Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al Qur’an adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, ia merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT dengan lafadz dan sekaligus maknanya, ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab. Meskipun sebagian kecil kata-katanya tidak berasal dari bahasa Arab, tapi sudah dimasukkan dalam bahasa Arab. Karena tiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa lain dan setiap kata dijelaskan oleh sesuatu yang dilihat dirasakan dan diketahui.
Karena itu ulama ushul fiqih telah berupaya dengan mengikuti lebih dalam tentang lafadz yang ada di dalam al Qur’an dengan meniliti klasifikasi lafadz dan berbagai problematika pentakwilan makna. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan secara gamblang tentang klasifkasi lafadz dari segi kejelasan makna dan problematika pentakwilan makna.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Dzahir Dalalah ?
2.      Apa Pengertian Khafi Dalalah ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Dzhohir Dalalah
Dzhohirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.
Dzhohirud dalalah itu ada 4 tingkat :
1.      Zhahir

Yang dimaksud dengan zhahir adalah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu sendiri.[1]
Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih dapat ditakwilkan di tafsiran dan dapat pula di nasakhkan pada masa Rasulullah SAW, misalnya firman Allah :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
 dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari lafadz “ fankihu ma thaaba lakum minan nisa’i”  ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi, akan tetapi kalau kita perhatikan siyaqul kalan (rangkaian pembicaraan) maka bukan itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini yaitu 4 orang sekali pegang.
Hukum lafadz zhahir itu wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendakinya, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, menta’wilkan atau menasakhkannya.
2.      Nash
Lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan di nasakh dimasa Rasulullah SA, misalnya firman Allah[2] :


مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat  atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ( an Nisa:12)
Lafadz “washiyati” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para ahli waris.
Ketentuan lafadz nash itu sama dengan ketentuan hukum lafadz zhahir. Yakni wajib diamalkan menurut madlulnya (dalam hal ini mana yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil yang mentakwilkan, menafsirka atau menasakhnya.
3.      Mufassar

Mufassar ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shigat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita’wilkan dan ditafsirkan selain oleh syari’. Contoh :
                                                                                          فاجلدوا هم ثمانين جلدة
Maka deralah mereka delapan puluh kali.
Macam-macam mufassar :[3]
a.     Mufassar bidzatih yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh shigat lafadz dan siyaqul kalam tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafadz itu.
b.    Mufassar bighairih yaitu kejelasan maknanya di karenakan adanya penjelasan dari nash qath’I yang lain di luar lafadz itu.

4.      Muhkam

Lafadz muhkam ialah lafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam. Akan tetapi ia tidak dapat dita’wilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :

وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَا دَةً أَبَدًا
Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-lamanya. 
(QS. An Nuur : 4)

Dan Sabda Rasulullah :
أَلْجِهَا دُ مَا ضٍ إشلَى يَوْمِ الْقِيَا مَةِ
Jihad itu berlangsung sampai hari  kiamat.

Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah.

Macam-macam lafadz muhkan :
a.         Muhkam lidzatih yaitu lafazh muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya.
b.        Muhkam lighairihi yaitu lafadz muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan tetapi lafadz  itu dinukil oleh suatu lafadz lain yang menunjuk kepada kelestariannya.

B. Khafiyud Dalalah

Ulama’ Ushul telah membagi Lafadz  yang tidak terang pada empat bagian, yaitu: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih

1.    Khafi

Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan ( dilalah )-nya yang di sebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafadz sendiri.[4]
Al-Khafi menurut istilah ulama‘ ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam.[5]
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadznya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Contoh lafadz khafi ini adalah lafadz ” السارق  =  pencuri” yang mana sudah cukup jelas artinya yaitu “ Orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi”. Penerapan hukuman terhadap pencuri juga jelas, namun  lafadz “ pencuri “ itu mempunyai satuan arti yang banyak yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas.
2.    Musykil
Suatu lafadz yang samar artinya, di sebabkan oleh lafadz itu sendiri. Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafadz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya di perlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang di maksud oleh lafadz tersebut.
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri. Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
Umpamanya lafadz القرء dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Yang  bermakna ganda yaitu “suci” dan “haid”.Manakah diantara kedua arti itu yang dimaksud dalam ayat tersebut, iddah( masa tenggang waktu ) wanita yang dijatuhi thalak itu tiga haid ataukah tiga kali masa suci?. Imam Syafi’I dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suci. Petunjuknya yaitu memberikan tanda perempuan pada nama bilangan. Karena menurut bahasa, hal itu menunjukkan bahwa al-ma’dud adalah mudzakkar, yaituالاطهار (suci ) dan bukanالحيضات ( haid ). Sedangkan Ulama’  Hanafiyyah dan sekelompok mujtahid lain berpendapat bahwa kata tersebut adalah haid. Petunjuknya adalah:
1.      Hikmah disyari’atkannya hukum iddah bagi wanita yang dijatuhi thalak adalah untuk mengetahui bersihnya Rahim wanita itu dari benih-benih kehamilan, dan sesuatu  yang dapat menunjukkan hal ini adalah haid bukan suci.
2.      Firman Allah SWT. Q.S. Ath-Talak ( 65 ) : 4
والئ يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئ يحضن
3.      Sabda Rasulullah SAW:
طلاق الامة اثنتان وعدتها حيضتان
Cara untuk menghilangkan kesulitan al-musykil adalah dengan ijtihad. Apabila dalam nash itu terdapat lafadz yang musytarak, seorang mujtahid harus berusaha menemukan qarinah-qarinah dan dalil-dalil yang dijadikan oleh syari’ untuk menghilangkan kesulitan lafadz itu dan menentukan pengertiannya. Sebagaimana dimaklumi betapa jelas ijtihad para mujtahid  ketika menentukan pengertian lafadz القرء dalam ayat tersebut, serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam menentukan ini. Apabila terdapat beberapa nash sedang dzahirnya nampak terdapat perbedaan dan pertentangan,  maka seorang mujtahid harus mentakwilkan nash dengan benar dan dapat memberikan kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang mujtahid dapat memberikan petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan, selain berupa nash-nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah pembentukan hukum.[6]
Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karenanya lafadz tersebut termasuk dalam lafadz musykil.[7]
3.    Mujmal
Lafadz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
Lafadz mujmal ini lebih tidak jelas di bandingkan dengan lafadz-lafadz sebelumnya, karena lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui secara pasti artinya. Tambahan dari itu tidak ada qarinah yang memberi petunjuk. Oleh karena itu, untuk mengetahui apa sebenarnya yang di maksud dari lafadz itu sepenuhnya tergantung pada penjelasan dari yang mengucapkan lafadz itu, dalam hal ini adalah Nabi. Umpamanya kata shalat dan zakat yang terdapat dalam alqur’an, namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya.  Untuk itu penjelasannya di serahkan kepada Nabi.[8]
Tentang  bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi “ mufassar “ sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zhahir atau nash, dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam.Karena banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan  untuk satu diantara macam-macam kemungkinan tersebut.[9] Jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang.
Apabila dalam nash syara’ diantara lafadz-lafadznya terdapat lafadz, dan lafadz itu adalah mujmal,  maka pengertiannya harus ditangguhkan sampai ada penafsiran terhadap lafadz itu oleh syari’ sendiri. Karena itu ada al-sunnah dalam bentuk amal perbuatan atau ucapan untuk menafsirkan sholat dan menjelaskan rukun-rukun, syarat-syarat dan cara-caranya.
4.    Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah  lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1.    Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat dalam alqur’an.
2.    Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i ), sedangkan lafadz yang mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak meyakinkan ( dzanni ).[10]
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:
طه,   ص,   حم
يدالله فوق ايديهم
“ Tangan Allah diatastanganmereka “.( Q.S.Al-fath :10)

Huruf hijaiyyah terpotong-potong yang terdapat pada beberapa permulaan surat( didalam al-qur’an ) itu sendiri tidak menunjukkan artinya. Dan Allah SWT. Tidak menjelaskan arti yang dikehendaki daripadanya.  Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya, dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu ) tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
Pendapat ulama’ khalaf adalah bahwa ayat-ayat tersebut dzahirnya mustahil,  sebab Allah SWT. Tidak memiliki tangan, mata dan tempat. Segala sesuatu yang secara dzahiriyyah mustahil pengertiannya harus dita’wilkan dan dipalingkan dari arti dzahirnya, serta dimaksudkan dengannya arti yang dikandung oleh kata tersebut sekalipun dengan jalan majaz. Di dalamnya tidak terdapat penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya. Seperti “ tangan  Allah diatas tangan mereka ”  ta’wilnya ialah “ kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka “.[11]

















BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi Jelaslah bahwa dalam menanggapi teks teks yang ada dalam al Qur’an menggunakan beberapa lafadz di antaranya adalah lafadz dhahir setiap nash yang jelas dalalahnya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan dalalahnya yang ditunjukkannya nash yang mengandung takwil tidak boleh di takwil kecuali karena adanya dalil kemudian dasar perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak jelas dalalahnya adalah maknya yang dimaksud dalalah nash itu sendiri melalui cara memperhatikan faktor luar atau tidak.













Daftar Pustaka

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008
Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M





[1] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 268
[2]  Ibid., h.271
[3] Ibid., 277
[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012.hlm.102

[5] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.298
[6] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301

[7] Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340
[8] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media     Group, 2012.hlm.104-105

[9] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21
[10] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 22
[11] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf,  Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Lafadz ‘amm dan Khash