Saksi Nikah
SAKSI NIKAH
.Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg
melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).
Sedangkan dalam pengertiannya Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan
secara langsung akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang
lain. Masalah saksi pernikahan dalam Alqur’an tidak tertera secara eksplisit,
namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau
masalah cerai
Syarat-syarat saksi
Syarat bagi saksi nikah harus ada
padanya 13 syarat :
1.
Islam
2.
Laki-Laki
3.
Dua Orang
4.
Merdeka keduanya
5.
Berakal keduanya
6.
Baligh keduanya
7.
Melihat keduanya tidak
boleh orang buta
8.
Mendengar keduanya tidak
boleh orang tuli
9.
Dapat berkata tidak boleh
orang bisu
10.
Kedua saksi itu jangan anak
yang menikah, di didalam minhaj
11.
Jangan ada keduanya bapa
yang nikah
12.
Adil keduanya, tidak sah
orang yang fasik menjadi saksi nikah , jika kurang adil salah satunya
SAKSI NIKAH MENURUT ULAMA FUQAHA
1. Menurut Imam
Syafi’i
Imam Syafi’i dengan keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah adalah
orang yang harus menyaksikan aqad pernikahan secara langsung, sesuai dengan KHI
pasal 26 yang berbunyi: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan”, bahkan saksi termasuk rukun yang harus dilaksanakan dalam
sebuah pernikahan.
Adapun syarat-syaratnya ialah:
a. Saksi yang menghadiri
akad nikah haruslah dua orang laki-laki.
b. Muslim.
c. Baligh.
d. Berakal.
e. Melihat dan
mendengar.
Jadi jelas bahwa dalam hal ini imam syafi’i mengharuskan adanya saksi dalam
setiap akad pernikahan, karena tanpa adanya saksi maka pernikahan aitu tidak
sah. sesuai dengan dalil syara’ yang disebutkan oleh khalifah Umar ra. Dari Abi
Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra. Ditanya tentang menikah yang
tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau
berkata: “ini adalah nikah sirri, aku tidak membolehkannya. Bila kamu
menggaulinya pasti aku rajam.” (riwayat Malik dalam Al-Mutawatho’).
Dalam hadits ini dikatakan bahwa nikah sirri (nikah tanpa saksi) adalah
haram dan tidak boleh dilakukan, maka kalau seorang melakukan akad nikah tanpa
ada dua orang saksi, maka pernikahannya tidak sah.
Selain syarat saksi diatas juga menurut Imam Syafi’i banyak sekali hikmah
dengan adanya saksi dalam akad nikah diantaranya: untuk kemaslahatan kedua
belah pihakdan masyarakat, untuk menjaga kesalahpahaman dan lain sebagainya.
Misalnya salah seorang ada yang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh
adanya dua orang saksi. Juga apabila terjadi kecurigaan masyarakat maka dua
orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari
sepasang suami istri.
2. Menurut Imam
Hanafi dan Imam Hambali
Tidak jauh beda, Imam Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat sama bahwa
saksi dalam nikah adalah termasuk pada rukun sebagaimana yang diungkapkan oleh
Imam Syafi’i dan menurut KHI pasal 24 ayat 1 yang berbunyi : “saksi
dalam perkawinan merupakan pelaksanaan akad nikah.” Akan tetapi
menurut mereka boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan, dengan dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
“....jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa maka
yang seorang mengingatkannya...”
Bahkan ia juga menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil. Kecuali
orang tuli, orang yang sedang tidur dan mabuk. Jadi pada dasarnya pernikahan
barulah bisa sah kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi termasuk pada
nikah sirri.
3. Menurut Imam Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan pendapat
Malik bin Anas tentang kedudukan saksi dalam akad nikah, terlebih dahulu kita
simak sebuah hadits yang mengemukakan tentang saksi perkawinan, yang artinya: “Dari
Imran bin Huseein,dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda:’Tidak sah perkawinan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil’. Penuturan Ahmad bin Hambal
dalam riwayat anaknya Abdullah.”
Kedudukan hadits tersebut menurut at-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh
al-Daruquthni dan al-Baihaqi adalah hadits hasan, karena dalam isnadnya ada
perawi yang dikategorikan matruk yaitu Abdullah bin Mahrus. Demikian juga Malik
menilai hadits tersebut sebagai hadits munqathi’. Imam Malik dan ulama hadits
lainnya dalam meneliti hadits yang mengungkapkan imperativeadanya
saksi dalam perkawinan menggunakan pendekatan pembahasan. Mereka berpendapat
bahwa saksi itu bukan syarat sah, karena kalimat nafiy “laa ilaaha” dalam
hadits diatas menunjukkan makna kesempurnaan (lil itmam) bukan
keabsahan (lishihhah). Karena itu Imam Malik dan ulama hadits lain,
mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan adanya saksi dalam perkawinan
semuanya adalah dho’if.
Oleh karena itu Imam Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya saksi
dalam perkawinan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimasudkan sad al-Dzari’ah. Dan
menurut saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut
dii’lankan sebelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah
perkawinan. Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang
dinilainya lebih shahih, diantaranya: “Diterima dari Imam Malik ibn al-Mundzir,
dia berkata “sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu
menikahkannya tanpa adanya saksi.” (HR. Al-Bukhari).
Saksi nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI)
Pasal 24-26
Setelah KHI membahas ketentuan wali dalam pernikahan, KHI beranjak pada
permasalahan saksi nikah yang mana ia sebagai salah satu dari rukun nikah
seperti yang telah diterangkan. Dalam hal ini, pasal 24 KHI menyatakan:
Pasal 24
1. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Ketentuan pasal 24 ini adalah ketetapan yang disepakati madzhab syafi’i
menegaskan bahwa sebuah pernikahan bisa sah apabila disaksikan oleh dua orang
yang adil.
Ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibn Hibban didalam kitab shahihnya:
عن عا ئشة رضي الله تعالى عنها : لا نكاح الا بولي وشا هدي عدل,
وماكان من نكاح على غير ذلك فهو باطل, فا ن تشاحوا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Komplikasi Hukum Islam meneruskan ketentuan bagi saksi nikah dengan pasal
25 sebagai berikut:
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
mendatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung akad
nikah dapatlah difahami dan memang sudah ditetapkan di dalam madzhab Syafi’i.
Akan tetapi, ketentuan pasal 26 yang menyebutkan “serta mendatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”
Kesimpulan
Jumhur ulama
sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidak
dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun
diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan syarat
sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah
itu termasuk rukun pernikahan.
Jika para saksi yang hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad
nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai, maka
nikahnya tetap sah.
Komentar
Posting Komentar