Hikmah dilarangnya Pernikahan Sepersusuan


BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nikah merupakan sunnah Rasulullah SAW yang jika mengikuti sunnahnya berarti bukan dari golongannya. Tetapi dalam pernikahanada sebuah aturan Islam, yaitu orang-orang yang haram untuk dinikahi atau mahram. Menurut tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Qutub dikatakan, bahwa wanita yang haram dinikahi itu sudah terkenal (masyhur) pada semua umat, baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju. Wanita-wanita yang haram dinikahi adalah golongan wanita yang dijelaskan di dalam surat An-Nisa ayat 22-24. Sebagiannya dirahamkan untuk selamanya dan sebagiannya diharamkan dinikahinya dalam kurun waktu tertentu. Dalam Makalah ini  akan penulis  jelaskan mengapa dilarang menikahi sepersusuan atau radaah

B. Rumusan Masalah
1. Apa Hikmah  dilarangnya  Pernikahan Sepersusuan ?







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Rada’ah atau Sepersusuan
Rada‘ah secara bahasa adalah proses menyedot puting, baik hewan manupun manusia. Sedangkan menurut syara‟ yaitu dengan sampainya air susu manusia pada lambung anak kecil yang belum genap berumur dua tahun.[1] Selain itu rada‘ah menurut syara‟ juga didefiniskan penyedotan anak yang menyusu pada puting manusia dalam waktu tertentu[2]  ..rada‘ah merupakan  perbuatan yang dilakukan satu kali dalam penyusuan, sebagaimana lafadz darbatan (satu kali pukul) jalsatan (satu kali duduk) dan aklatan (satu kali makan), ketika seorang anak kecil menyedot puting susu kemudian meninggalkan dengan kemauannya se ndiri tanpa paksaan maka hal tersebut dinamakan rad}a‘ah .[3]
Ulama fiqh berpendapat bahwa anak-anak yang belum mencapai umur dua tahun ketika umurnya mencapai usia dua tahun perkembangan biologis anak tersebut ditentukan oleh kadar susu yang diterima. Dengan demikian susuan anak kecil pada masa ini sangat berpengaruh dalam perkembangan fisik mereka[4]
B. Dasar Hukum Rada‘ah
Dalil yang menjadi dasar rada‘ah bersumber dari:
a. Ayat Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dan surat an-Nisa‟ ayat 23
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ  
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempua; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;

وعن ابن عيينة عن عمر بن دينار وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قال النبي صلي الله عليه وسلم لَا رَضَاعَ إِلَّا فِي اَلْحَوْلَيْنِ .رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَابْنُ عَدِيٍّ مَرْفُوعًا وَمَوْقُوفًا, وَرَجَّحَا اَلْمَوْقُوفَ

“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: nabi SAW besabda: “Tidak ada penyusuan kecuali dalam dua tahun.” Hadits marfu' dan mauquf (HR. Daruquthni dan Ibnu 'Adiy.) Namun mereka lebih menilainya mauquf.

C. Rukun dan Syarat  Rada ‘ah
a.Rukun rada‘ah
Jumhur Ulama selain Abu Hanifah bahwa rukun rada‘ah ada tiga yaitu:
1.              Anak yang menyusu
2.        Wanita yang menyusui
Wanita yang menyusui menurut beberapa pendapat para ulama disyaratkan adalah seorang wanita, baik dewasa, dalam keadaan haid, hamil atau tidak. Akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang air susu dari wanita yang sudah meninggal.[5] Menurut Imam Syafi‟i susu harus berasal dari wanita yang masih hidup, sedangkan menurut Imam Hanafi dan Malik boleh meskipun tersebut sudah mati.[6]
3.      Air Susu
b.   Syarat rada‘ah
  Menurut jumhur ulama syarat sesusuan yang mengharamkan nikah adalah:[7]
a. Air susu yang diberikan kepada anak susuan harus dihasilkan
dari hubungan yang sah. Maksudnya adalah jika air susu itu
mengalir bukan disebabkan karena nikah melainkan dari
hubungan zina, maka air susu tersebut tidak menyebabkan
kemahraman.[8]                                               .
b. Air susu harus berasal dari seorang wanita baik masih perawan
maupun sudah berkeluarga atau janda. Jika yang diminumkan
itu selain susu, seperti munum air kuning, darah, atau air
muntahan maka tidak haram menikahi, sama halnya jika susu
yang diminum itu dari seseorang lelaki, banci, atau dari
binatang ternak. Jika ada dua orang bayi lelaki dan perempuan
meminum susu kambing maka keduanya tidak menjadi saudara
meskipun satu susuan karena susu yang diminum bukan dari
seorang wanita. Dan keduanya halal untuk menikah karena
tidak terhitung saudara, sedangkan persaudaraan itu cabang
dari keibuan. Jika tidak ada pangkal maka tidak ada cabang.[9]


D. Hikmah Larangan Menikah Sepersusuan atau Radaah
Hikmah dilarangnya mengawini wanita-wanita disebutkan di atas adalah agar sistem kekeluargaan dapat berjalan secara harmonis dan penuh kasih sayang, sehingga keluarga besar itu merupakan satu unit masyarakat kecil yang kokoh. Menurut Imam al-Kasani, ahli fiqh mazhab Hanafi menyebutkan bahwa apabila seseorang laki-laki dibolehkan kawin dengan wanita-wanita yang disebutkan di atas, maka akan muncul permusuhan di antara keluarga, akibatnya adalah putuslah hubungan kekeluargaan yang sangat dimuliakan Islam. Di samping itu, perkawinan seketurunan bisa menghasilkan generasi yang lemah. Dalam sebuah Atsar Sahabat menyebutkan; Nikahilah wanita-wanita yang jauh (dari hubungan kekerabatan) karena perkawinan seketurunan itu akan menurunkan generasi-generasi yang lemah.[10]
Selanjutnya ketentuan mengenai larangan kawin karena hubungan rada’ah ini juga mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, sesuai dengan prinsip hukum Islam yang senantiasa menginginkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia. Bahkan nilai kemaslahatan yang diberikan tidak hanya untuk pemeluk agama Islam saja, melainkan seluruh umat manusia termasuk non-muslim.
Jika dilihat secara seksama, larangan kawin karena hubungan susuan ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi terciptanya masyarakat yang sehat dan kuat. Dalam ilmu kedokteran dapat dibuktikan bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih satu hubungan susuan memiliki resiko lebih besar untuk menularkan penyakit mematikan. Di samping itu, ada banyak kemaslahatan yang di dapat dari ketentuan larangan kawin karena hubungan rada’ah ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya dijelaskan bahwa adanya sesuatu di dalam hukum syara’ yang agak sedikit memberatkan itu memang disengajakan oleh syara’, tetapi yang demikian itu tidaklah dinamakan pemberatan seperti usaha mencari rezeki atau mengerjakan sesuatu. Maka dengan demikian berbedalah antara pemberatan yang tidak dipandang berat dengan pemberatan yang memberatkan. Sesuatu perbuatan yang apabila kita mengerjakannya timbul sesuatu kecederaan pada diri, harta, kesadaran kita. Maka, itulah yang dinamakan pemberatan yang luar biasa. Kalau tidak demikian maka tidaklah dipandang pemberatan.[11] Dengan demikian jelaslah bahwa, larangan kawin yang ditentukan oleh syara’  bukan hal yang memberatkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pelarangan yang justru memiliki manfaat yang luar biasa bagi manusia yang menjalankannya, syariat Islam menempati posisi terdepan dalam menebarkan maslahat di muka bumi.
Penting diingat bahwa, air susu ibu memiliki komposisi gizi yang sebanding dengan kebutuhan bayi, karena di dalamnya terkandung berbagai unsur antara lain; protein, lemak, laktosa, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Yang jika dikonsumsi akan mengakibatkan pembentukan antibodi (imunitas) dalam tubuh bayi yang menyusu setelah tiga sampai lima kali susuan. Ini adalah jumlah susuan yang dibutuhkan untuk pembentukan antibodi dalam tubuh manusia, bahkan pada hewan percobaan yang baru lahir dan yang perkembangan sistem imunitasnya (kekebalan tubuhnya) belum sempurna.
Asi juga menyimpan dilema bagi hubungan antara ibu yang menyusui dengan bayi yang disusuinya. Dilema tersebut ketika si bayi tersebut menyusu maka ia akan mendapatkan beberapa ciri genetik khusus untuk kekebalan dari susu yang diminumnya. Dan selanjutnya hal yang demikian itu menjadikan kesamaan pada sifat-sifat genetik dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan sepersusuannya. Dan telah ditemukan bahwasanya materi-materi kekebalan tubuh (antibodi) ini dapat menyebabkan gejala-gejala penyakit dan bahkan bisa menyebabkan kematian pada saudara laki-laki ketika mereka menikah dengan saudara perempuan sepersusuannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, kita menemukan hikmah yang terkandung kenapa Allah swt melarang pernikahan sesusuan sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an yang mulia maupun al-Hadis. Ternyata ada hikmah yang tidak terbayangkan banyaknya buat manusia, yaitu menghindari berbagai penyakit dan bahkan menyelamatkan nyawa manusia.
Bahaya selanjutnya, apabila terjadi pernikahan antara orang-orang yang memiliki hubungan satu susuan, menyebabkan akibat buruk bagi keturunan. Dalam beberapa literatur dijelaskan akan melahirkan keturunan yang lemah, acapkali menyebabkan lahirnya anak-anak yang cacat baik fisik  maupun menatal.[12] Dalam keterangan lainnya, disebutkan bahwa sebenarnya tubuh si anak itu terbentuk dari air susu ibu yang menyusuinya, dan anak tersebut akan mewarisi watak dan perangai seperti anak yang dilahirkannya sendiri. Ia seolah-olah seperti bagian dari tubuhnya yang terpisah kemudian berdiri sendiri.[13] Dengan demikian, ternyata hikmah yang selanjutnya tentang larangan kawin rada’ah ini, disamping apa yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa mendatangkan berbagai penyakit dan bahkan menghilangkan nyawa manusia, juga menghindari keturunan yang buruk dan lemah.
Ketentuan larangan kawin karena hubungan susuan akan memperluas pengertian saudara. Dalam ketentuan ini, faktor satu susuan dapat dijadikan sebagai alasan larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Maksudnya, hubungan satu susuan disejajarkan dengan hubungan yang berdasarkan nasab atau hubungan darah. Faktor ini akan memperluas makna saudara. Sebuah keluarga akan memiliki anggota yang lebih besar disbanding dengan kondisi sesungguhnya, lantaran ibu di antara mereka pernah menyusui bayi di luar lingkungan keluarga tersebut.
Masih dalam pembahasan larangan kawin karena rada’ah termasuk juga haram mengawini ibu yang menyusui karena dia sejenis dengan ibu kandung. Mereka berdua sama-sama menyusui anak dan memberikan susunya setelah melahirkan. Pemberian itu merupakan penguat bagi diri dan kehidupan anak meskipun ibu menderita dalam memelihara dan mendidiknya untuk pertama kali. Dengan demikian,para ibu yang menyusui adalah ibu kedua yang memiliki hak-hak seperti ibu sendiri karena keduanya sama-sama memberikan makanan berupa susu dan juga sama-sama memeliharanya.[14]












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Rahasia di balik larangan kawin karena hubungan susuan ialah dapat menjaga kesehatan dan kepentingan keturunan. Perkawinan karena hubungan susuan juga dapat menghasilkan keturunan yang buruk lemah fisik maupun mental dan tidak kalah pentingnya dibalik larangan kawin susuan ini karena dapat menghilangkan nyawa seseorang yang disebabkan banyaknya penyakit yang ditularkan. Pelarangan kawin karena hubungan susuan ini juga telah sejalan dengan tujuan pembentukan hukum (al-Maqasidussyari’ah) yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia.













Daftar Pustaka

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Abdurrahman al-jaziri, Kitab al-Fiqh „Ala al-Madzab al-Arba ah, Juz IV, ( Beirut: Darul-Fikr)
Abdurrahman Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazhab al-Arba„ah, (Beirur: Dar al-Fikr, tt),
Abi Atayib Muhammas, Aun al-Ma bud, ( Beirut: dzar al-kutub al-„ilmiyayah, 1990) jilid III,
Ahmad Syauqani al-Fanjari, Nikah Kesehatan Dalam Syari’at Islam, alih bahasa oleh Totok Jumantoro, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), diterjemahkan oleh Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988)
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammas as-Syaukani, Nail al-Authar, juz V, (Beirut: Dar al- Jil, 1995)
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzabiyah al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 1996),
Wahba az-Zuhaili, Fiqh Sunnah wa al-Dillatuhu, ( Jakarta: Gema Insani, 2011)
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr , 1997)



[1] Abdurrahman al-jaziri, Kitab al-Fiqh „Ala al-Madzab al-Arba ah, Juz IV, ( Beirut: Darul-Fikr), 219

[2] Abi Atayib Muhammas, Aun al-Ma bud, ( Beirut: dzar al-kutub al-„ilmiyayah, 1990) jilid III, 38.

[3] Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammas as-Syaukani, Nail al-Authar, juz V, (Beirut: Dar al- Jil, 1995), 310.

[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1475.

[5] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 39-40.

[6] Abdurrahman Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazhab al-Arba„ah, (Beirur: Dar al-Fikr, tt), h. 221-222.

[7] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr , 1997),h.  72

[8] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzabiyah al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 1996), 340.
[9] Wahba az-Zuhaili, Fiqh Sunnah wa al-Dillatuhu, ( Jakarta: Gema Insani, 2011), 50.

[10] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid 3, h.
1049
[11] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 207.
[12] Ahmad Syauqani al-Fanjari, Nikah Kesehatan Dalam Syari’at Islam, alih bahasa oleh Totok Jumantoro, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 153.

[13] Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), diterjemahkan oleh Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 98.
[14] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 128.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah