Ketersambungan Sanad


BAB  I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hampir seluruh umat Islam telah mengakui, bahwa hadis Nabi adalah salah satu sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an karena hadis Nabi memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan Al-Qur’an, maka ulama hadis mulai zaman Nabi telah memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis Nabi.
Ulama sangat besar perhatiannya kepada sanad hadis. Disamping juga matan hadis. Hal ini terlihat, sedikitnya, pada: pernyataan-pernyataan ulama yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis, banyak karya tulis ulama berkenanan dengan sanad hadis, dan dalam praktek, apabila ulama menghadapi suatu hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus, dengan demikian, sanad hadis memiliki kedudukan yang sangat penting.
Sanad hadis memiliki kedudukan sangat yang sangat penting, sebab utamanya dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. dilihat dari kedudukan hadis sebagai sumbar ajaran Islam, 2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis. Dengan demikian sangatlah penting mengkaji mengenai sanad hadis, dalam  segi persambungan sanad . Yang sedikit banyak akan dibahas dalam makalah ini.
B.  Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ketersambungan Sanad ?
2. Bagaimana Cara Untuk Mengetahui Ketersambungan Sanad ?
BAB II
PEMBAHSAN

A.    Pengertian Ketersambungan Sanad
Bersambung dalam bahasa Arab berarti ittisal dengan akar kata : wasala. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berkumpul kepada yang lain sehingga masing-masingnya punya ketergantungan.[1] Sedangkan sanad berarti menghimpun sesuatu dengan yang lain. Secara etimologi sanad, kata ini juga merupakan dari sebutan bagi bukit yang ada dilereng gunung. Dalam terminologi ilmu hadits, sanad berarti sederetan nama-nama (guru atau murid) yang meriwayatkan hadits secara hierarkis, yang terus terangkai sampai kepada yang penyampai hadits yang pertama. Dalam penulisannya deretan nama itu menjadi penghantar bagi sebuah redaksi hadits.[2] Sanad hadis bisa dikatakan bersambung apabila tidak ada keguguran (periwayat) pada sanadnya, karena tiap-tiap periwayat mendengarkan riwayat dari gurunya. Dengan Demikian pengertian ketersambungan sanad adalah tidak terputusnya mata rantai periwayat dari Rasulullah saw sampai kepada mukharrij (yang mengeluarkan/penghimpun riwayat hadis dalam sebuah kitab) hadis. Setiap perawi telah mengambil hadis secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad, yang menjadi perbedaan diantara para ulama hadis adalah jenis persambungan itu, apakah persambungan dalam setiap perawi pernah bertemu dengan perawi terdekat, atau bersambung karena adanya kesezamanan. Maka pada unsur ini seseorang yang ingin mengetahui kevalidan sanad harus menganalisa biografi periwayat hadis yang ditelitinya berdasarkan kesejarahannya, termasuk hubungannya antara dua perawi yang berdekatan itu.[3]
Drs M. Syuhudi Ismail memberikan satu contoh hadits yang disertai sanadnya sebagai berikut:
حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوْسَى قَالَ : اَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِيْ سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْاِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامُ الّصلاَةِ وَاِيْتَاءُ الّزَكَاةِ وَالْحَجُّ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. (رواه البخاري)
yang dimaksud sanad dalam contoh di atas adalah deretan kata-kata mulai dari   
          حَدَّ ثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنِ مُوْسىَ  sampai kepada قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ   itulah yang dinamakan sanad.
Jadi jelas, urutan sanad dalam hadits di atas adalah :
a.       Ubaidullah bin Musa sebagai sanad yang pertama atau dikenal dengan awwalu sanad,
b.      Handzhalah bin Abi Sufyan sebagai sanad kedua,
c.       Ikrimah bin Khalid sebagai sanad ketiga, dan
d.      Ibnu Umar ra. sebagai sanad keempat atau dikenal dengan akhiru sanad.[4]
Karena ada istilah awal sanad dan akhir sanad, tentu ada pertengahan sanad yang dikenal dengan istilah awshatu sanad, dalam hal ini yang menjadi awshatu sanad  adalah Handzhalah bin Abi Sufyan dan Ikrimah bin Khalid, sebab keduanya berada di antara Ubaidullah bin Musa sebagai awal sanad dan Ibnu Umar sebagai akhir sanad. Adapun jumlah sanad dalam suatu hadits tidak mesti empat seperti contoh tersebut, mungkin saja lima atau lebih.[5]
            Dalam hubungannya dengan istilah sanad dikenal juga istilah Musnid, Musnad dan Isnad. Musnid adalah orang yang menjelaskan hadits dengan menyebutkan sanadnya, sedangkan Musnad adalah hadits yang yang dijelaskan dengan menyebutkan seluruh sanadnya hingga sampai kepada Nabi saw. Adapun Isnad  adalah sesuatu yang menerangkan sanadnya hadits (jalan datangnya hadits. Berkaitan  dengan isnad ada istilah shighatu isnad, yakni lafaz-lafaz yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh perawi dalam menyampaikan hadits.
B.     Cara Mengetahui Ketersambungan Sanad
Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :

1.    Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
a.    Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib (susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy), dan kitab al-Kasyf (susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby).
b.    Apakah antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan : a). Kesezamanan  pada masa hidupnya dan b). guru-murid dalam periwayatan hadits.
3.    Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddatsana, akhbarana, ‘am, anna, atau kata-kata lainnya.[6]
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian shighat isnad yang menghubungkan satu perawi dengan perawi yang lain juga sangat penting dilakukan, sebab hal tersebut dipercaya berimplikasi pada cara periwayatan hadits. Dalam ilmu hadits terdapat delapan cara atau bentuk periwayatan hadits:
1.  Sama’ yakni murid menghadiri pelajaran seorang ahli hadits. Periwayatan hadits semacam ini sangat sederhana yakni dengan cara pendiktean (imla’) baik dari hafalan ataupun catatan berupa buku dan lain-lain. Terminologi yang sering digunakan pada model ini adalah سَمِعْتُ , حَدَّثَنِيْ , اَخْبَرَنَا , atau أَنْبَأَنَا .
2.  Qira’ah,yakni murid membacakan hadits-hadits yang sudah dikumpulkan kepada guru hadits. Terminologi yang sering digunakan pada model ini adalah أَخْبَرَنِيْ  atau    قَرَأْتُ عَلىَ.
3.   Ijazah, yakni mendapatkan izin atau ijazah dari seorang ulama hadits untuk diriwayatkan. Terminologi yang digunakan adalah أَخْبَرَنِيْ  atau أَجَزَنِيْ .
4.  Munawalah, yakni mendapatkan sekumpulan hadits dan mendapatkan izin untuk menyebarluaskan isinya kepada orang lain. Terminologi yang digunakan adalah   أَخْبَرَنِيْ .
5.  Mukatabah, yakni menerima hadits-hadits secara tertulis dari seorang ulama, baik secara langsung ataupun melalui surat menyurat, dengan seizin ulama tersebut untuk menarasikannya kepada orang lain. Terminologi yang digunakan adalah كَتَبَ إِلَيَّ atau مِنْ كِتَابِ .
6.  ‘Ilam al-Rawi, yakni pernyataan seorang ulama hadits kepada seorang murid bahwa ia menerima sejumlah hadits tertentu atau buku-buku dari seseorang yang mempunyai otoritas tertentu, tanpa memberi izin kepada murid-muridnya untuk meriwayatkan hadits tersebut. Terminologi yang digunakan adalah أَخْبَرَنِيْ  atau عَنْ .
7.  Washiyah, yakni memperoleh karya-karya seorang ulama hadits atas kehendaknya sendiri pada saat ia meninggal. Terminologi yang digunakan adalah أَخْبَرَنِيْ وَصِيَّةً عَنْ  atau وَصَّنِيْ .
8.  Wijadah, yakni menemukan sejumlah hadits tertentu dalam sebuah buku, mungkin setelah seorang ulama hadits meninggal, tanpa menerimanya dengan otoritas yang diakui.  Terminologi yang digunakan adalah وَجَدْتُ , قَالَ , أُخْبِرْتُ , dan حُدِّثْتُ .[7]
Berkaitan dengan shighat isnad tersebut M. Syuhudi Ismail lebih rinci dalam membagi tingkatannya sesuai dengan tingkat akurasinya sebagai berikut:
1.      Tingkatan Pertama terdiri dari kata:
a.       سَمِعْتُ  artinya saya telah mendengar
b.      سَمِعْنَا   artinya kami telah mendengar
c.       حَدَّثَنِيْ  artinya dia telah menceritakan kepada saya
d.      حَدَّثَنَا   artinya dia telah menceritakan kepada kami
e.       قَالَ لِيْ  artinya dia telah berkata kepada saya
f.       قَالَ لَنَا   artinya dia telah berkata kepada kami
g.      ذَكَرَنِيْ   artinya dia telah menyebutkan kepada saya
h.      ذَكَرَنَا    artinya dia telah menyebutkan kepada saya
2.      Tingkatan kedua terdiri dari kata:
a.       أَخْبَرَنَيْ   artinya dia telah mengabarkan kepada saya
b.      قَرَأْتُ عَلَيْهِ  artinya saya telah membaca padanya
3.      Tingkatan ketiga terdiri dari kata:
a.       أَخْبَرَنَا   artinya dia telah mengabarkan padanya
b.      قَرَئَ عَلَيْهِ وَأَنَاَ أَسْمَعُ   artinya dia telah membaca padanya sedang saya mendengarkan
c.       قَرَأْنَا عَلَيْهِ   artinya kami telah membaca padanya
4.      Tingkatan keempat terdiri dari kata:
a.       أَنْبَأَنِيْ    artinya dia telah memberi tahu kepada saya
b.      نَبَّأَنِيْ     artinya dia telah memberi tahu kepada saya
c.       أَنْبَأَنَا     artinya dia telah memberi tahu kepada kami
d.      نَبَّأَنَا      artinya dia telah memberi tahu kepada kami
5.      Tingkatan kelima terdiri dari kata:
نَاوَلَنِيْ     artinya dia telah menyerahkan kepada saya
6.      Tingkatan keenam terdiri dari kata:
شَافَهَنِيْ    artinya dia telah mengucapkan kepada saya
7.      Tingkatan ketujuh terdiri dari kata:
كَتَبَ إِلَيَّ    artinya dia telah menulis kepada saya
8.      Tingkatan kedelapan teridiri dari kata:
a.       عَنْ     artinya dari pada
b.      أَنَّ,إِنَّ    artinya sesungguhnya, bahwasanya
c.       وَجَدْتُ فِيْ كِتَابِيْ عَنْ   artinya saya dapati dalam kitab saya dari
d.      رَوَى    artinya dia telah meriwayatkan
e.       قَالَ      artinya dia telah berkata
f.       ذَكَرَ     artinya dia telah menyebut
g.      بَلَغَنِيْ   artinya dia telah sampai kepada saya
h.       وَجَدْتً بِخَطِّ فُلاَنٍ   artinya saya telah memperoleh dengan tulisan pulan.[8]
Ada beberapa singkatan shighat sanad yang sering digunakan dalam penulisan hadits pada berbagai kitab hadits, sebagai berikut:
1.      Simbolدَثَنَا   atau نَا atau ثَنَا   adalah singkatan dari حَدَّثَنَا
2.      Simbol اَرَنَا   atau  اَخَنَا atau اَبَنَا  atau اَنَا adalah singkatan dari اَخْبَرَنَا
3.      Simbol ق adalah singkatan dari قَالَ
4.      Simbol ثَنِيْ    adalah singkatan dari حَدَّثَنِيْ[9]
Tidak semua shighat di atas menunjukan suatu pertalian atau ketersambungan sanad antara satu perawi dengan perawi yang lain, banyak di antara shighat tersebut yang masih diperdebatkan ulama hadits bahkan ada shighat tertentu yang mengarah pada klaim bahwa sanad pada suatu hadits itu terputus, seperti pada shighat أَنَّ . Pada shighat ini perlu ada qarinah atau bukti yang menerangkan bahwa riwayat tersebut tidak terputus. Shighat yang lainnya yang masih dipertentangkan ulama hadits dalam konteks ketersambungan sanad adalah shighat عَنْ  dan قَالَ .[10]
Dari analisa shighat isnad ini dapat ditentukan kemudian bagaimana seorang perawi yang satu dengan perawi yang lain menerima hadits tersebut, dengan demikian dapat ditentukan pula acuan proses tahammul wal ada, yakni proses menerima riwayat dan menyampaikan riwayat tersebut, apakah dengan cara tersebut perawi yang menerima riwayat itu bertemu langsung atau tidak, sezaman atau tidak, sehingga dapat ditentukan kemudian kemungkinan ke-tsiqah-an seorang perawi, tentunya setelah meneliti terlebih dahulu biografi atau sejarah hidup perawi-perawi tersebut. Setelah kedua langkah tersebut telah dilakukan baru lah kemudia menentukan klaim, apakah sanad suatu hadits tersambung atau terputus.
Langkah-langkah seperti ini dalam ilmu hadits spesifiknya naqd sanad dilakukan setelah proses ekstraksi ranah i’tibar sanad, yakni peninjauan sanad dengan cara membuat skema yang mencantumkan jalur seluruh sanad, termasuk nama-nama perawi untuk seluruh sanad, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Aplikasi Ketersambungan Sanad
Teks Hadits Sunan Abu Daud, Kitab Al-Buyu’ No. 2987

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ وَهِشَامٌ وَحَبِيبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاء

Telah menceritakan kepada kami Musa Ibn Isma’il, telah menceritakan kepada kami Hummad dari Ayyub dan Hisyam dan Habib dari Muhammad Ibn Sirin, dari Abi Hurairah, Sesungguhnya Saw. bersabda: “Siapa membeli seekor kambing yang ditahan susunya, maka baginya hak pilih [khiyar] selama tiga hari. Kalau suka mengembalikannya, kembalikanlah dengan satu gantang makanan “Buah kurma masak” bukan gandum.”[11]

Berdasarkan teks hadits diatas maka dapat dibuatkan skema sanadnya, sepertidi bawah ini :
Abu Dawud
  1. Nama lengkap : Sulaiman ibn al-’Asy’ats ibn Syidad ibn ‘Amru ibn Amir, Lahir 202 H dan wafat hari Jum’at 16 Syawwal 275 H di Bashrah.
  2. Diantara guru-gurunya adalah : Sulaiman ibn Harb, Muslim ibn Ibrahim, Abdullah ibn Raja’, Abi al-Walid al-Tayalisi, Musa ibn Isma’il dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Abu Isa, Ibrahim ibn Hamdani, Abu al-Tayyib Ahmad ibn Ibrahim, Abu Bakr an-Najad.
  4. Pernyataan kritikus tentang dirinya : Abdurrahman ibn Abi Hatim: Tsiqah, Muhammad ibn Mukhlad : Aqra’u lahu ahl zamanuhu bi al-Hifdzi wa al-taqaddam fih, Musallamah ibn al-Qasim al-Andalusi : Tsiqah Zahidan Arifan.
Musa ibn Isma’il
  1. Nama lengkap : Musa ibn Isma’il (Abu Salamah), Lahir di Bashrah dan Wafat di Bashrah 223 H.
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abban ibn Yazid, Ibrahim ibn Sa’ad, Isma’il ibn Ja’far ibn Abdurrahman ibn Auf, Isma’il ibn Ja’far Abi Katsir, Tsabit ibn Yazid, Hummad ibn Salamah dll.
  3. Diantara Murid-muridnya adalah : Ahmad ibn al-Hasan ibn Humaidi, Hasan ibn Ali ibn Muhammad, Abdurrahman ibn Abd al-Wahhab, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim. dll.
  4. Pernyataan kritikus tentang dirinya : Abd al-Walid al-Toyalisi : Tsiqah Shuduq, Yahya ibn Mu’ayan : Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : min al-Mttaqanin, Sementara selain ulama diatas menyatakan Musa ibn Isma’il Tsiqah.
Hummad ibn Salamah
  1. Nama lengap : Hummad ibn Salamah (Abu Salamah), lahir di Bashrah dan wafat tahun 167 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abu Ashim, Azraq ibn Qays, Aslamah ibn Malik, Anas ibn Sirin, Hisyam ibn Hasan dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Ibrahim ibn al-Hajjaj ibn Zayd, Ahmad ibn Ishaq ibn Zayd, Ishaq ibn Manshur, Aswad ibn Amir, Musa ibn Isma’il dll.
  4. Pernyataan Kritikus tentang dirinya : As-sajiy : Hafidz Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : Dzakarohu fi as-Tsiqah, Sementara selain dua ulama diatas menilai tsiqah.
Hisyam ibn Hasan
  1. Nama lengkap : Hisyam ibn Hasan (Abu Abdillah) Lahir di Bashrah dan wafat tahun 148 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Abu Idris, anas ibn Sirin, Ayyub ibn Taymiyyah ibn Kaysan, Jamil ibn Marrah, Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar, Muhammad ibn Sirin Dll.
  3. Diantara Muruid-muridnya adalah : Abu Bakr ibn ‘Iyasy ibn Salim, Ishaq ibn Yusuf, Tsabit ibn Yazid, Ja’far ibn Sulaiman, Hafsh ibn Ghiyats ibn Thalaq Hummad ibn Salamah dll.
  4. Pernyataan kririkus tentang dirinya : Ibn Abi Arubah : Ma Ra’aytu Ahfadzu ‘an ibn sirin minhu, Ahmad ibn Hanbal : Shalih la ba’ts bih, Abu Hatim al-Razy : Shuduq, Al-’ajli : Tsiqah Hasan al-Hadits, Sementara selain kelima ulama diatas mengatakan bahwa Hisyam in Hasan Tsiqah.
Muhammad ibn Sirin
  1. Nama lengkap : Muhammad ibn Sirin Mawla ibn Malik (Abu Bakr) Lahir di Bashrah dan wafat tahun 110 H
  2. Diantara guru-gurunya adalah : Abu Ubaidah ibn Hudzaifah, Anas ibn Malik, Harits ibn Ruba’i, Hudzaifah ibn al-Yaman, Hafshah bint Sirin Abu Hurairah dll
  3. Diantara Murid-muridnya adalah : Hisyam ibn Hasan, Abu Ma’an ibn Anas, Asma’ ibn Ubaid, Jarir ibn Hazm ibn Namir dll.
  4. Pernyataan Kritikustentang dirinya : Ibn ‘Awn : Yahditsu bi al-Haditsi ‘ala Hurufihi, Ahmad ibn Hanbal : Min al-Tsiqah, Muhammad ibn Sa’id : Tsiqah Ma’mun, Ibn Hibban : Hafidz Mutaqun, Sementara Selain empat ulama’ diatas mengatakan bahwa Muhammad ibn Sirin Tsiqah.
Abu Hurairah
  1. Nama lengkap Abdurrahman ibn Sakhr (Abu Huraurah) lahir dan wafat di madinah tahun 57 H
  2. Diantara Guru-gurunya adalah : Ubay ibn Ka’b ibn Qays, Aslamah ibn Zaid ibn Haritsah, Bashrah ibn Abi Bashrah, Hasan ibn Tsabit dll.
  3. Diantara murid-muridnya adalah : Ibrahim ibn Isma’il, Ibrahim ibn Abdullah ibn Hanin, Abu al-Rabi’, Muhammad ibn Sirin dll.
  4. Pernyataan Kritikus tentang dirinya: [12]
من الصحابة ورتبتهم أسمى مراتب العدالة والتوثيق
Dari data-data yang telah disebutkan sebelumnya, hadits Abu Dawud No. 2987 ini merupakan hadits Ahad karena dari pengamatan terhadap skema sanad diketahui bahwa periwayat pertama dari semua jalur periwayat adalah Shahabat Abu Hurairah. Meskipun demikian pada tingkatan periwayatan ke-II hampir kesemuanya memiliki mutabi’.

Di lihat dari rangkaian nama-nama periwayat dan tata cara periwayatan Hadits tersebut diawali dengan haddatsana. Yang menyatakan kata itu adalah Abu Dawud yaitu, penyusun kitab Sunan Abu Dawud. Dalam mengungkapkan riwayat, Abu Dawud menyandarkan riwayatnya kepada Musa ibn Isma’il. Pada tabel periwayat jalur Abu Dawud diatas jelas bahwa adanya ketersambungan sanad. Adapun lambang-lambang metode periwayatan dari hadits diatas adalah: haddatsana, ‘an dan qala. haddatsana dan qala fulan termasuk dalam metode as-sama’, sedangkan ‘an menurut mayoritas ulama’ juga termasuk dalam metode as-sama’ dengan syarat-syarat tertentu, meskipun sebagian ulama lain menyatakan bahwa hadits yang mengan dung harf ‘an adalah sanad yang terputus.

Dalam jalur periwayatan ini terdapat enam periwayat sekaligus mukharij nya. Setelah dilakukan penelitian historis terhadap keenam periwayat, masing-masing sangat memungkinkan untuk terjadinya proses penyampaian dan penerimaan hadits. Abu Hurairah, periwayat pertama wafat pada tahun 57 H Ibn Sirin wafat 110 H Hisyam wafat pada tahun 148 H, Hummad Ibn Salamah wafat 167 H, Musa Ibn Isma’il 223 H, Abu Dawud 275 H. Dalam hal ini sangat mungkin akan terjadinya pertemuan dalam kurun waktu cukup yang lama secara estafet. Berdasarkan data historisnya juga disebutkan bahwa masing-masing periwayat diatas memiliki hubungan guru dan murid secara estafet pula. Adapun setelah dilakukan cross check terhadap kualitas dari semua periwayat adalah tsiqah. Diperkuat dengan metode al-Ta’dil muqaddamun ‘ala al-Jarh karena melihat kualitas Abu Hurairah yang merupakan Sahabat Nabi saw.
Berdasarkan analisis diatas hadits Kitab Al-Buyu’ No. 2987 dalam Suanan Abu Dawud ini merupakan Hadits Shahih karena ketersambungan atau ittishol sanad, kualitas pribadi dan intelektual periwayat dan terhindar dari syudzudz dan ‘illah meskipun tergolong Hadits Ahad.[13]









BAB  III
KESIMPULAN

a.    pengertian ketersambungan sanad adalah tidak terputusnya mata rantai periwayat dari Rasulullah saw sampai kepada mukharrij (yang mengeluarkan/penghimpun riwayat hadis dalam sebuah kitab) hadis.

b.    Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1.    Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
a.    Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib (susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy), dan kitab al-Kasyf (susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby).
b.    Apakah antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan : a). Kesezamanan  pada masa hidupnya dan b). guru-murid dalam periwayatan hadits.
3.    Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddatsana, akhbarana, ‘am, anna, atau kata-kata lainnya





Daftar Pustaka

Arifin Bey, Terjemah Sunan Abu Daud (Semarang: as-Syifa’, 1993)
Dr. Phil H. Kamaruddin Amin, MA, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009)
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, tt.)
http. Afghan354.blogspot.com. 
http. mridha2211.blogspot.co.id. Di akses pada tanggal 11 April 2016 
Maj al-Din Muhammad Bin Ya’Qub al-Fairuzabandi, Al Qamus  al Muhit , Beirut : Darul Fikr, 1978
Prof. Dr. Suryadi, MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: TH Press, 2009)
 Sajid al Rahman al Siddiqi, Al Mu’jam al Hadits fi Ulumul Hadits (Beirut : Darul Kutub Ilmiah,2005) h.67
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,  (Jakarta, PT. Bulan Bintang: 1995)



[1]  Maj al-Din Muhammad Bin Ya’Qub al-Fairuzabandi, Al Qamus  al Muhit ( Beirut : Darul Fikr, 1978) h. 64 
 
[2]  Sajid al Rahman al Siddiqi, Al Mu’jam al Hadits fi Ulumul Hadits (Beirut : Darul Kutub Ilmiah,2005) h.67
[3] http://mridha2211.blogspot.co.id. Di akses pada tanggal 11 April 2016 

[4] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, tt.), h. 16-18

[5] Ibid ., h. 19
[6] Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits,  (Jakarta, PT. Bulan Bintang: 1995), cet II, hlm. 127-128
[7] Dr. Phil H. Kamaruddin Amin, MA, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), h. 21-23
[8] Ibid., h. 23

[9] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 16-18

[10] Prof. Dr. Suryadi, MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag,  Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: TH Press, 2009), h. 19-21
[11] Arifin Bey, Terjemah Sunan Abu Daud (Semarang: as-Syifa’, 1993), Jilid IV, hlm. 71.
[12] http. Afghan354.blogspot.com.  Di akses pada tanggal 11 April 2016
[13] http. Afghan 354.blogspot.com.  Di akses pada tanggal 11 April 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah