Bai’ Inah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah
pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya
untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan
pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam
harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Dalam
makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq dan Bai Wafa. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam bentuk
produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan
dibahas dalam isi makalah ini.
B . Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Bai Inah, Bai Tawaruq, dan Bai Wafa ?
2. Bagaimana Pedapat Para Ulama Terhadap Bai Inah Tawaruq, dan Bai Wafa ?
3. Bagaimana Aplikasi Bai Inah,Bai Tawaruq, dan Bai Wafa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bai’ Inah
Bai al-Inah adalah akad jual
beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli
kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah
penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan
tangguh (deferred payment sale / BBA).[1]
Bai’ al-inah secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang menjual barang
dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah
itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga
yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara
konsepnya berarti menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut
pada harga yang berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga
tunai.
Definisi bai`
inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1. Imam
Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah
barang tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut
dijual kembali kepada pemilik asal atau ke pihak ketiga baik dengan harga tunai
yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara hutang atau dengan penukaran
barang. "
2. Al-Haskafi:
"Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang
berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk
menjelaskan utangnya."
3. Al-Zaila
`i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan
harga yang lebih rendah secara tunai. "
4. Al-Dardir:
"Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang
tidak dalam pemilikannya."
5. Al-Rafi
`i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang
tersebut diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan
(pertama), dia membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah.
"
6. Ibnu
Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan
membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]
B. Dasar Hukum
Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu
berjualbeli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan
sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian
serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia
tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.”
C.
Pendapat Para
Ulama Terhadap Bai Inah
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang
sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi
berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak
ketiga.
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal
bai’ al-inah maka jawabnya, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu
(hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan
Rasul-Nya.
Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap
bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan dirham yang lain yang
diantara keduanya ada sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’
al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya
adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’
al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan
Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan
uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”
D. Aplikasi Bai al-Inah
Praktik jual beli ‘inah adalah jika penjual
menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan
tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangannya itu dari
pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan
saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang di belinya dengan harga awal.
Sebagai contoh, si A menjaul
komoditas kepada si B dengan harga Rp 150.000.- secara kredit selama satu
tahun. Kemudian si A membeli komoditas itu kembali dengan harga Rp 120.000,-
dari si B dengan bayaran kontan. Dalam kasus ini, si A adalah pemberi piutang
dan si B adalah pengutang. Si A telah mendapat keuntungan Rp 30.000,- dari
transaksi tersebut. Bentuk lain ba’i al-inah adalah menjual komoditas secara
kontan dan kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi yang harus
dibayar pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Dalam hal ini, si
pengutang menjual barangnya dengan kontan kepada pemberi piutang. si pengutang
kemudian segera membeli kembali barang tersebut dengan harga yang dibayar
dimasa yang akan datang. Jadi, transaksi tersebut termasuk transaksi utang
dengan juminan barang yang tadi. Perbedaan harga barang tersebut termasuk
reprentasi dari bunga (interest). Hal ini disebut ‘inah sebab ‘ayn (substansi)
dalam kasus ini kepada pemiliknya.[3]
E. Pengertian
Bai’ Tawarruq
Dalam Bahasa Arab akar kata dari tawarruq
adalah “wariq”
yang artinya simbol atau karakter dari perak (silver). Tawarruq dapat
juga diartikan dengan mencari perak, uang atau harta,[4]
sama dengan kata ta’âllum, yang artinya mencari ilmu, belajar atau
sekolah. Kata tawarruq dapat diartikan dengan lebih luas yaitu mencari
uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin
yang lainnya.
Secara Etimologi, tawarruq berasal dari
bahasa arab, al-waraq, yang artinya daun. Menurut Ibnu Faris, al-waraq
adalah harta, diqiyaskan kepada dedaunan sebatang pohon, karena sebatang
pohon akan kelihatan usang dan menderita jika daunnya berguguran, seperti orang
miskin.[5]
Dalam kamus al-Mu’jam
al-Wasith, al-wariq,
dengan huruf ra baris bawah, berarti perak yang sudah diolah atau yang
masih mentah.
Secara Terminologi, istilah tawarruq
banyak terdapat dalam kitab kitab fiqh Hanbali, mereka mendefinisikannya
sebagai “Seseorang
membeli barang dengan cara mencicil, kemudian menjual barang tersebut secara
cash kepada pihak ketiga (selain penjual pertama) dengan harga yang lebih murah
untuk mendapatkan uang tunai atau likuiditas.[6]
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli
yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada
pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama
menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan
pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg pembeli
pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[7]
Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya
adalah struktur yang dapat di lakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu
seorang yang membutuhkan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang
membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan
menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk
tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi
dari tawarruq:
1. Seseorang
yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan
cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di
ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.
2. Seseorang
(mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman
uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual
tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan harga
tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada
orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi.
3. Hampir sama dengan
formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan harga yang lebih
mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang
tertunda/dengan cicilan.
Transaksi tawarruq dimulai jika seseorang membeli suatu
barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh
atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan membayar harga
yang telah disepakati secara angsuran, atau
dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarruq terjadi, ketika barang itu telah
dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi
bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli
semula [8].Tawarruq turun dari kata wariq, yang berarti perak;
sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan
tersebut kepada pihak lain .[9] kepada penjual yang sama, sedangkan pada tawarruq kepada pihak ketiga.
F.
Dasar Hukum Tawarruq
At-Tawarruq berasal dari kata dasar al wariq, yaitu
mata uang perak. Allah berfi rman :
وَكَذَلِكَ
بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ
قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا
لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا (١٩)
“Artinya:
Dan demikianlah Kami bangunkan me-reka agar mereka saling bertanya di
antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah
berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di
sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa
lamanya kamu ber ada (di sini). Maka
suruhlah salah seorang di antara kamu
pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah
dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun. (QS. Al Kahfi
[18]: 19).”
G. Pendapat Para
Ulama Mengenai Tawarruq
Sebagian
ulama berketetapan bahwa hukum bay tawarruq adalah makruh.[10]
Ketetapan hukum ini adalah pendapat salah satu pendapat dari mazhab
Hanbali. Pendapat ini diambil oleh Ibnu Taymiyah. Alasan mereka, bahwa jual
beli ini seolah-olah seseorang menjual dirham dengan dirham yang lebih banyak
atau meminjam dirham dan membayarnya dengan dirham yang lebih banyak sebagai
kompensasi dari masa penantian. Jual beli ini mirip dengan riba. Meskipun bukan
riba yang sesungguhnya[11]
Menurut
ulama jumhur, hukumnya boleh, karena telah terpenuhi syarat dan rukun jual
beli. Alasan pemikiran mereka ialah bahwa jual beli tawarruq ini tidak
terdapat larangan syariah padanya. Karena itu ia termasuk al-ibahah
al-ashliyah (hukum dasarnya memang boleh), sesuai dengan kaedah,”Pada
dasarnya semua akad itu dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya”[12]
Dasar pemikiran berikutnya
ialah
الناس
اليوم محتاجون الى بيع التورق للأن القرض الحسن قد قل أهله فمن احتاج الى
المال لا يجد من يقرضه وقد يضطر الى شراء سلعة بالتقسيط أو بثمن أجل ثم
يبيعه -ولو يخسارة- بثمن حال ليقضي بثمنها حاجته
Orang-orang di zaman sekarang
membutuhkan bay’ tawarruq, karena qardhul hasan sangat
sedikit orangnya (lembaga yang memiliki produk ini.red). Orang yang
memerlukan uang tidak menemukan orang yang mau meminjamkan uang kepadanya.
Maka terpaksa-lah ia membeli barang
secara cicilan atau dengan bayaran secara kredit kemudian menjualnya
kembali dengan harga cash –meskipun ia rugi karena
lebih murah-.Hal ini ia lakukan agar keperluannya terpenuhi
yakni mendapatkan uang (wariq) sekarang.
H.
Contoh Aplikasi Tawarruq
Bank
(pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/
kredit kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya kembali barang tersebut
kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000,
dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000,
kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara kredit dengan harga
Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai, sehingga pembeli
pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[13]
I. Pengertian Bai Wafa
Secara lughawi al-bay’ adalah jual beli, dan al-wafa’
adalah tenggang waktu, berarti bay’ al-wafa’ adalah jual beli dengan
tenggang waktu.[14]
Secara etimologis, al-bay’
berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang.
Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bay’ al-wafa’/ jual
beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan
syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
tenggang waktu yang disepakati telah tiba.[15]
Bay’ al-wafa’ adalah seseorang yang menjual barang tidak bergerak kepada
orang lain karena membutuhkan uang tunai, tetapi dengan syarat ketika sudah
mempunyai uang maka bisa membeli kembali barang yang sudah dijualnya itu.[16]
Bay’ al-wafa’ adalah jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak
pihak lain, yaitu di saat penjual mengembalikan uang si pembeli maka si pembeli
juga akan mengembalikan barang si penjual. Bay’ al-wafa’ disebut sebagai
jual beli pelunasan, karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi
hak si penjual, yakni pembeli mengembalikan barangnya apabila si penjual
mengembalikan uangnya.[17]
Menurut terminologi fiqh, sebagaimana diungkapkan oleh Musthafa Ahmad
Az-Zarqa’, bay’
al-wafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak dengan syarat bahwa
barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang
waktu yang telah ditentukan telah tiba.[18] Artinya, jual beli ini mempunyai
tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu tahun
telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Misalnya,
Adi sangat memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar
kepada Doni seharga Rp 100 jut a,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan
bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Adi akan membeli kembali sawah yang telah dijualnya kepada Doni seharga
penjualan semula, yaitu Rp 100 juta,-. Akad yang digunakan dalam transaksi ini
adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh diekploitasi Doni selama dua
tahun itu dan dapat Doni manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah
sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak
boleh dijual kepada orang lain. Keuntungan yang didapatkan Doni adalah hasil
tanah sawah yang diekploitasi atau dimanfaatkan Doni selama dua tahun tersebut.
Musthafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan bahwa barang yang diperjualbelikan dalam bay’ al-wafa’ adalah barang tidak bergerak,
seperti tanah perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan sawah. [19]
J. Sejarah bay’ al-wafa’
Bay’ al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di
Asia Tenggara (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan
merambat ke Timur Tengah.[20]
Jual beli ini muncul dalam rangka
menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Banyak di antara orang kaya
ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima.
Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi hutangnya akibat
imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka
pinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang
ini, menurut ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba,
masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang
dikenal kemudian dengan bay’ al-wafa’.[21]
Manfaat bagi penjual yaitu penjual bisa mendapatkan uang yang
diinginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang tidak bergerak agar tidak
keluar dari kepemilikannya. Manfaat bagi
pembeli adalah pembeli dapat
mengembangkan hartanya agar terhindar dari lingkaran perbuatan riba yang
terang-terangan.[22]
K. Proses transaksi bay’ al-wafa’
Jelas bahwa transaksi semacam itu
mengandung ketercampuran berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum
pegadaian. Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si
pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatan
yang benar. Pembeli bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya
untuk disewakan tanpa izin si penjual. [23]
Dilihat dari sisi bahwa harta yang
menjadi jaminan harus kembali lagi kepada pemilik harta, maka akad ini mirip
dengan rahn. Namun jika dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi
jaminan tersebut bebas untuk diambil manfaatnya oleh penerima jaminan, akad ini
mirip dengan bay’,
sehingga
jual beli ini merupakan jual beli khusus yang memang diperselisihkan oleh
Ulama’ dari aspek hukumnya.
Bay’ al-wafa’ sejak semula diakadkan
sebagai jual beli, maka pembeli dengan bebas memanfaatkan barang tersebut.
Hanya saja muncul kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa pembeli tidak boleh
menjual barang terebut kepada selain pemilik semula, karena barang tersebut
merupakan sebuah jaminan atas hutang yang harus dikembalikan dalam jangka waktu
yang telah disepakati. Apabila pemilik harta tersebut telah mempunyai uang, maka ia harus
mengembalikan hutangnya dan pembeli harus mengembalikan barang tersebut.[24]
Menurut Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, apabila terjadi keengganan
salah satu pihak untuk membayar hutangnya atau menyerahkan barang setelah
hutang dilunasi, maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan. Jika
yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya ketika jatuh tempo, maka
berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat
dijual dan hutang dilunasi. Jika pihak yang memegang barang enggan menyerahkan
barang ketika hutang telah dilunasi, pengadilan bisa memaksanya untuk
menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya. [25]
L.
Hukum bay’ al-wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa dan
Abdurrahman Ashabuni, dalam sejarahnya, bay’ al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan
beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama
dan bay’ al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat
Bukhara dan Balkh, kemudian ulama fiqh yaitu ulama Hanafi melegalisasi jual
beli ini. Imam Najmuddin an-Nasafi (461-573 H) seorang ulama terkemuka madzab
Hanafi di Bukhara mengatakan: ‚para syekh kami (Hanafi) membolehkan bay’
al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Menurut Abu Zahrah, tokoh fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa
dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan bay’ al-wafa’ di tengah-tengah masyarakat
Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah adalah disebabkan oleh
para pemilik modal tidak mau lagi memberikan hutang kepada orang-orang yang
memerlukan uang, jika mereka tidak mendapat imbalan apapun. Hal ini membuat
kesulitan bagi masyarakat yang membutuhkan modal. Keadaan ini membawa mereka
untuk membuat akad tersendiri sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan
keinginan orang-orang kaya pun terayomi.
Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam
memberikan justifikasi terhadap bay’ al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi
para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasan
mereka adalah:
a. Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan
adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan
perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
b. Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa
barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula,
apabila ia
telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
c. Bentuk jual beli
ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW
maupun di zaman sahabat.
maupun di zaman sahabat.
d. Jual beli ini
merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud
syara’ pensyariatan jual beli.
syara’ pensyariatan jual beli.
Namun demikian, para ulama generasi belakangan dapat menerima
baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan
dijadikan hukum positif dalam majalah ahkam al-‘adliyah (Kodifikasi Hukum Perdata
Turki Utsmani) yang disusun pada tahun 1287 H, yaitu satu bab dengan judul bay’
al-wafa’, yang mencakup 9 pasal, yaitu pasal 118-119 dan pasal 396-403.
Begitu juga dalam hukum positif Indonesia bay’ al-wafa’ telah diatur,
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 112 s/d 115. [26]
Menurut Abdullah al-Mushlih dan
Shalah ash-Shawi bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan
yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan untuk dibayar secara
tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian
dan sejenisnya adalah keuntungannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, ‚Sejenis jual beli yang
mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang mana dalam jual beli itu
mereka bersepakat bahwa apabila telah dikembalikan pembayaran si penjual maka
barang juga dikembalikan merupakan jual beli batil menurut kesepakatan
para imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan dalam waktu akad atau
melalui kesepakatan sebelum akad. Pendapat tersebut yang tepat daripada ulama‛ [27]
M . Rukun bay’ al-wafa’
Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa
yang menjadi rukun dalam bay’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya. Demikian juga
syarat-syarat bay’ al-wafa’ sama dengan syarat jual beli pada umumnya.
Penambahan syarat untuk bay’ al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa
barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang
waktu yang berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua
tahun, atau lebih. [28]
N. Perbedaan bay’ al-wafa’ dengan rahn
Perbedaan
antara bay’
al-wafa’ dan
rahn sebagai berikut:
a.Dalam
akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang
dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangkan dalam
bay’ al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama
tenggang waktu yang disepakati.
dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangkan dalam
bay’ al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama
tenggang waktu yang disepakati.
b.
Dalam rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak
selama di
tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab
pemegang barang, sedangkan dalam bay’ al-wafa’ apabila kerusakan
itu bersifat total, baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi
apabila kerusakannya tidak parah maka hal itu tidak merusak akad.
tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab
pemegang barang, sedangkan dalam bay’ al-wafa’ apabila kerusakan
itu bersifat total, baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi
apabila kerusakannya tidak parah maka hal itu tidak merusak akad.
c. Dalam rahn segala biaya yang
diperlukan untuk pemeliharaan barang
menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam bay’ al-
wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah disepakati.[29]
menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam bay’ al-
wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah disepakati.[29]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. a. Bai al-Inah adalah akad jual
beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli
kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah
penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan
tangguh (deferred payment sale / BBA)
b. Tawarruq adalah bentuk akad jual beli
yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada
pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama
menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan
pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingga pembeli
pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda
c. bay’
al-wafa’ adalah jual beli dengan tenggang waktu
2. a. Bai al Inah
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang
sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi
berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
b. Bai Tawarruq Menurut ulama jumhur, hukumnya boleh, karena
telah terpenuhi syarat dan rukun jual beli. Alasan pemikiran mereka ialah
bahwa jual beli tawarruq ini tidak terdapat larangan syariah padanya
c. Bai al Wafa , para ulama generasi belakangan dapat
menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan
dijadikan hukum positif
3. Contoh Bentuk Pengaplikasian :
a. Bai al Inah : seorang pedagang menjual
barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati.
Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan
harga yang lebih rendah dari harga jual pertama
b. Bai Tawarruq : Bank (pemilik barang) menjual
barang kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit kemudian nasabah pembeli
pertama menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke
dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama
mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada
bank secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada
harga tunai
c. Bai al
Wafa’ : Adi sangat
memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada
Doni seharga Rp 100 jut a,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa
apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Adi akan membeli kembali sawah yang telah dijualnya kepada Doni seharga
penjualan semula, yaitu Rp 100 juta,-. Akad yang digunakan dalam transaksi ini
adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh diekploitasi Doni selama dua
tahun itu dan dapat Doni manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah
sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak
boleh dijual kepada orang lain. Keuntungan yang didapatkan Doni adalah hasil
tanah sawah yang diekploitasi atau dimanfaatkan Doni selama dua tahun tersebut
Daftar
Pustaka
Abdullah al-Mushlih dan
Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Islam (Jakarta: Darul
Haq, 2013)
Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria,Mu'jam Maqayis
al-Lughah,(Beirut: Darul Fikr, 1979)
Abu Hasan, Alaudin Ali
bin Sulaiman al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifati ar-Rajih minal Khilaf,
(Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1347 H)
Al-Kasany, Abu Bakr
ibn Mas’ud. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud Badai’ al-Shanai’ fi Tartib
al-Syarai, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah. Beirut.
Al-Maqdisy, Abu
Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah, Raudhah
al-Nazhir
Ascarya, Akad dan Produk
Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Dr. Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah (Jakarta:
Kencana, 2012), hal.185
Ismail, Sya’ban Muhammad.Dr, Ushul Fiqh al-Muyassar. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo,
Cetakan pertama, 1415 H
Muhammad Shalah
Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika
Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani,
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007)
Sa’ad bin Turki al-Khatslan, Fiqh
al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Riyadh : Darul Shoma’i, 2012)
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih
Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015)
wa Jannah
al-Munazhi, Maktabah al-Rusyd.
Riyadh. Cetakan pertama:1416 H
Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in
Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus;
Dar al – Fikr
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2009)
[2] http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg00988.html
[3] Dr. Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah (Jakarta:
Kencana, 2012), hal.185
[4] Sa’ad bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah
al-Mu’ashirah, (Riyadh : Darul Shoma’i, 2012), Cet., II, h. 114.
[5] Abu al-Husain Ahmad
Ibnu Faris Zakaria,Mu'jam Maqayis al-Lughah,(Beirut: Darul Fikr, 1979),
jilid6, h. 101.
[6] Abu Hasan, Alaudin Ali bin Sulaiman al-Mardawi, Al-Inshaf
fi Ma'rifati ar-Rajih minal Khilaf, (Kairo: Maktabah Ibnu
Taimiyah, 1347 H), Cet., I, jilid 11, h. 195
[7] Ascarya, Ibid., hlm. 143.
[8] Wahbah
Al-Zuhayli. 2003. Financial
Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus; Dar al – Fikr, hlm. 115.
[9] Muhammad
Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika
Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani, hlm. 278.
[10] Al-Kasany,
Abu Bakr ibn Mas’ud. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud Badai’ al-Shanai’ fi Tartib
al-Syarai, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama, 1418 H
[11] Al-Maqdisy,
Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah, Raudhah
al-Nazhir wa Jannah al-Munazhi, Maktabah
al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama:1416 H
[12] Ismail,
Sya’ban Muhammad.Dr, Ushul
Fiqh al-Muyassar. Dar
al-Kitab al-Jami’iy. Kairo, Cetakan pertama, 1415 H
[13] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah,... hal.185.
[14] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009), 64.
[15] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:
Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,
2012), 179.
2012), 179.
[16] Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya
Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 766.
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 766.
[17] Abdullah
al-Mushlih dan Shalah
ash-Shawi, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta: Darul Haq, 2013), h.
128-129.
[18] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009), 64.
[19] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), 153.
[20] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,
2012), 179.
[21] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah...,
153.
[22] Abdullah
al-Mushlih dan Shalah
ash-Shawi, Fikih Ekonomi
Islam (Jakarta: Darul Haq, 2013),
[23] Ibid., 129-130.
[24] Yazid Afandi, Fiqh
Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 65.
[25] Ibid., 66.
[26] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), 180-181.
[27]
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Islam..., 130.
[28] Ibid., 182
[29] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah
(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), h.
182-183.
Komentar
Posting Komentar