Lafadz ‘amm dan Khash
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan di seputar makna ayat al-Quran berkenaan dengan prinsip
pemahaman sesuatu yang melatar belakangi turunnya ayat (asbâbun nuzûl), pada
akhirnya memasuki wilayah perdebatan mengenai keberlakuan kaedah kebahasaan (qâ’idah
lughawiyyah). Pertanyaannya: “apakah kaedah al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh berlaku
untuk semua ayat tanpa ada pengecualian, sehingga kaedah al-‘ibrah bi khushûsh
al-sabab sama sekali tidak mungkin diberlakukan untuk memahami semua ayat
(al-Quran), atau sebaliknya, kaedah al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab justru harus
didahulukan untuk diterapkan dalam memahami ayat (al-Quran), sehingga kaedah
al’-ibrah bi ‘umûm al-lafzh sama sekali tidak mungkin diberlakukan untuk memahami
semua ayat (al-Quran), kapan pun dan di mana pun untuk siapa pun dalam konteks
apa pun?” Atau, adakah kemungkinan keduanya masing-masing bisa dipakai dalam
konteks yang berbeda untuk memahami ayat-ayat al-Quran secara sinergis? Bila
sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum
(general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya
tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Quran
turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi
tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan
sebabnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Lafadz ‘amm m dan Khash
?
2. Bagaimana Macam-macam Lafadz “Amm dan
Khash ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lafadz ‘amm
Dalam memberikan batasan mengenai lafazh ‘amm ini, para ulama telah merumuskan beberapa
pengertiannya. Ada yang merumuskannya dengan kalimat yang sangat panjang, namun
ada pula yang meraciknya dengan cukup singkat. Secara redaksional beberapa
pengertian tersebut nampak adanya perbedaan, namun kesemuanya memiliki
substansi yang sama.[1] Jalaluddin
al Suyuthi mendifinisikan lafazh ‘amm dengan
:
العام
لفظ يستغرق الصالح له من غير حصر[2]
‘amm adalah
salah lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak
terbatas dalam jumlah tertentu.
Sementara itu
Dr. Subhi al Shalih dalam Mabahis fi Ulum al Qur’an mendifinisikan
lafazh ‘amm sebagai berikut :
نقصد
بعام القرأن اللفظ الذى نجده فيه دال – فى اصل وضعه اللغوى – على اشتغراقه جميع
الأفراد التى يصدق عليها معناه من غير حصر كمي والاعددي
Yang kami
maksud dengan keumuman al Qur’an adalah suatu lafazh yang di dalamnya
menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh
jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu.
Dari definisi di atas, secara substansial tidak memiliki perbedaan makna.
Artinya bahwa sesuatu lafadz dikatakan ‘amm apabila kandungan maknanya tidak memberikan
batas jumlah tertentu. Seperti firman
Allah
uä!%y`ur ô`ÏB
$|Áø%r& ÏpuZÏyJø9$#
×@ã_u 4Ótëó¡o
tA$s% ÉQöqs)»t
(#qãèÎ7®?$# úüÎ=yößJø9$#
ÇËÉÈ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan
bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".
Maka lafadz seseorang lelaki dalam ayat tersebut tidak bermakna umum,
yakni semua lelaki, tapi menunjukkan makna “satu orang tertentu”. Allah juga berfirman :
yy_uqsù $pkÏù
Èû÷,s#ã_u ÈbxÏGtFø)t
#x»yd `ÏB
¾ÏmÏGyèÏ© #x»ydur
ô`ÏB ¾ÍnÍirßtã
(
“Maka didapatinya di dal’amm kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi;
yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya
(kaum Fir'aun)”.
Maka lafadz “dua orang lelaki” dalam ayat tersebut tidak bermakna umum,
tapi menunjukkan makna dua orang lelaki tertentu.[3]
Demikian pula kata رجال (lelaki) di dalam ayat ke 46 surah al
A’raf :
$yJåks]÷t/ur Ò>$pgÉo
4 n?tãur Å$#z÷äF{$#
×A%y`Í tbqèùÍ÷êt
Dxä. öNà8yJÅ¡Î0
4 (#÷ry$tRur |=»ptõ¾r&
Ïp¨Ypgø:$# br&
íN»n=y öNä3øn=tæ
4 óOs9 $ydqè=äzôt
öNèdur tbqãèyJôÜt
ÇÍÏÈ
“Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas;
dan di atas A'raaf itu ada orang-orang yang Mengenal masing-masing dari dua
golongan itu dengan tanda-tanda mereka. dan mereka menyeru penduduk surga:
"Salaamun 'alaikum". mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka
ingin segera (memasukinya).”
Atau lafadz امة
didalam ayat ke -113 Ali Imran :
* (#qÝ¡øs9
[ä!#uqy 3
ô`ÏiB È@÷dr&
É=»tGÅ3ø9$# ×p¨Bé&
×pyJͬ!$s% tbqè=÷Gt
ÏM»t#uä «!$#
uä!$tR#uä È@ø©9$#
öNèdur tbrßàfó¡o
ÇÊÊÌÈ
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan
yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).”
Jelaslah, bahwa lafadz-lafad yang kami maksud di atas menunjukkan jumlah
terbatas atau bilangan tertentu.
Al Qur’anul Karim turun dalam bahasa Arab yang amat fasih, mengungkapkan
pengertian umum dengan lafadz-lafadz lazim digunakan masyarakat Arab untuk
memberi peringatan yang bersifat menyeluruh. Istiqra menunjukkan kata-kata yang
mengandung arti umum tidak keluar dari arti kata yang kami sebut di bawah ini,
yang contoh-contohnya diambil dari
beberapa ayat al Qur’an [4]:
1. Kullu (semua) yang berkedudukan sebagai mubtada seperti
( كل من عليها فان)
Artinya
: Semua yang ada di bumi ini akan binasa
Atau
berkedudukan sebagai tabi (yang mengikuti) seperti :
(فسجد اللملا ىًكة
كلهم أجمعون )[5]
Artinya
: Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.
2. Lafaz-lafaz
yang di-ma’rifah-kan dengan al yang bukan al-‘ahdiyah.
Misalnya :وَالْعَصْرِ اِنَّ
اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ
(al-‘Asr : 1-2). Maksudnya, setiap
manusia.
3. Isim
Nakirah dalam konteks Nafy dan Nahi
(al-Baqarah : 197), فَلاَ رَفَثَ وَلاَفُسوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي اْلحَجِّ
atau
dalam konteks syarat seperti :
وَاِن اَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتىَّ يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ (Al-bara’ah : 6)
4. Al-Lati dan Al-Lazi serta
cabang-cabangnya.
Misalnya قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
لَكُمَا وَالَّذِيْ (al-Ahqaf : 17)
maksudnya setiap orang yang mengatakan seperti itu,
berdasarkan firman sesudahnya dalam sigat jamak, yaitu : اُولَئِكَ الَّذِيْنَ حَقَّ عَلَيْهِ الْقَوْلُ(al-Ahqaf : 18)
5. Semua isim syarat.
Misalnya : فَمَنْ حَجَّ اْلبَيْتَ
اَوِاعْتَمَرَفَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَطَّوَفَ بِهِمَا(al-Baqarah : 158)
ini untuk menunjukkan
umum bagi semua yang berakal.
6. Ismul-Jins (kata jenis) yang
di-idafat-kan kepada isim ma’rifah.
Misalnya فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ (an-Nur : 63) maksudnya segala perintah
Allah. Dan يُوْصِيْكُمُ الله فيِ أَوْلاَدِكُمْ (an-Nisa’ : 11)[6]
Semua kata-kata yang
dimaksud dalam contoh-contoh tersebut di atas, menurut pengertian bahasa,
menentukan sifat keumuman kecuali dikhususkan untuk hal lain.[7]
Banyak yang memberikan pengertian khusus, sehingga sebagian ulama sulit memperkirakan
bentuk-bentuk keumuman yang tidak terkena pengkhususannya.[8] Suyuthi berusaha mencari
contoh-contohnya di dalam al Qur’an, dan akhirnya dia menemukannya di dalam
ayat ke 23 di dalam surah an – Nisa :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan.”
Semua muhrim yang
disebutkan ayat di atas secara umum haram dinikahi. Hal demikian ini mudah
dipahami. Dalam al Qur’an lafadz-lafadz yang hanya memiliki arti umum jumlahnya
amat dikit bila dibandingkan dengan lafadz-lafadz yang punya arti umum tapi
terkena pengkhususan sehingga mempunyai arti khusus.[9]
B. Macam-macam
Lafadz ‘amm
Berdasarkan penelitian terhadap nash
telah di peroleh ketetapan bahwa lafazh umum( ‘amm ) ada tiga macam ,yaitu :
a) Lafazh ‘amm yang di maksudkan keumumannya secara pasti.
Yaitu lafazh ‘amm m yang disertai oleh qorinah yang menghilangkan
kemungkinan pentakhhishannya seperti lafazh yang umum pada firman Allah SWT :
وما من دابة فى الارض ال على الله
رزقها .....
Artinya :” Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah lah yang memberi rezekinnya……”
(Qs. 11/Hud :6).
Pada ayat tersebut terdapat
penetapan sunnah ilahiyyah yang bersifat umum, tidak ada pengkhususan dan
penukaran. Lafazh yang umum pada ayat tersebut adalah qath’i dalalahnnya
terhadap keumuman,dan tidak mengandung kemungkinan bahwa ia di maksudkan
sebagai suatu yang khusus.
b) Lafazh
yang umum yang di kehendaki kekhususannya secara pasti.
Yakni
lafazh umum yang disertai oleh qorinah yang menghilangkan keumumannya
dan menjelaskan bahwa yang di maksud dari lafazh itu adalah sebagian
satuan-satuannya, seperti firman Allah SWT :
ولله على الناس حج البيت
Artinnya“ Dan mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah.” (Qs. 3/Ali ‘imran : 97 ).
Manusia pada nash tersebut adalah
umum, namun yang di kehendaki adalah khusus orang-orang mukallaf, sebab akal
menuntut pengeluaran anak-anak dan orang-orang gila.
c) Lafazh ‘amm (umum)
yang di takhshish, yaitu lafazh yang umum yang bersifat muthlak, dan tidak ada qorinah
yang menyetertainnya yang meniadakan kemungkinan pentakhishannya, maupun qorinah
yang menghilangkan dalalah umumnnya. Misalnnya ialah kebanyakan nash yang
di dalamnya terdapat shighat umum, yang bebas dari berbagai qorinah
lafdhiyah (tekstual),atau aqliyyah (rasional),atau urfiyyah
yang menentukan keumuman atau kekhususan. Lafazh ini adalah dhahirnya umum
sehingga ada dalil yang mengtakhishannya, misalnnya:
والمطلقات يتربصن بانفسهن......
Artinnya
:” Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri…”
Dalam uraian yang di kemukakan di atas di
terangkan bahwa Al-Qur’an dapat di takhiskan dengan Al-Qur’an .[10]
C.
Dalalah ‘amm
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keumuman lafazh
‘amm itu akan tetap dalam keumuman
selama tidak ada dalil yang dijadikan dasar untuk mentakhshishnya. Meskipun
demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap ada lafazh ‘amm , pasti
ada dalil yang mentakhsishnya. Atas dasar itulah sehingga mereka membuat suatu
kaidah (Tidak ada lafadz ‘amm , melainkan selalu ditakhshishkan).
Berdasarkan kaidah tersebut, maka
mereka berpendapat, bahwa lafazh ‘amm
itu dalalahnya bersifat dhanniyah, bukan qath'iyyah. Oleh karenanya, apabila seorang menemukan lafaz ‘amm , maka
hendaklah ia mencari takhshishnya sebelum diamalkan. Di antara yang berpendapat
demikian adala jumhur ulama seperti madzhab Syafii.
Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi bahwa dalalah lafazh ‘amm
itu bersifat qath'iyyah (pasti).
Menurutnya bahwa lafazh ‘amm itu memiliki makna secara pasti, tegas selama
tidak ada dalil yang menyalahinya. Menurut madzhab Hanafi, bersifat qath'i
selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau membatasi terhadap keumuman
lafazh tersebut.[11]
D. Pengertian Lafadz Khash
Lafadz khash merupakan lawan dari
lafadz ‘amm , jika lafadz ‘amm memberikan
arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang banyak,
maka lafadz khash adalah suatau lafadz yang menunjukan makna khusus.[12]
Definisi lafadz khash dari para ulama adalah sebagai berikut:
- Menurut
Manna al-Qaththan,
والخاص يقابل العام فهو الذى لا يستغرق الصالح له من غير حصر
lafadz khash adalah lafadz
yang merupakan kebalikan dari lafadz ‘amm , yaitu yang tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2.
Menurut Mushtafa Said al-Khin,
الخاص
فكل لفظ وضع لمعننى واحدا معلوم على لأفراد وهو اما ان يكون خصوص الجنس او حصوص
النوع او حصوص العين
lafadz khash adalah setiap
lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang
diketahui.
- Sedangkan menurut Abdul
Wahhab Khallaf,
الخالص
هو لفظ وضع للدلالة على فرد واحد
lafadz khash adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan
satu orang tertentu.
Khash adalah lawan kata ‘amm , karena itu tidak
menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm . Dan mukhassis (yang
mengkhususkan) ada kalanya muttasil, yaitu yang antara ‘amm m dan
mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfasil, yaitu
kebalikan dari muttasil.[13]
Seperti yang dikemukakan Adib Shalih, lafadz khash adalah
lafadz yang mengandung satu satu pengertian tunggal secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas. Sedangkan Saiful Hadi mengatakan
lafadz khusus adalah lafadz yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih
dapat di hitung atau terbatas, seperti[14] رَجُلٌ, رَجُلاَنِ, أَلْفُ رِجَالٍ
Jadi yang dimaksud dengan khash ialah lafadz yang tidak
meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa
menghendaki kepada batasan.
E.
Macam- Macam Lafadz Khash
Manna’ Khalil Al-Qattan membagi mukhassin menjadi 2 bagian
yaitu mukhassin muttashil dan mukhassis munfasil. Mukhassis muttashil ada lima
diantaranya :
- Istisna’ (pengecualian) seperti
firman Allah :
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ
ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ
هُمُ الفاَسِقُونَ اِلاَّ الَّذِيْنَ تَابُواْ
2. Sifat, misalnya
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتي فِيْ
حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
lafadz اللاَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
adalah sifat
bagi lafadz nisa’ukum. Maksudnya, anak perempuan istri telah digauli itu
haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
- Syarat, misalnya :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ
تَرَكَ خَيْرً الوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنَ وَالاَقْرَبِيْنَ بِالمَعْرُوْفِ حَقَّا
عَلىَ الْمُحْسِنِيْنَ
lafadzاِنْ تَرَكَ خَيْرً (jika ia meninggalkan harta) adalah syarat
dalam wasiat.
4. Ghayah (batas sesuatu), seperti dal’amm
وَلاَ
تَحْلِقُوْ رُؤُسَكُمْ حَتَّىْ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّه(al-Baqarah : 196) dan وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ(Al-Baqarah : 222)
- Badal
Ba’d min kull
(sebagian menggantikan keseluruhan) Misalnya :وَللهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاَ (ali Imran : 97) lafadz مَنِ اسْتَطَاعَ adalah badal dari النَّاسِ. maka kewajiban haji hanya khusus
bagi mereka yang mampu.[15]
Mukhassin munfasil adalah mukhassis yang
terdapat di tempat lain,. Contoh yang ditakhsis oleh Quran ialah :والمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ
قُرُوْءٍ (al-Baqarah : 228).
Ayat ini adalah ‘amm , mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam
keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini
ditakhsis oleh ayat
:وأولاَتُ
الاَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ -
اِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُموْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَالَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّة -
Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat :وَاَحَلَّ الله البَيْعَ وَحَرَّمَ الّرِبَا (al-Baqarah : 275). Ayat ini di
takhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis.
Antara lain disebutkan dalam kitab sahih bukhari, dari ibnu umar, ia berkata :
“Rasulullah melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.
Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa
Rasulullah melarang jual beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli
seekor unta sampai unta itu melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula.
(redaksi hadis ini adalah redaksi bukhari). Dan hadis-hadis lainnya.
Dan dari jenis riba di dispensasikanlah jual beli ‘ariyah,
yakni menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual beli
ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّ الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِيْ بَيْعِ الْعَرَايَا بِخِرصِهَا فِيْمَا دُوْنَ
خَمْسَةِ أَوْسُقٍ أَوء فِيْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
Dari
Abi Hurairah , bahwa Rasulullah memberi keringanan untuk jual beli ariyah
dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq (muttafaqun alaih)
Takhsis
sunnah dengan al-Quran
Di antara ulama ushul tidak ada perbedaan di dalam hal bahwa
mentakhsis keumuman al-Quran dengan al-Quran atau dengan as-Sunnah yang mutawattir adalah boleh.
Karena nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang mutawattir itu bersifat pasti
ketetapannya. Maka sebagian bisa mentakhsis sebagian yang lain. Adapun
mentakhsis al-Quran dengan as-Sunnah yang tidak mutawattir, menurut mayoritas
ulama’ ushul boleh. Mereka beralasan bahwa hal itu terjadi, dan sepakat mengamalkannya.
Jadi
hadis: هُوَ الطَهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ mentakhsis keumuman firman Allah حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Hadis
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاءِ مَا يَحْرُمُ مِنَ
النَّسَبِ adalah
mentakhsis keumuman firman Allahوَأُحِلَّ لَكُمْ مَا
وَرَاءَ ذَالِكُمْ
Mendakwakan kemutawatiran atau kemasyhuran hadis-hadis ini
adalah tidak ada dalilnya. Inilah madzhab yang benar. Mereka yang melarang
mentakhsis keumuman al-Quran dengan as-Sunnah yang tidak mutawattir adalah
berarti menolak beberapa pengkhususan oleh Nabi. Bagi mereka tidak ada jalan
mengingkari, mentakwili, dan menetapkan kemutawatiran hadis-hadis tersebut.[16]
F. Dalalah Lafadz Khash
Menurut jumhur ulama telah sepakat bahwa lafazh khash ini dalam nash syara’ menunjukan
kepada dalalah qath'iyah. Artinya selama lafazh tersebut tidak ada
qarinah yang menunjukkan kepada makna lain, maka hukumnya tetap qath'i.[17]
Seperti firman Allah:
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$#
not÷Kãèø9$#ur ¬! 4
÷bÎ*sù öNè?÷ÅÇômé& $yJsù uy£øtGó$# z`ÏB Äôolù;$# ( wur (#qà)Î=øtrB
óOä3yrâäâ 4Ó®Lym x÷è=ö7t
ßôolù;$#
¼ã&©#ÏtxC 4 `uKsù
tb%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D
÷rr&
ÿ¾ÏmÎ/ ]r&
`ÏiB
¾ÏmÅù&§ ×ptôÏÿsù `ÏiB BQ$uϹ ÷rr& >ps%y|¹
÷rr&
77Ý¡èS 4 !#sÎ*sù
÷LäêYÏBr& `yJsù
yìGyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ n<Î) Ædkptø:$# $yJsù
uy£øtGó$# z`ÏB Äôolù;$# 4 `yJsù
öN©9
ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ)
öNçF÷èy_u
3
y7ù=Ï? ×ou|³tã
×'s#ÏB%x. 3 y7Ï9ºs `yJÏ9
öN©9
ô`ä3t ¼ã&é#÷dr& ÎÅÑ$ym ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$#
4
(#qà)¨?$#ur ©!$#
(#þqßJn=ôã$#ur ¨br&
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$# ÇÊÒÏÈ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.
jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka
(sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepala,
sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang
sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya
berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah
(merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di
dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil
Har’amm (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat
keras siksaan-Nya.
Lafazh tsalasah dalam ayat tersebut adalah lafazh khas, yang
tidak mungkin untuk diartikan dengan makna selain tiga hari. Oleh karenanya
dalalah maknanya adalah qath' (pasti) dan dalalah hukumnya pun juga qath'i.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Lafadz ‘amm secara
substansial tidak memiliki perbedaan makna. Artinya bahwa sesuatu lafadz dikatakan ‘amm apabila kandungan maknanya tidak memberikan
batas jumlah tertentu sedangkahn khash ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap
dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
2. lafazh umum( ‘amm ) ada tiga macam ,yaitu :
a)
Lafazh ‘amm yang di maksudkan keumumannya secara pasti
b) Lafazh yang umum yang di kehendaki
kekhususannya secara pasti.
C) Lafazh ‘amm (umum) yang di takhshish, yaitu lafazh yang
umum yang bersifat muthlak, dan tidak ada qorinah yang menyetertainnya
yang meniadakan kemungkinan pentakhishannya
-Lafadz Khash ada Lima Macam
a) Istisna’
(pengecualian)
b) Sifat,.
c) Syarat,
d) Ghayah (batas sesuatu),
e) Badal Ba’d min kull (sebagian menggantikan
keseluruhan)
Daftar
Pustaka
Abdul Wahab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.t.t
Jalaluddin al
Suyuthi, Al Itqon Fi ulumil Quran,
Beirut : Darul Fikr, t.t
Manna al
Qaththa, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Riyadh : Huquq At tab’I Mafudz,
1973
Mu’in Umar.1986.Ushul Fiqh II : Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad.Departemen Ag’amm
a:Jakarta
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al Qur’an Refleksi atas
Persoalan Linguistik, Semarang : 2002
Saeful Hadi, Ushul
Fiqih, Yogyakarta: Sabda Media, 2011
Sayyid
Muhammad Bin Alwi Al Maliki, Zubdatul Itqon Fii Ulumil Qur’an, (Beirut :
Darul Fikri, 1986
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1990
[1]
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik,
(Semarang : 2002), h. 166
[3]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1990), h. 122.
[4] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al
Qur’an, h. 124
[5]
Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliki, Zubdatul Itqon Fii Ulumil Qur’an, (Beirut
: Darul Fikri, 1986), h..145
[6]
Manna al Qaththa, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (Riyadh : Huquq At tab’I
Mafudz, 1973), h. 256.
[7]
Ibid., h. 257
[8]
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik,
h. 168
[9] Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al Qur’an,h.
126
[10] Mu’in
Umar.1986.Ushul Fiqh II : Qaidah-Qaidah
Istinbath dan Ijtihad.Departemen Ag’ama:Jakarta, hlm.69- 74
[11]
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik,
h. 169
[12]
Mohamad Nor Ikhwan, Memah’ami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 185
[13]
Manna’ khalil Al-Qattan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, h. 319
[14]
Saeful Hadi, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), h. 46
[15]
Manna’ khalil Al-Qattan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, h.319
[16] Abdul
Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.t.t), h. 298
[17]
Mohamad Nor Ikhwan, Memah’ami Bahasa Al-qur’an, h. 185
[18]
Ibid., 186
Komentar
Posting Komentar