kaedah ad-dharûrah yuzalu


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.    BATASAN MASALAH

1.     Apa Pengertian dharûrah?
2.      Bagaimana Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu?
3.      Apa Dasar-dasar  nash yang berkaitan dengan kaedah Ad-Dhararu Yuzalu ?
4.     Apa  Perbedaan antara Masyaqqot (kesulitan) dengan darurat ?
5.   Cabang – Cabang Qaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ ?







BAB II
PEMBAHASAN

KAIDAH
 ا لضر ر يزا ل
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”

A.   Maksud kata dharûrah
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
  1. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan.
 2. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
 3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
 4. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang. [1]

Berdasarkan pendapat para ulama di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa Dharurah adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[2] Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[3]
B.    Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:

لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
 “Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.      Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”.Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan.
2.      Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan di luar ketentuan syari’ah.

Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.

Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya. 

Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.

Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudara” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakakn tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.

Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempesulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[4]
Ada juga contoh lainnya mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu  antara lain:
1.      Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2.      Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3.      Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4.       Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.[5]


C.   Dasar-dasar  nash yang berkaitan dengan kaedah Ad-Dhararu Yuzalu, antara lain:

1. Firman Allah SWT Q.S al-Baqarah: 173
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
2. Firman Allah Q.S al-Qoshosh: 77
¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”
3Fiman Allah QS al-Baqarah: 231
4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y‘#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 
Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
4. Firman Allah QS ath-Thalaaq: 6
.Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 
“ Dan janganlah kamu memudaratkan mereka (istri) untuk menyempitkan hati mereka” 
5.      Sabda Rasulullah SAW
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahamad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[6]

D.   Perbedaan antara Masyaqqot (kesulitan) dengan darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusai. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.[7]



  E. Cabang – Cabang Qaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ

      Qaidah Pertama:
الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
(Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain)
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بَمِثْلِهِ
“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding

Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contoh:
- Seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
- Seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
- Iqbal dan Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Manis kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin. Tindakan Iqbal walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya tidak bisa dibenarkan karena Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a.  Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b.  Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c.  Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d.  Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e.  Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam inidikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah.[8]

Qaidah Kedua:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّامَااضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِۗ
“Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. al-An’am:119)

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”. (QS.Al-Baqarah:173)
            Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.

Contoh:
     -Seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
     - Kebolehan mengucap kata kufur karna dipaksa[9]
            Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.

Qaidah Ketiga:
مَااُبِحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَّرِهَا
(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlaratan diukur menurut kadar kemudlaratan)

      Contoh kaidah :
     -  Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat. 

Qaidah Keempat:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
 (Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)
Contoh kaidah:

-Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
-   Seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring.
-  Meminum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
Qaidah Kelima:
اِذَا تَعَارَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
(Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil kemadaratan yang paling besar)

            Maksudnya, apabila ada dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya.
Contoh kaidah:
-  Diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
-  Diperbolehkan shalat dengan bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.[10]

































BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
1.      Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan.
2.      Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
3.      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
4.      Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
 “Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”
B.     KRITIK DAN SARAN

Kami dari pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, karena terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang kami miliki.
Untuk itu kami dari penulis menerima kritik dan saran dari peserta diskusi maupun dosen pembimbing untuk demi baiknyaya tulisan kami di masa yang akan datang.










DAFTAR PUSTAKA

Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, Cet ke-22007
kemudharatan-itu.htmldiakses, 9/12, 2012, 10.05 Wib
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,
WashilNashr Farid Muhammad, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta: Amzah, 2009









[1] Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html(diakses, 28/02, 2017, 10.05 Wib)
[2] Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzaluhttp://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html(diakses, 07/02, 2017, 10.05 Wib)

[3] Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.17  

[4]  Ibid, Hal. 18

[5] Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-22007), h. 68
[6]  Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.132
[7] Nur Alim, Op.Cit

[8] Khallaf, Abdul Wahab. 2000. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta, H.246-247
[9]Mudjib, Abdul. 2008. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.  h.106
[10] Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu USHUL FIQIH Untuk UIN, STAIN, PTAIS Cetakan IV. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah