedangkan beberpa
bagian (terutama dari W.v.K.) juga telah dinyatakan berlaku untuk orang
Indonesia asli, misalnnya hukum perkapalan (hukum laut).
Pada masa penjajahan Belanda tidak ditemukan
rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau
kodifikasi Hukum Islam dalam renah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus
perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama, namun yang digunakan adalah
hanya kitab-kitab fikih klasik atau ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh
ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa hukum
Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus
kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam
itu sendiri.[4] Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang
perkawinan yang berlaku, pemerintahan hindia belanda menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum
perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25
Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia
Timur (V.O.C), atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765)
kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga
oleh V.O.C diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan
sepucuk surat V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus
dibiarkan sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.[5]
Masalah pengebirian hukum Islam pada masa
pemerintahan Hindia Belanda ada yang berpendapat bahwa sejak lahirnya Stbl 1820
No.24 pasal 13 yang diperjelas dalam Stbl 1835 No.58 yang berisi sebagai
berikut: apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain
mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang
sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka pendeta memberi putusan,
tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para
pendeta itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa. Pada
perkembangan berikutnya muncul Stbl 1882 No.152 tentang pembentukan peradilan
Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan lahirnya Stbl ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan
Hindia Belanda masih mengakui keberadaan Hukum Islam dan dijadikan dasar dalam
menyelesaikan masalah-masalah di kalangan orang Islam. Ada juga yang
berpendapat bahwa pengebirian terjadi sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan
dicabut berlakunya Compendium Freijer, sebab dengan pencabutan itu secara tekstual, hukum perkawinan
yang berlaku adalah hukum adat, keculai orang-orang kristen, berlaku
undang-undang kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang berpendapat
pengebirian terjadi sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S. (Indische
Staatsregeling) tahun 1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam
diadili oleh Pengadilan Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh
hukum adat mereka. Sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische
Staatsregeling).[6]
Belanda masuk ke Indonesia
pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische
Compagnie(VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap
dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga)
Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh
penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan
kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana
mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan
buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus
perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar”
di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab
ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para Hakim di
Kerapatan Kadi di Banjar Masin, kemudian
kitab “Sajirat al-Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di
Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.[7] Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium
Freijer, mengikuti nama penghimpunnya.[8]
Pada awalnya Belanda melalui
VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan
masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka
berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan
yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda
ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli
yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa
VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan
sebagaimana mestinya. [9]
Masa VOC berakhir dengan
masuknya Inggris pada tahun 1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali
berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun
melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat
dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu
Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2). Dalam
perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori
ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”. Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial
Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat
Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche
Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis:
”sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu
akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”[10]
Dalam Indesche
Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; Untuk golongan bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang
Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan
dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan
diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.[11]
Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada
tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda
agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan
mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah. Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun
rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie
op de Ingeschrevern Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya
sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar
karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta
perceraian yang diputuskan oleh hakim.[12] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan
bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu,
Budha, Animis. Namun, rancangan ordonansi tersebut di
tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang
setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi
dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).
Sampai berakhirnya masa penjajahan,
Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum
material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh
Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku
untuk golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI)
yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan
Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau
GHR. [13]
B. Masa
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Untuk mengawali pembahasan tentang Hukum
Perkawinan Indonesia setelah masa Proklamasi, ada ungkapan yang sangat menarik
dari Kansil, dia mengatakan bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat
harus mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun
dalam bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup
Bangsanya. Kalau Prnacis dapat menggunakan Code Civil yang menjadi kebanggaannya.
Swiss mempunyai Zivil Gezetzbuch yang juga terkenal. RRC dan Philipina sudah mempunyaiCode Civil juga. Maka bagaimana dengan Indonesia, sampai dewasa ini belum
juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu asingnya Kitab Undang-Undang Nasional,
baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan.[14] Prof. A. Qodri mengatkan, memang harus diakui Indonesia setelah
merdeka lebih dari setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh
yang berisi hukum nasional yang asli produk bangsa ini, undang-undang yang ada
masih berupa peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga
Legislatif.
Berangkat dari pemikiran adanya tiga pilar
penyangga hukum setelah era kemerdekaan, maka aparat penegak hukum mulai
dibenahi atau berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demi
satu mulai dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu. Harus
diakui bahwa ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak lagi
berjalan di tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan
keberadaannya, yaitu Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN
(Pegawai Pencatat Perkawinan) adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum
perkawinan dan perwakafan. PPN diberi tanggung jawab selaku pegawai pembuat
akta ikrar wakaf (PPAIW), lembaga ini berperan besar dalam membentuk keluarga
muslim dan ikut serta secara fisik dalam pembangunan nasional melalui lembaga
perwakafan dibidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, sekaligus penyelamatan
tanah-tanah wakaf yang berjumlah ribuan hektar.[15]
Pada tanggal 3 Januari 1946 berdirilah
Departemen Agama, Amrullah Ahmad mengatakan bahwa pada saat itu Departemen
Agama tidak sajak mengurusi agama Islam saja, tetapi mengurusi semua agama yang
diakui di negara ini. Pada tanggal 21 November 1946 ketika bangsa Indonesia
menghadapi Belanda yang bermaksud menjajah kembali bangsa ini, seiring dengan
realita ini juga dikeluarkan undang-undang tentang pencatatan nikah, talak, dan
rujuk, yaitu undang-undang No.22 tahun 1946. Sedianya, undang-undang tersebut
hendak diberlakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia. Namun, karena situasi
belum memungkinkan, maka untuk sementara hanya diberlakukan di Jawa dan Madura.
Kemudian pada tahun 1954, dengan undang-undang No. 32, diberlakukan di seluruh
kawasan Indonesia. Apabila dicermati secara eksplisit, sebenarnya undang-undang
tersebut tidak hanya mengenai masalah pencatatan saja, namun menegaskan bahwa: pertama, PPN harus mengawasi nikah yang
dilakukan menurut hukum Islam; dan mencatat nikah, talak dan talak yang
diberitahukan kepadanya. Mengawasi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
yaitu, PPN harus hadir pada saat akad nikah dilangsungkan, lalu mencatatnya; kedua, memeriksa ketika pihak-pihak
yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya untuk menikah, apakah terdapat
halangan atau larangan baik menurut hukum Islam ataukah menurut undang-undang,
maka dengan alasan itu PPN dapat menolak pelaksanaan pernikahan itu. Untuk
memperkuat wewenang PPN sebagai penegak pernikahan apakah pernikahan itu boleh
dilakukan atau tidak, maka undang-undang perkawinan memperkuat pengaturannya
dalam pasal 20 undang-undang perkawinan.[16]
Keadaan demikian rupanya mendapat
perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau
tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh
Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.[17] Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi
Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah
(PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun
1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang
belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami,
mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami
terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa
idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun
1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan
Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau
kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan.
Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950
dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950
dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk
bagi umat Islam.[18] Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang
dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang
yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai
aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.[19]
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang
Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan
dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai
golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari
1953. Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan
unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan
antara lain :
- Perkawinan
harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah
kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi
perempuan
- Suami
isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
- Poligami
diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang
bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
- Harta
bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;
- Perceraian
diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang
tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
- Kedudukan
anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak
dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan
perwalian.[20]
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasikemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
- Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidakmenyinggung agama.
- Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golonganIslam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
- Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama agama.[21]
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 denganpenjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintahmengenai soal undang undang perkawinan itu.[22]
Pada tahun 1967 dan 1968 pemerintah
menyampaikan dua buah rancangan undang-undang kepada DPRGR (DPR Gotong Royong),
RUU tentang pernikahan umut Islam dan RUU tentang pokok perkawinan. Hal ini
untuk merespon TAP MPRS No. XXVIII/MPRS?1966 yang menyatakan dalam pasal 1 ayat
3 bahwa negara perlu diadkan UU tentang perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan
oleh DPRGR di tahun 1968, yang akhirnya tidak mendapat persetujuan dari DPRGR
berdasarkan keputusan tanggal 5 Januari 1968. Adapun alasan tidak dapat
disahkannya, karena ada salah satu fraksi yang menolak, dan dua fraksi yang
absen, meskipun sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya. Kemudian pada awal tahun
1967, Mentri Agama KH. Moh. Dahlan, mengajukan kembali RUU penikahan umat Islam
untuk dibahas oleh dewan. Dalam waktu yang hampir sama Departemen Kehakiman
menyusun RUU tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berjiwa Pancasila
dan disampaikan ke DPR pada September 1967, dengan maksud RUU dari Departemen
Kehakiman sebagai RUU Pokok dan dari Departemen Agama sebagai RUU Pelaksana.
Rancangan ini kembali gagal disahkan, sebab anggota DPR tidak bergairah
membahas alasannya karena penyusunannya didasarkan pada perbedaan pandangan.
Akhirnya kerja keras membuatkan hasil, pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah
dapat menyiapkan RUU Perkawinan No. R. 02/PU/VII/1973 dan disampaikan kepada
DPR yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Hasil ini tidak bisa dipisahkan dari
partisipasi ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) yang mendesak pemerintah
pada tanggal 22 Pebruari 1972. RUU ini mempunyai tujuan yakni, memberikan
kepastian hukum bagi permasalahan perkawian, sebab sebelumnya undang-undang
bersifat Judge Made Law; memenuhi hak-hak kaum wanita dan memenuhi harapannya;
menciptakan undang-undang yang memenuhi tuntunan zaman. Keterangan tentang RUU
di sampaikan oleh Mentri Kehakiman Umar Senoaji S.H. pada tanggal 30 Agustus
1973. Kemudian di jawab oleh Pemerintah diberikan oeh Mentri Agama Mukti Ali
pada tanggal 27 September 1973, dan hasil akhir yang disahkan oleh DPR adalah
terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal.
Namun, RUU ini tidak mulus dalam
perancangannya kontroversi terjadi di dalam maupun di luar gedung baik secara
perseorangan maupun organisai-organisasi. Protes yang besar-besaran muncul dari
organisasi Sarekat Istri Jakarta yang mengecam tentang pasal-pasal yang
melarang tentang poligami. Begitu juga dengan Ratna Sari sebagai ketua
Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang tidak setuju kalau poligami dianggap
merendahkan status wanita, dengan alasan bahwa Islam membolehkan
poligami, bukan menganjurkan. Demikian juga saat-saat RUU di DPR sejumlah
respon negatif muncul, baik melalui perseorangan maupun organisai. Di antara
kritik tersebut misalnya dapat dicatat pandangan Asmah Sjahroni, wakil dari
fraksi persatuan pembangunan (FPP), yang menyebut bahwa RUU tersebut menjadi
Indikasi pencabutan Hukum Perkawinan Adat dan Perkawian Hukum Islam. Lebih dari
itu sejumlah demonstran di jalanan dengan seruan Allahu Akbar mengutuk
rancangan itu sebagai perbuatan Sekular. Bahkan pada tanggal 27 September 1973
telah terjadi keributan di dalam gedung DPR. Awalnya para mahasiswa ini hanya
duduk-duduk di balkon memperhatikan jalannya sidang umum. Akan tetapi, ketika
Mentri Agama R.I. Mukti Ali ketika itu naik mimbar menyampaikan pendiriannya
mengenai rancangan tersebut, para mahasiswa mulai berteriak-teriak. Karena
sejumlah aparat keamanan tidak mampu membendung keributan, maka sidang ditunda
sewaktu Mukti Ali menyampaikan pidatonya.[23]
Demikian perjalanan hukum perkawinan
Indonesia walaupun penuh dengan kontroversi dan rintangan yang ada, sehingga
pada 2 Januari 1974 RUU ini disahkan oleh DPR RI. Namun, undang-undang ini
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, alasan yang diberikan
seperti tertulis dalam penjelasan umum Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun
1975). Karena untuk pelaksanaan peraturan ini perlu langkah-langkah persiapan
dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari beberapa Departemen atau
Instansi yang terkait.[24]
BAB
III
KESIMPULAN
1. Hukum perkawinan Islam pada era kolinialisme
Belanda
a. Seiring
dengan masuknya penjajah ke Indonesia yang di awali dengan VOC ternyata hukum
perkawinan mengalami kemajuan, khususnya bagi umat Islam pada masa itu,
ditandai dengan VOC tetap meberlakukan hukum perkawinan yang telah dibuat para
penguasa kerajaan-kerajaan Islam bahkan VOC pada waktu menerbitkan beberapa
kitab-kitab karangan ulama Islam agar dijadikan pedoman bagi para penghulu atau
Hakim pada Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama dalam struktur masyarakat
pada saat itu, hal ini berjalan selama 2 abad pendudukan VOC di Nusantara.
b. Setelah
masa VOC berakhir, maka pemerintahan Hindia Belanda menggantikannya. Pada masa
ini pemerintah colonial Belanda membuat beberapa hukum perkawinan yaitu : Bagi
orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat, bagi orang-orang Indonesia asli
beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam, bagi orang-orang Indonesia asli
beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI), bagi warga Negara
keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW),
bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898
No. 158) atau GHR. Sampai berakhirnya masa penjajahan ternyata tidak satupun
hukum perkawinan yang dapat mengayomi cita hukum seluruh masyarakat di
Indonesia
2. Pada
era reformasi atau kemerdekaan Indonesia
a. Setelah
berakhirnya masa penjajahan atau setelah kemerdekaan hukum perkawinan mendapat
perhatian dari pemerintah, terkhusus bagi umat Islam karena setahun setelah
kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946 pemerintah membuat peraturan perkawinan
dengan menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, yang pada akhirnya
berdasarkan undaang-undang No. 32 tahun 1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
b. Pada tahun 1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas
RUU perkawinan nasioanal, karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar
Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana
undang-undang perkawinan. RUU Gagasan pemerintah tersebut ternyata menuai
banyak perdebatan dari lapisan rakyat Indonesia yang akibatnya sampai tahun
1965 atau masa berakhirnya rezim orde lama tersebut, hukum perkawinan nasional
yang dicita-citakan rakyat Indonesia tidak terwujud.
c. Pada masa kemerdekaan selanjutnya keinginan untuk mewujudkan UU perwakilan bangkit kembali, yang
berujung dengan diajukannya RUU perkawinan oleh Menteri Kehakiman sebagai
perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun demikian
ternyata draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat
Islam yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam.
Dengan perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal
2 Januari 1974 RUU perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang.
[1] A. Qodri Azizy., ed. Hukum
Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”, (Bandung: Teraju, 2004), hlm.
137-139
[2] Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi
Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 55.
[3] A. Qodri Azizy., Hukum
Nasional, 2004, hlm. 140-141
[4] A. Rosyadi dan Rais Ahmad., Formalisasi
Syari’at Islam, 2006,
hlm. 91
[5] Khairuddin Nasution., Hukum
Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum perkawinan di dunia
Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA
dan ACAdeMIA, 2009), hlm. 20-21.
[6] Ibid., hlm. 21-22.
[7] Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2012), hlm.
xii.
[8] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 11.
[9] Ahmad Rofiq., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), hlm. 49-50.
[10] Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
(Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hlm. 11.
[12] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 9-10.
[13] Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi
Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2013), hlm. 100.
[14] A. Qodri Azizy., Hukum
Nasional, 2004, hlm. 142.
[15] Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi
Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, 1996,
hlm. 56-57
[16] Ibid., hlm. 57-58.
[18] Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Di Indonesia, (BulanBintang,
Jakarta, 1978), hlm. 9.
[21] T. Jafizham, Persintuhan
Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977),hlm.
180.
[23] Ibid., hlm. 41-43
[24] Ibid., hlm.46
Komentar
Posting Komentar