Bai’ Inah



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq dan Bai Wafa. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah ini.

B . Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Bai Inah, Bai Tawaruq, dan Bai Wafa ?
2. Bagaimana Pedapat Para Ulama Terhadap Bai Inah Tawaruq, dan Bai Wafa ?
3. Bagaimana Aplikasi Bai Inah,Bai Tawaruq, dan Bai Wafa ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bai’ Inah
Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred payment sale / BBA).[1]
 Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut  : seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1.      Imam Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara hutang atau dengan penukaran barang. "
2.      Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan utangnya."
3.      Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah secara tunai. "
4.      Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang tidak dalam pemilikannya."
5.      Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6.      Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]

B.     Dasar Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjualbeli secara ‘inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada agamamu.” 

C.     Pendapat Para Ulama Terhadap Bai Inah
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada  sutra.” Maliki dan Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus.”

D. Aplikasi Bai al-Inah

Praktik jual beli ‘inah adalah jika penjual menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangannya itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang di belinya dengan harga awal.
            Sebagai contoh, si A menjaul komoditas kepada si B dengan harga Rp 150.000.- secara kredit selama satu tahun. Kemudian si A membeli komoditas itu kembali dengan harga Rp 120.000,- dari si B dengan bayaran kontan. Dalam kasus ini, si A adalah pemberi piutang dan si B adalah pengutang. Si A telah mendapat keuntungan Rp 30.000,- dari transaksi tersebut. Bentuk lain ba’i al-inah adalah menjual komoditas secara kontan dan kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi yang harus dibayar pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Dalam hal ini, si pengutang menjual barangnya dengan kontan kepada pemberi piutang. si pengutang kemudian segera membeli kembali barang tersebut dengan harga yang dibayar dimasa yang akan datang. Jadi, transaksi tersebut termasuk transaksi utang dengan juminan barang yang tadi. Perbedaan harga barang tersebut termasuk reprentasi dari bunga (interest). Hal ini disebut ‘inah sebab ‘ayn (substansi) dalam kasus ini kepada pemiliknya.[3]

       E. Pengertian Bai’ Tawarruq
Dalam Bahasa Arab akar kata dari tawarruq adalah wariq” yang artinya simbol atau karakter dari perak (silver). Tawarruq dapat juga diartikan dengan mencari perak, uang atau harta,[4] sama dengan kata ta’âllum, yang artinya mencari ilmu, belajar atau sekolah. Kata tawarruq dapat diartikan dengan lebih luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lainnya.
Secara Etimologi, tawarruq berasal dari bahasa arab, al-waraq, yang artinya daun. Menurut Ibnu Faris, al-waraq adalah harta, diqiyaskan kepada dedaunan sebatang pohon, karena sebatang pohon akan kelihatan usang dan menderita jika daunnya berguguran, seperti orang miskin.[5] Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith, al-wariq, dengan huruf ra baris bawah, berarti perak yang sudah diolah atau yang masih mentah.
Secara Terminologi, istilah tawarruq banyak terdapat dalam kitab kitab fiqh Hanbali, mereka mendefinisikannya sebagai “Seseorang membeli barang dengan cara mencicil, kemudian menjual barang tersebut secara cash kepada pihak ketiga (selain penjual pertama) dengan harga yang lebih murah untuk mendapatkan uang tunai atau likuiditas.[6]
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[7]
Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya adalah struktur yang dapat di lakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuhkan likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari  tawarruq:
1.      Seseorang yang membutuhkan likuditas (uang tunai) membeli produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di atas.
2.      Seseorang (mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi.
3.      Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan.
Transaksi tawarruq dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran,  atau dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarruq terjadi, ketika barang itu telah dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula [8].Tawarruq turun dari kata wariq, yang berarti perak; sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan tersebut kepada pihak lain .[9] kepada penjual yang sama, sedangkan pada tawarruq kepada pihak ketiga.   

F. Dasar Hukum Tawarruq
At-Tawarruq berasal dari kata dasar al wariq, yaitu mata uang perak. Allah berfi rman :
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا (١٩)
“Artinya: Dan demikianlah Kami bangunkan me-reka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu ber ada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun. (QS. Al Kahfi [18]: 19).”
G.   Pendapat Para Ulama Mengenai Tawarruq

Sebagian ulama berketetapan bahwa hukum bay tawarruq adalah makruh.[10] Ketetapan hukum ini adalah pendapat salah satu pendapat dari mazhab Hanbali. Pendapat ini diambil oleh Ibnu Taymiyah. Alasan mereka, bahwa jual beli ini seolah-olah seseorang menjual dirham dengan dirham yang lebih banyak atau meminjam dirham dan membayarnya dengan dirham yang lebih banyak sebagai kompensasi dari masa penantian. Jual beli ini mirip dengan riba. Meskipun bukan riba yang sesungguhnya[11]
Menurut ulama jumhur, hukumnya boleh, karena telah terpenuhi syarat dan rukun jual beli. Alasan pemikiran mereka ialah bahwa  jual beli tawarruq ini tidak terdapat larangan syariah padanya. Karena itu ia termasuk al-ibahah al-ashliyah (hukum dasarnya memang boleh), sesuai dengan kaedah,”Pada dasarnya semua akad itu dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya”[12]
Dasar pemikiran berikutnya ialah
الناس  اليوم محتاجون الى بيع التورق  للأن القرض الحسن قد قل أهله فمن احتاج الى المال لا يجد من يقرضه  وقد يضطر الى شراء سلعة بالتقسيط أو بثمن أجل ثم يبيعه -ولو يخسارة-  بثمن حال ليقضي بثمنها حاجته
Orang-orang di zaman sekarang membutuhkan bay’ tawarruq, karena qardhul hasan sangat sedikit orangnya (lembaga yang memiliki produk ini.red). Orang yang memerlukan uang tidak menemukan orang yang mau meminjamkan uang kepadanya.
 Maka  terpaksa-lah ia membeli barang secara cicilan atau dengan bayaran  secara kredit kemudian menjualnya kembali dengan harga cash –meskipun ia rugi karena lebih murah-.Hal ini ia lakukan  agar keperluannya terpenuhi yakni mendapatkan uang (wariq) sekarang.
H. Contoh Aplikasi Tawarruq
Bank (pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[13]

I. Pengertian Bai Wafa
Secara lughawi al-bayadalah jual beli, dan al-wafa’ adalah tenggang waktu, berarti bay’ al-wafa’ adalah jual beli dengan tenggang waktu.[14]  Secara etimologis, al-bay’ berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bay’ al-wafa’/ jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.[15] Bay’ al-wafa’ adalah seseorang yang menjual barang tidak bergerak kepada orang lain karena membutuhkan uang tunai, tetapi dengan syarat ketika sudah mempunyai uang maka bisa membeli kembali barang yang sudah dijualnya itu.[16]
Bay’ al-wafa’ adalah jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain, yaitu di saat penjual mengembalikan uang si pembeli maka si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Bay’ al-wafa’ disebut sebagai jual beli pelunasan, karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni pembeli mengembalikan barangnya apabila si penjual mengembalikan uangnya.[17] Menurut terminologi fiqh, sebagaimana diungkapkan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, bay’ al-wafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah tiba.[18]  Artinya, jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Misalnya, Adi sangat memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada Doni seharga Rp 100 jut a,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Adi akan membeli kembali sawah yang telah dijualnya kepada Doni seharga penjualan semula, yaitu Rp 100 juta,-. Akad yang digunakan dalam transaksi ini adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh diekploitasi Doni selama dua tahun itu dan dapat Doni manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Keuntungan yang didapatkan Doni adalah hasil tanah sawah yang diekploitasi atau dimanfaatkan Doni selama dua tahun tersebut. Musthafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan bahwa barang yang diperjualbelikan dalam bay’ al-wafa’ adalah barang tidak bergerak, seperti tanah perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan sawah. [19]
J. Sejarah bay’ al-wafa’
Bay’ al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke Timur Tengah.[20]  Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi hutangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang ini, menurut ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan bay’ al-wafa’.[21]
Manfaat bagi penjual yaitu penjual bisa mendapatkan uang yang diinginkan tanpa harus dengan terpaksa menjual barang tidak bergerak agar tidak keluar dari kepemilikannya.  Manfaat bagi pembeli  adalah pembeli dapat mengembangkan hartanya agar terhindar dari lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan.[22]
K.   Proses transaksi bay’ al-wafa’
Jelas bahwa transaksi semacam itu mengandung ketercampuran berbagai macam hukum jual beli dan berbagai hukum pegadaian. Dalam jual beli itu terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatan yang benar. Pembeli bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual. [23]
            Dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi jaminan harus kembali lagi kepada pemilik harta, maka akad ini mirip dengan rahn. Namun jika dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi jaminan tersebut bebas untuk diambil manfaatnya oleh penerima jaminan, akad ini mirip dengan bay’, sehingga jual beli ini merupakan jual beli khusus yang memang diperselisihkan oleh Ulama’ dari aspek hukumnya.
           Bay’ al-wafa’ sejak semula diakadkan sebagai jual beli, maka pembeli dengan bebas memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja muncul kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa pembeli tidak boleh menjual barang terebut kepada selain pemilik semula, karena barang tersebut merupakan sebuah jaminan atas hutang yang harus dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati. Apabila pemilik harta tersebut telah  mempunyai uang, maka ia harus mengembalikan hutangnya dan pembeli harus mengembalikan barang tersebut.[24]
Menurut Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk membayar hutangnya atau menyerahkan barang setelah hutang dilunasi, maka penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan. Jika yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya ketika jatuh tempo, maka berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual dan hutang dilunasi. Jika pihak yang memegang barang enggan menyerahkan barang ketika hutang telah dilunasi, pengadilan bisa memaksanya untuk menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya. [25]
L.  Hukum bay’ al-wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa dan Abdurrahman Ashabuni, dalam sejarahnya, bay’ al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan bay’ al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh, kemudian ulama fiqh yaitu ulama Hanafi melegalisasi jual beli ini. Imam Najmuddin an-Nasafi (461-573 H) seorang ulama terkemuka madzab Hanafi di Bukhara mengatakan: ‚para syekh kami (Hanafi) membolehkan bay’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Menurut Abu Zahrah, tokoh fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan bay’ al-wafa’ di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah adalah disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberikan hutang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapat imbalan apapun. Hal ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang membutuhkan modal. Keadaan ini membawa mereka untuk membuat akad tersendiri sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang kaya pun terayomi.
Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap bay’ al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasan mereka adalah:
a.     Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
b.     Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia
telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
c. Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW
maupun di zaman sahabat.
d. Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud
syarapensyariatan jual beli.
Namun demikian, para ulama generasi belakangan dapat menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan hukum positif dalam majalah ahkam al-‘adliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Utsmani) yang disusun pada tahun 1287 H, yaitu satu bab dengan judul bay’ al-wafa’, yang mencakup 9 pasal, yaitu pasal 118-119 dan pasal 396-403. Begitu juga dalam hukum positif Indonesia bay’ al-wafa’ telah diatur, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 112 s/d 115. [26]
Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan untuk dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, ‚Sejenis jual beli yang mereka perlihatkan yang disebut jual beli amanah yang mana dalam jual beli itu mereka bersepakat bahwa apabila telah dikembalikan pembayaran si penjual maka barang juga dikembalikan merupakan jual beli batil menurut kesepakatan para imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan dalam waktu akad atau melalui kesepakatan sebelum akad. Pendapat tersebut yang tepat daripada ulama‛ [27]

M .    Rukun bay’ al-wafa’
Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun dalam bay’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya. Demikian juga syarat-syarat bay’ al-wafa’ sama dengan syarat jual beli pada umumnya. Penambahan syarat untuk bay’ al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu yang berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih. [28]
N.  Perbedaan bay’ al-wafa’ dengan rahn
Perbedaan antara bay’ al-wafa’ dan rahn sebagai berikut:
a.Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang
dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangkan dalam
bay’ al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama
tenggang waktu yang disepakati.
b. Dalam rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama di
tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab
pemegang barang, sedangkan dalam bay’ al-wafa’ apabila kerusakan
itu bersifat total, baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi
apabila kerusakannya tidak parah maka hal itu tidak merusak akad.
c. Dalam rahn segala biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang
menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam bay’ al-
wafa’
biaya  pemeliharaan   sepenuhnya  menjadi   tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah disepakati.[29]













BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan

1. a.  Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh (deferred payment sale / BBA)
    b. Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda
    c. bay’ al-wafa’ adalah jual beli dengan tenggang waktu

2.  a. Bai al Inah Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
b. Bai Tawarruq Menurut ulama jumhur, hukumnya boleh, karena telah terpenuhi syarat dan rukun jual beli. Alasan pemikiran mereka ialah bahwa  jual beli tawarruq ini tidak terdapat larangan syariah padanya
c. Bai al Wafa , para ulama generasi belakangan dapat menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan hukum positif


3. Contoh Bentuk Pengaplikasian :

a. Bai al Inah : seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga yang lebih rendah dari harga jual pertama
b. Bai Tawarruq : Bank (pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai
c. Bai al Wafa’ : Adi sangat memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada Doni seharga Rp 100 jut a,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Adi akan membeli kembali sawah yang telah dijualnya kepada Doni seharga penjualan semula, yaitu Rp 100 juta,-. Akad yang digunakan dalam transaksi ini adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh diekploitasi Doni selama dua tahun itu dan dapat Doni manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Keuntungan yang didapatkan Doni adalah hasil tanah sawah yang diekploitasi atau dimanfaatkan Doni selama dua tahun tersebut






Daftar Pustaka

Abdullah al-Mushlih  dan  Shalah  ash-Shawi,   Fikih Ekonomi Islam (Jakarta: Darul Haq,  2013)
Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria,Mu'jam Maqayis al-Lughah,(Beirut: Darul Fikr, 1979)
Abu Hasan, Alaudin Ali bin Sulaiman al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifati ar-Rajih minal Khilaf, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1347 H)
Al-Kasany, Abu Bakr ibn Mas’ud. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut.
Al-Maqdisy, Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah  (Jakarta: Kencana, 2012), hal.185
Ismail, Sya’ban Muhammad.Dr, Ushul Fiqh al-Muyassar. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo, Cetakan pertama, 1415 H
 Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani,
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Sa’ad bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Riyadh : Darul Shoma’i, 2012)
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015)
wa Jannah al-Munazhi, Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama:1416 H
Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus; Dar al – Fikr
Yazid Afandi,  Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009)


[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 189.
[2] http://www.mail-archive.com/ekonomi-syariah@yahoogroups.com/msg00988.html
[3] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah  (Jakarta: Kencana, 2012), hal.185

 [4] Sa’ad bin Turki al-Khatslan, Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Riyadh : Darul Shoma’i, 2012), Cet., II, h. 114.

[5] Abu al-Husain Ahmad Ibnu Faris Zakaria,Mu'jam Maqayis al-Lughah,(Beirut: Darul Fikr, 1979), jilid6, h. 101.

[6] Abu Hasan, Alaudin Ali bin Sulaiman al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma'rifati ar-Rajih minal Khilaf, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1347 H), Cet., I, jilid 11, h. 195

[7] Ascarya, Ibid., hlm. 143.

[8] Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus; Dar al – Fikr, hlm. 115.

[9]  Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani,  hlm. 278.

[10] Al-Kasany, Abu Bakr ibn Mas’ud. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd al-Maujud Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama, 1418 H
[11] Al-Maqdisy, Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhi, Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama:1416 H
[12] Ismail, Sya’ban Muhammad.Dr, Ushul Fiqh al-Muyassar. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo, Cetakan pertama, 1415 H
[13] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah,... hal.185.

[14] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 64.
[15] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah   (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), 179.
[16] Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 766.
[17] Abdullah al-Mushlih  dan  Shalah  ash-Shawi,   Fikih Ekonomi Islam (Jakarta: Darul Haq,  2013), h. 128-129.
[18] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 64.
[19] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 153.

[20] Mardani,   Fiqh  Ekonomi  Syariah:   Fiqh   Muamalah     (Jakarta:   Kencana   Prenada   Media   Group, 2012), 179.
[21] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah..., 153.

[22] Abdullah al-Mushlih  dan  Shalah  ash-Shawi,   Fikih Ekonomi Islam (Jakarta: Darul Haq,  2013),
[23] Ibid., 129-130.

[24] Yazid Afandi,  Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), 65.
[25] Ibid., 66.
[26]  Mardani,   Fiqh  Ekonomi  Syariah:  Fiqh  Muamalah     (Jakarta:   Kencana  Prenada  Media   Group, 2012), 180-181.
[27]  Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Islam..., 130.
[28]  Ibid., 182
[29] Mardani,   Fiqh  Ekonomi Syariah:  Fiqh  Muamalah     (Jakarta:   Kencana  Prenada  Media   Group, 2012), h. 182-183.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Lafadz ‘amm dan Khash

Ketersambungan Sanad