Skripsi Pengembalian Mahar Qabla Al Dukhul (Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul)
PRAKTIK PENGEMBALIAN MAHAR QABLA AL
DUKHUL
(Studi Kasus di Desa Tambak Danau
Kecamatan Astambul)
OLEH
FAUZUR RAHMAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2015 M/1436 H
PRAKTIK PENGEMBALIAN MAHAR QABLA AL DUKHUL
(Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana
Hukum Islam
Oleh
Fauzur Rahman
NIM. 1101110031
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI SYARIAH
JURUSAN HUKUM KELUARGA
(AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)
BANJARMASIN
2015 M/1436 H
KATA PENGANTAR
بسـم الله الرحـمن الـرحيـم
الحمد الله ربّ العـالمين ، والصـلاة والسـلام
على أشرف الأنبيـاء والمرسـلين سيـدنا محمّـد وعلى اله وصحبـه أجمـعين.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan
syukur bagi Allah swt., Tuhan sekalian alam. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad saw., kepada keluarga dan sahabat beliau
sekalian.
Suatu berkah yang layaknya penulis syukuri, Karena dengan kudrat dan
iradat-Nya, taufik dan hidayah-Nya, akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul : Praktik
Pengembalian Mahar Qabla Al Dukul (Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul), sesuai dengan
kemampuan, pengetahuan dan keilmuan yang penulis miliki selama mengikuti
perkuliahan di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin.
Selama penyusunan skripsi
hingga menyelesaikannya, penulis banyak menerima bantuan dan arahan dari
berbagai pihak dan kepada mereka semua diucapkan terima kasih yang tak
terhingga, secara khusus penulis menyatakan terima kasih kepada:
1. Bapak Dekan Fakultas
Syariah IAIN Antasari Banjarmasin yang telah berkenan memberikan presetujuan
terhadap skripsi ini untuk dimunaqasahkan.
2. Bapak Ketua Jurusan
Perbankan Syariah yang telah menyetujui skripsi ini sampai bisa diajukan.
3. Ibunda Dra. Hj. Mashunah
Hanafi M.A, dan Bapak Drs. Ahmad Nor S.E, M.H.I. sebagai pembimbing I dan
pembimbing II yang telah begitu banyak memberikan bimbingan, petunjuk, arahan,
dan koreksi dalam penyusunan konsep, metode, dan materi skripsi ini dan
perbaikan-perbaikan hingga penyempurnaan, sehingga penulis berhasil menyelesaikannya.
4. Semua dosen dan asisten
dosen pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin yang
telah banyak memberikan berbagai bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
berguna bagi penulis.
5. Bapak Pambakal
Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul, Sekretaris Desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul beserta aparat yang telah bersedia mengizinkan penulis melakukan
penelitian.
6. Semua Responden
dan Informan yang semuanya telah
membantu penulis dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan.
7. Semua pihak yang
telah membantu pelaksanaan penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, dan penulis berdoa semoga semua yang telah dilakukan
mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Semoga semua yang telah kalian
berikan mendapat ganjaran di sisi Allah swt. Akhirnya penulis berharap, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Amien Ya
Rabbal ‘alamien.
Banjarmasin, 15 Juni 2015 M
28 Sya’ban1436 H
Penulis
|
MOTTO
PENGALAMAN ADALAH GURU
YANG TERBAIK
-----------------------------------------------------
KATA PERSEMBAHAN
Kupersembahkan
karya ini :
Kepada-Mu
ya Allah, kuserahkan segala urusan, karena aku sadar kalau hidup dan
Matiku adalah milik-mu, Semoga Engkau selalu meridhao
jernih payahku selama ini.
Dan memberikan petunjuk-Mu kepada jalan yang lurus, yaitu
jalan yang Engkau ridhai.
Untuk menjalani hari esok yang lebih baik....
Yang selalu tulus mendo’akan siang
dan malam untuk kebahagiaan hidupku, yang menghapus rasa kesedihanku......
Terimakasih Mama dan (Alm) Abah untuk cinta dan pengorbanan yang telah
diberikan kepadaku.
Kakak-kakak yang ku sayangi..... Fauzain Nor
Kholil dan Fauzatin Ni’mah..
Terimakasih selalu mensupport agar tak pantang menyerah. Terimakasih untuk kasih sayang tulus kepadaku
selama ini.
Yang
tak pernah lelah mengajari dan membagikan ilmunya untuk masa depanku dikemudian
hari... Terimakasih Seluruh dosen... Untuk kemuliaan hati kalian yang
terus memberikan ilmu dan pengalaman berharga selama ini.
Terimakasih
kepada kawan-kawan HK 2011 dan sanak-sanak AS lokal A, yang telah memberikan
persahabatan terindah dalam bagian hidup ku... Kawan seperjuangan untuk
semester ini, terimakasih dengan ikhlas membantu dan memberikan ilmunya kepada
ku...
RIWAYAT
HIDUP PENULIS
1. Nama Lengkap : Fauzur Rahman
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Banjarmasin / 03-09-1990
3. Agama : Islam
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Status Perkawinan : Belum Kawin
6. Alamat : Jl. Belitung
Darat Gg.Al Inayah Rt.37 N0.4 Banjarmasin Kalimantan Selatan
7. Pendidikan : a. TK Inayatuthatfal 1997
b. MI Inatusshibyan I
2003
c.
MTs Inayatutthalibin, lulus tahun 2006
d. Ponpes Darussalam Martapura
2008
e. MAN I Banjarmasin 2011
f. Ma’had Umar Littahfidzil Qur’an Banjarmasin 2013
e. IAIN Antasari
Banjarmasin Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Jurusan Hukum Keluarga (AS) 2011
8. Orang Tua
Ayah
Nama : (alm)
Abdul Wahab
Pekerjaan : -
Alamat :
Jl. Belitung
Darat Gg.Al Inayah Rt.37 N0.4 Banjarmasin Kalimantan Selatan
Ibu
Nama : Hj. Fauziah S.Pd.I
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jl. Belitung
Darat Gg.Al Inayah Rt.37 N0.4 Banjarmasin Kalimantan Selatan
Anak ke/ Saudara : Dua/tiga
bersaudara
Banjarmasin,
15 Juli 2015
Fauzur Rahman
ABSTRAK
Fauzur Rahman, 2015, Praktik Pengembalian Mahar Qabla Al Dukhul
(Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul). Skripsi, Jurusan
Hukum Keluarga Ahwal Al Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam.
Pembimbing: (I) Dra. Hj. Mashunah Hanafi, M.A, (II) Drs. Ahmad Nor, S.E, M.H.I.
Skripsi ini
mengangkat permasalahan mengenai praktik pengembalian mahar qabla al dukhul
(Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul). Latar belakang masalah
adanya praktik pengembalian mahar qabla
al dukhul tersebut adalah karena adanya kesalahpahaman mantan suami dan istri dalam
pembagian mahar qabla al dukhul yang di sebabkan salah pemahaman terhadap mahar
dan patalian / jujuran yang dapat menimbulkan polemik.
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran praktik pengembalian
mahar qabla al dukhul dan bagaimana latar belakang dan dampak terjadinya
pengembalian mahar qabla al dukhul. Adapun tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui gambaran praktik pengembalian mahar qabla al dukhul di desa Tambak
Danau dan untuk mengetahui latar belakang dan dampak terjadinya praktik
tersebut.
Penelitian
ini adalah penelitian hukum empiris berupa penelitian lapangan (field
research) yang bersifat studi kasus
dengan mengangkat dua kasus sebagai objek penelitian. Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Melalui teknik analisis
kualitatif dengan cara menelaah temuan di lapangan dengan teori mahar (bab II),
penelitian ini menghasilkan temuan-temuan :
Kasus I :Praktik
pengembalian mahar qabla al dukhul yang
terjadi di desa Tambak Danau sesuai dengan hukum Islam yaitu mengembalikan
mahar setengah dari mahar yang di ucapkan, namun permasalahan terletak pada
pemahaman mereka terhadap mahar, pesangon/jujuran dan patalian. Mahar dan
pesangon/jujuran menurut responden adalah sama yaitu pemberian dari calon suami
kepada calon istri. Kasus II : Praktik pengembalian mahar qabla al dukhul tidak sesuai dengan hukum Islam dikarenakan
dikembalikan seluruh mahar yang di ucapkan. Adapun faktor penyebab terjadinya
pengembalian mahar qabla al dukhul ialah
di jodohkan, tidak memahami hukum Islam, khususnya terkait pernikahan,
tingkat pendidikan rendah, peselisihan tempat tinggal, takut tidak dapat pekerjaan.
Adapun dampak terjadinya pengembalian mahar qabla al dukhul ialah menimbulkan perselisihan diantara keluarga,
memutuskan tali silaturrahmi dan kekeluargaan, menimbulkan kerugian materil, menimbulkan
gangguan psikologis, dan menimbulkan aib.
Adapun
Menurut analisis penulis
berdasarkan hukum Islam bahwa praktik pengembalian mahar qabla al dukhul pada
kasus I sejalan dengan Hukum Islam
Menimbulkan perselisihan diantara keluarga,
memutuskan tali silaturrahmi dan kekeluargaan. ,Menimbulkan kerugian materiil,
menimbulkan gangguan psikologis, menimbulkan aib
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Serta
menjadikan makhluk-Nya yang paling sempurna, yaitu laki-laki dan
perempuan, menciptakan hewan jantan dan betina, begitu pula dengan
tumbuh-tumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar semua makhluk hidup
berpasang-pasangan, rukun dan damai. Sehingga akan tercipta kehidupan yang tenteram,
teratur dan sejahtera. Agar makhluk hidup dan kehidupan di dunia ini tetap
lestari, maka harus ada keturunan yang akan melangsungkan dan melanjutkan
jalannya roda kehidupan di bumi ini. Untuk itu harus ada pengembang biakan. Dan
jalinan hubungan mereka dipersatukan oleh suatu akad yang dikenal dengan
pernikahan atau perkawinan.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,
baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah suatu cara
yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang, dan melestarikan hidupnya.[1] Nikah
menurut bahasa berarti kumpul.[2]
Sedangkan menurut peraturan syara”, kata nikah berarti akad yang telah
masyhur yang mengandung rukun-rukun dan syarat-syarat.[3]
Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya pernikahan, karena
pernikahan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga
yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat. Pernikahan bagi manusia bukan
sekedar persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk
lainnya, tetapi pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Rum: 30.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ ( الروم : ٢١)
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS. Ar Rum: 21)[4]
Dikarenakan nilai-nilai hidup yang menyangkut tujuan pernikahan tersebut
dan menyangkut pula kehormatan keluarga dan kerabat bersangkutan dalam
pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan pernikahan diatur dengan tata
tertib adat, agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang
memalukan yang akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat
bersangkutan.[5]
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan
memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar
hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lainnya, atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh
menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan
ridha dan kerelaan istri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An
Nisaa”: 4.
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D (النساء :٤)
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.. kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”. (Q.S An Nisa”: 4)[6]
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan
oleh lelaki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[7]
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut maka tidak
halal menerimanya. Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam
Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Mahar itu wajib diberikan kepada istri, sebagai jalan untuk menjadikan istri
senang dan ridha menerima kekuasaan suami kepada dirinya.[8]
Apabila akad dilaksanakan dengan menyebutkan mahar, kemudian si suami
menjatuhkan talak sebelum melakukan hubungan seksual maka gugurlah separuh
mahar[9],
sebagaimana Allah berfirman SWT dalam surah Al Baqarah : 237.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ
بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : ٢٣٧)
Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan”.(Q.S Al Baqarah; 237) [10]
Kalau suami belum membayarkan apapun kepada wanita yang kepadanya dia
harus membayar mahar, lalu dia menceraikan sebelum melakukan hubungan seksual,
maka dia wajib membayar separuh mahar kepada wanita tersebut. Kalau dia sudah
menyerahkan seluruhnya, dia boleh meminta kembali separuhnya bila mahar
tersebut masih ada, dan separuh penggantinya yang senilai dengan mahar yang
dulu diberikannya telah habis.[11]
Hal ini juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni pada pasal 35
ayat (1) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut :
“(1) Seorang
suami yang mentalak istrinya qabla al dukhǔl wajib membayar setengah mahar
yang telah ditentukan dalam akad nikah”. (3) Apabila perceraian terjadi qabla
al dukhǔl tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar
mahar mitsil”.[12]
Dari keterangan dan dasar hukum tersebut di atas dapat disimpulkan
apabila terajdi perceraian qabla al dukhǔl, suami wajib membayar separuh
dari mahar apabila maharnya sudah ditetapkan dan suami hanya membayar mahar mitsil
apabila mahar belum ditetapkan.
Hasil dari observasi awal, penulis menemukan praktik pengembalikan mahar qabla
al dukhǔl. Seperti kasus yang terjadi di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul
Kabupaten Banjar. Terjadi perceraian qabla al dukhǔl antara suami istri,
mahar suami sebesar Rp 100.000, dan jujurannya sebesar Rp 15.000.000. Karena
terjadi perceraian apalagi belum berkumpul, pihak suami minta uang yang
diserahkan sebesar Rp 15.000.000 untuk dikembalikan. Akan tetapi dari pihak
istri hanya mengambalikan Rp 50.000 atau setengah dari mahar yang diucapkan
suami, karena tidak terima uang yang dikembalikan hanya RP 50.000, maka
terjadilah polemik diantara dua belah pihak,
Menurut H.Abdullah[13]
Polemik terjadi karena ketidakpahaman terhadap makna mahar dan jujuran, menurut
mereka uang sebesar Rp 15.000.000 termasuk mahar atau mahar itu sama dengan
jujuran, dan harus dikembalikan seluruhnya. Akan tetapi ada yang mengatakan
jujuran itu hanya pemberian semata dan tidak dikembalikan jika terjadi cerai qabla
al dukhǔl, dan hanya setengah mahar saja yang dikembalikan. Ketidakpahaman
ini tentu akan menjadi masalah jika nantinya terjadi perceraian qabla al duhkul.
Dari uraian diatas, tergambar tentang praktik pengembalian mahar qabla al
dukhǔl, praktik tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan yang tidak mudah dalam menumukan solusinya. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut praktik tersebut dalam
sebuah karya ilmiah yang berjudul “Praktik
Pengembalian Mahar Qabla Al Dukhǔl ( Studi Kasus di Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran praktik pengembalian mahar qabla al dukhǔl di
desa Tambak Danau Kecamatan Astambul ?
2.
Bagaimana latar belakang dan dampak terjadinya
pengembalian mahar qabla al dukhǔl di desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul ?
C.
Tujuan
Penelitian
Untuk menjawab
rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara
lain adalah :
1. Untuk
mengetahui gambaran praktik pengembalian mahar qabla al dukhǔl di
desa Tambak Danau Kecamatan Astambul.
2. Untuk
mengetahui latar belakang dan dampak terjadinya pengembalian mahar qabla al
dukhǔl di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul.
D.
Signifikansi
Penelitian
Peneliti
mengharapkan baik sekarang maupun di masa yang akan datang hasil penelitian ini
diharapkan dan digunakan untuk :
1. Sosialisasi untuk
masyarakat tentang konsep bagaimana mengembalikan mahar apabila terjadi
qabla
al dukhǔl.
2. Bahan
kajian ilmiah dan terapan dalam bidang hukum keluarga yang nantinya dapat menjadi perbandingan dalam
sudut pandang lain dalam mengadakan penelitian lebih lanjut tentang masalah
ini.
3. Bahan
untuk menambah khazanah pengembangan
literatur pada kepustakaan IAIN Antasari Banjarmasin, khususnya Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam.
E.
Definisi
Operasional
Untuk
menghindari terjadinya kesalahpahaman dan kekeliruan dalam menginterpretasikan
judul yang akan diteliti dan kekeliruan dalam memahami tujuan penelitian ini,
maka peneliti merasa perlu memberikan batasan istilah dan penegasan judul
penelitian, sebagai berikut :
1.
Praktik adalah
penyelesaian secara nyata apa yang disebut dalam teori.[14] Yang dimaksud disini adalah pelaksanaan
pengembalian mahar qabla al dukhǔl ketika terjadi talak sebelum dukhul.
2. Mahar adalah Pemberian
Suami kepada Istrinya ketika Akad nikah[15].
Maksudnya pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
ketika melangsungkan akad nikah. Mahar merupakan salah satu unsur penting dalam
proses pernikahan.
3. Qabla Al Dukhǔl yang dimaksud disini adalah perempuan yang sudah menikah
dan belum dicampuri oleh suaminya
F.
Sistematika Penulisan
Penulisan
skripsi ini disusun dalam lima bab yang diambil dari referensi-referensi, baik
dari buku maupun dari data-data atau dokumen-dokumen serta hasil wawancara
langsung dengan responden dan informan yang ada di desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul.
BAB I Pendahuluan, merupakan penjelasan
mengenai latar belakang penelitian, kemudian ditarik secara eksplisit rumusan
masalah. sebagai acuan dari keseluruhan penelitian ini akan ditegaskan dengan
tujuan penelitian secara final agar lebih jelas dan terarah serta manfaat
penelitian itu sendiri baik secara teoritis maupun praktik. Definisi
operasional untuk menghindari kesalah pahaman dalam penulisan dan sebagai
pembatas istilah agar tidak terjadi banyak pengertian, pada tahap berikutnya
dirumuskan langkah-langkah dalam pengumpulan data, kemudian sebagai gambaran
yang ada di tiap bagian atau bab yang menjadi sumber-sumber data maka dibuatlah
sistematika penulisan.
BAB II Ketentuan Umum tentang mahar,
bagian yang berfungsi untuk menjelaskan teori yang terkait dengan masalah
penelitian, diantaranya meliputi penjelasan mahar secara umum, dasar hukum
mahar, macam-macam mahar, kadar mahar dan syarat mahar, ketentuan pengembalian mahar
apabila terjadi talak qabla al dukhǔl.
BAB III
Metode penelitian yang digunakan untuk memudahkan penelitian dalam menyelesaikan
masalah yang diteliti agar data yang di dapat valid. Pada bab ini juga
dipaparkan metode dalam
melakukan penelitian yang meliputi, jenis, sifat penelitian dan lokasi
penelitian, subjek, objek penelitian, data dan sumber data, analisis data serta
tahap penelitian.
BAB IV Laporan hasil penelitian yang memuat gambaran
umum tentang tempat penelitian, deskripsi kasus perkasus dan rekapitulasi data
dalam bentuk matriks yang dilanjutkan dengan analisis.
BAB V yaitu Penutup yang terdiri dari kesimpulan dans saran-saran,
yang selanjutnya di ikuti dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
G.
Kajian
Pustaka
Untuk
menghindari kesalahpahaman dan untuk memperjelas permasalahan yang peneliti
angkat, maka diperlukan kajian pustaka untuk membedakan penelitian ini dengan
penelitian yang telah ada. Berikut penelitian sejenis yang telah diteliti,
yaitu :
Penelitian yang dilakukan Siti Zainah (0001113607) Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah yang berjudul “Pengembalian Mahar Qabla al dukhǔl(Persepsi Hakim
Pengadilan Agama Martapura). Dalam penelitian ini, pembahas menguraikan
tentang perbedaan besar mahar yang disebutkan pada saat pengucapan akad nikah
(ijab qabul) dengan yang tercatat diakta nikah. Sebagai peneliti, saya tertarik untuk meneliti
kasus terhadap pengembalian
mahar qabla al dukhǔl yang ada di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul. karena penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, yaitu peneliti fokus pada praktik yang terjadi di desa Tambak Danau
Kecamatan Astambul mengenai pemahaman
terhadap jujuran dan mahar dan dampaknya terhadap pengembalian mahar Qabla
al dukhûl .
Penelitian yang dilakukan Siti
Fatimah (0201115007) Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah, yang
berjudul “Pemanfaatan Mahar Oleh Orang Tua Di Kecamatan Kapuas Timur
Kabupaten Kapuas”. Dalam penelitian ini, pembahasannya menguraikan tentang
gambaran pemanfaatan mahar oleh orang tua yang ditentukan oleh orang tua dari
pihak perempuan adalah berbentuk uang penelitian ini berbeda dengan yang akan
penulis. Karena penulis fokus pada pengembalian mahar jika terjadi talak qabla
al dukhǔl.
Penelitian Maimunah (0101114288)
Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah, yang berjudul “Praktik Pemenuhan Pembayaran
Mahar di Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar”. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang akan penulis teliti, yaitu membahas pemenuhan mahar
terhadap istri, sedangkan penulis membahas praktik pengembalian mahar qabla
al dukhǔl. Jadi, penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian
sebelumnya terdapat perbedaan.
[1] Slamet
Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat I (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 9.
[2]
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, (Surabaya : Bina Iman, t.t.), h. 76.
[3]
Ibid, h. 77.
[4] Departement
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ Al Malik
Fahd Li Thiba’ At Al Mush-haf, 1997), h. 644.
[6] Departement
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
h. 115.
[7] Slamet
Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, h. 45.
[8] Ibid, h. 374.
[10]Departement
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Madinah: Mujamma’ Al Malik Fahd LI Thiba’ At Al Mush-haf, 1997), h. 58.
[11]Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
h. 374.
[13]
Wawancara dengan Tokoh Agama Desa Tambak Danau, Pada Tanggal 5 Februari 2015 di
Tambak Danau Pukul 14.00 Wita.
[14]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
( Jakarta: 2005), Edisi III, h. 892.
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG MAHAR
A. Pengertian Mahar
Mahar mempunyai sepuluh nama lain, yaitu : mahar, shadâq, niḥlah, farỉdhah,
ḫabâ, ajr, ứqr, ảlâ ỉq, thaul, dan nikâḥ.[1]
Kata shadâq, niḥlah, farỉdhah, dan ajr disebutkan dalam Al-Qur’an Sedangkan kata mahar, aliqah, dan uqr
ada dalam As Sunnah. shadâq berasal dari kata shidq
(kesungguhan) sebagai isyarat keinganan menikah yang sungguh-sugguh.[2] Digunakannya
kata shadâq karena mahar itu bukan hanya sejumlah uang, harta dan
lain-lain, sebagaimana lahirnya tetapi juga suatu pertanda kebenaran dan
kesungguhan cinta kasih pria.[3]
Dalam istilah bahasa Indonesia mahar itu biasanya disebut juga dengan
maskawin. Menurut bahasa kata مهر berasal
dari bahasa arab diambil dari kata مهر - يمهر- مهرا yang berarti mahir, pintar, maskawin, mahar.[4] Menurut istilah mahar ialah pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan,
ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar adalah merupakan salah satu unsur
terpenting dalam proses pernikahan.[5]
Menurut Ibrahim
al Bajuri, mahar adalah :
اسم
المال واجب على الرجل بالنكاح [6]
Artinya : "Nama bagi suatu harta yang wajib
diberikan atas seorang laki-laki dengan sebab nikah."
Menurut
Sayyid al Biqry, mahar adalah :
ما
وجب بالنكاح او وطء[7]
Artinya : "Sesuatu yang diwajibkan dengan
adanya akad atau watha."
Menurut Imam Taqiyuddin, mahar
adalah :
اسم
المال الوجب المرأة على الرجال بالنكاح اوالوطاء[8]
Artinya : "Penyebutan
terhadap apa yang wajib untuk diberikan dengan nikah atau watha."
Menurut Muhammad Amin al-Kurdi,
mahar adalah :
هو
اسم لما يجب بنكاح او وطاء[9]
Artinya : “Penyebutan terhadap apa yang wajib (
untuk diberikan ) dengan sebab pernikahan”.
Menurut M Ali Hasan, mahar ialah pemberian wajib berupa uang atau barang
dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad
nikah. Mahar adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses
pernikahan[10].
Masih banyak lagi definisi mahar yang dikemukakan oleh para ahli dalam
kitab-kitab fikih, namun redaksi dan maksudnya tidak jauh beda dengan
definisi-definisi mahar diatas.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar
adalah pemberian wajib dan menjadi hak
mutlak mempelai perempuan setelah akad nikah dan wajib mempelai laki-laiki
memberikan keselruhan.
Sementara inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 point (d) menyebutkan tentang
pengertian mahar, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam[11]
Dalam masyarakat adat seperti di Indonesia, selain istilah mahar ada lagi
istilah lain adalah pesangon perkawinan (jujuran; banjar). Pesangon ini
bukanlah mahar melainkan pemberian seorang lelaki kepada pihak perempuan.[12]
Selain itu dalam adat kita bangsa Indonesia. Istilah masyarakat kita
berkembang sejak lama kebiasaan dan adat memberikan mas kawin atau hantaran
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk terlaksananya suatu
perkawinan.. Mahar langsung diberikan kepada pengantin perempuan. Pada masa
terakhir ini di Indonesia biasanya mahar ini telah dilaksanakan dengan
memberikan sebuah Al-Qur’an atau terjemahan Al-Qur’an atau seperlengkapan
mukena untuk sembahyang. Disamping itu adakalanya dibarengi juga dengan sekedar
perhiasan sebentuk cincin untuk si istri. Dan disamping itu yang mas kawin yang
diberikan sebelum perkawinan tetap diberikan. Menurut ketentuan Departemen
Agama, mahar dibuat sedemikian ringannya sehingga tidak menghalangi perkawinan,
misalnya sebanyak Rp 25. Ini tidak pula berarti menghinakan perempuan yang akan
dikawini ini malahan untuk kebaiakan secara umum anggota masyarakat Islam
Indonesia[13]
B. Dasar Hukum Mahar
Mahar merupakan kewajiban suami untuk memberikannya kepada istri yang
dinikahinya berdasarkan firman Allah SWT dan hadits Nabi SAW.
1. Al-Qur’an
Masa datangnya
Islam berbeda dari masa Jahiliyah yang penuh dengan kezhaliman, dimana pada
saat itu kaum wanita tidak dapat bernapas lega, bahkan hanya seperti alat yang
dipergunakan pemiliknya dengan sekehendak hati. Ketika datang dengan
panji-panjinya yang putih, Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada
diri wanita melalui pemberian kembali akan haknya untuk menikah serta bercerai,
juga mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka (kaum wanita)[14],
sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa : 4
وَآتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء :٤)
.Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (Q.S An Nisa”:4)[15]
Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar mahar buat istri,
dan bahwa mahar itu adalah hak istri secara penuh. Dia bebas menggunakannya dan
bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian darinya kepada siapa pun termasuk kepada
suaminya.[16]
Menurut Abu Shalih, laki-laki
jika telah mengawinkan perempuan yang berada dalam kekuasaannya, mengambil
semua mahar perempuan itu dan tidak diserahkannya sedikitpun kepada perempuan
tadi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan itu.
Adapun yang lebih utama ialah, perkataan ini dihadapkan kepada laki-laki yang
akan melangsungkan perkawinan supaya dia memberikan kepada perempuan yang
dikawininya itu maharnya dengan jumlah yang ditentukan.[17]
2. Hadits
حَدَّثَنَا
يَحْيَى، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ تَزَوَّجْ وَلَوْ
بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيدٍ (روا ه بخاري)
Artinya : “Telah
berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal
bin Said as-Sa’idi bahwa Nabi berkata:” hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya
dengan mahar )sebuah cicin yang terbuat dari besi”(HR. Bukhori)[18]
.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ لَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " أَعْطِهَا شَيْئًا
(روا ه ابو داود)
Artinya
: “ Dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah,
Rasulullah SAW bersabda kepadanya,“Berikanlah sesuatu kepadanya.” (HR. Abu Daud) [19]
Hadits di atas adalah dalil yang menunjukkan perintah untuk
memberikan mahar kepada istri sebelum berhubungan, karena hal itu sangat
berpengaruh bagi perasaan wanita, dan ini sudah di akui banyak orang. Tidak
dijelaskan dalam riwayat hadits, apakah Ali benar-benar memberikan baju besi
tersebut atau mengganti dengan yang lain.[20]
Kalau ditinjau dari aspek normatif di atas maka bisa disimpulkan bahwa
pemberian mahar boleh didasarkan pada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya
atau sesuai kebutuhan si perempuan saat itu seperti ketika Rasulullah
memerdekakan shafiyah, maka kemerdekaanya itulah yang dijadikan mahar atau
ketika seorang laki-laki sudah kepepet mau nikah sementara belum ada persiapan,
maka barang yang ada boleh dijadikan mahar seperti ketika Ali hendak menikahi
Fatimah. Meskipun demikian Ali juga menganjurkan bahwa kalau memberi mahar
minimal sepuluh dirham.
Sedangkan menurut Ibnul Qayim yang dinukil oleh Sayid Sabiq dalam
mengomentari beberapa hadits tentang mahar tersebut “ kalau perempuan itu ridha
diberikan mahar dengan bacaan hafalan Al-Qur’an atau dengan kualitas keislaman
seseorang maka itu lebih utama[21]
Mahar itu wajib diberikan oleh suami kepada istrinya disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :
a. Mahar
adalah imbalan untuk dapat menikmati tubuh istri dan sebagai tanda kerelaan
untuk dipimpin oleh suaminya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An
Nisa: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ $\«ÿÍ£D (النساء :٣٤)
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.(Q.S An Nisaa”:34)[22]
b. Mahar
akan memperkokoh ikatan dan untuk menimbulkan kasih sayang istri kepada
suaminya sebagai teman hidupnya.[23]
Mahar adalah sesuatu yang pantas diterima oleh seorang wanita, sebab mahar
adalah sebagai suatu hadiah yang ikhlas, sedang hadiah dapat mengukuhkan dan
menguatkan kasih sayang dan rasa cinta. Mahar juga dapat mempererat rasa saling
percaya dan ketaatan antara suami istri dapat menumbuhkan benih kelembutan dan
kasih sayang.
c. Mahar
dapat mengangkat harkat wanita[24],
sebab wanita di zaman Jahiliyah wanita dikawini tanpa mahar dan diperlakukan
semena-mena.
C. Macam-Macam Mahar
Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma
dan mahar mitsil.[25]
a. Mahar
Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang ditentukan di dalam akad atau yang
setelahnya dengan saling keridhaan. Dengan cara
menyepakatinya secara jelas di dalam akad, diberikan kepada istri
setelah akad dengan saling merasa ridha, atau yang diwajibkan oleh hakim sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ
بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : ٢٣٧)
Artinya
: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan
kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.
(Q.S Al Baqarah:237)[26]
Yang termasuk
sebagai mahar musamma dalam akad adalah apa yang diberikan oleh suami kepada
istrinya secara tradisi sebelum dilaksanakan pesta pernikahan atau setelahnya.
Seperti pakaian pengantin, hadiah bagi persetubuhan atau setelahnya karena yang
dikenal diantara manusia seperti sesuatu yang diisyaratkan secara lafal di dalam
akad harus dimasukkan kedalam akad dan suami harus memenuhinya. Kecuali jika di
isyaratkan tidak adanya barang tersebut (hadiah) ketika dilakukan akad.[27]
Mahar musamma itu boleh kontan dan boleh ditangguhkan, tetapi kalau terjadi
persetubuhan mahar itu harus dibayarkan seluruhnya. Demikian juga kalau salah
seorang dari suami istri itu meninggal walaupun belum dukhul, maka mahar
harus dibayar.[28]
b. Mahar
Mitsil
Mahar mitsil adalah mahar yang menjadi hak perempuan dengan jumlah
seperti mahar yang diterima oleh perempuan yang sebaya dengannya dalam usia,
kecantikan, harta, akal, agama, keperawanan, kejandaan, negeri, saat
dilaksanakan akad nikah, dan semua yang menyebabkan adanya perbedaan dalam
mahar seperti ada atau tidaknya anak. Sebab, nilai mahar bagi seorang perempuan
biasanya berbeda sesuai dengan perbedaan sifat-sifat ini. Yang menjadi acuan
dalam kesetaraan dari segi kerabatnya adalah seperti saudaranya, bibinya, dan anak-anak
perempuan pamannya.[29]
Kewajiban memberikan mahar mitsil
disebabkan oleh satu dari tiga faktor berikut :
Pertama, nilai
mahar ditetapkan oleh hakim ketika suami menolak menentukannya, atau ada
perselisihan antara suami istri mengenai besarnya mahar. Dalam kondisi ini
hakim menetapkan mahar mitsil dengan mata uang negara tersebut secara tunai,
selain juga tidak melebihi atau kurang dari mahar mitsil, seperti dalam
perkiraan harga barang rusak.
Kedua,
suami istri bisa menetapkan besarnya mahar mitsil, asal saling ridha. Jika keduanya mengetahui dan menentukan kadar
mahar mitsil, ini tidak masalah. Tetapi jika keduanya tidak mengetahui kadar
mahar mitsil, menurut pendapat jumhur ulama keduanya tetap bisa menetapkannya.
Ketiga, suami
telah berhubungan intim dengan istri sebelum hakim menentukan besarnya mahar
dan keduanya belum menyepakati maharnya. Maka dalam hal ini, si istri berhak
menerima mahar mitsil dari suami. Sebab pernikahan tanpa mahar hanya berlaku
khusus bagi Nabi Muhammad. [30]
D. Syarat –
Syarat Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sebagai berikut : pertama,
harta/benda berharga. Tidak sah apabila seseorang memberikan mahar yang tidak
memiliki nilai apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak dan
sedikitnya. Akan tetapi walaupun barang itu sedikit tapi memiliki nilai maka
tetap sah. Kedua, barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah
mahar yang diberikan apabila tidak suci seperti memberikan mahar seekor babi,
atau khamar atau darah, bangkai karena semua itu tidak ada nilainya menurut
pandangan Islam, walaupun bagi sebagian orang itu dianggap sesuatu yang
berharga. Ketiga, barangnya bukan ghasab. Ghasab artinya
mengambil milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud memilikinya
karena berniat mengembalikannya kelak. Keempat, bukan barang yang tidak jelas
keadaannya. Maksudnya adalah tidak sah
jika mahar yang diberikan masih samar dan tidak jelas keberadaan serta
keadaannya.[31]
E. Kadar Mahar
Membayar mahar
adalah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Mahar termasuk harta
kekayaan istri disamping harta kekayaan yang dimilikinya sebelum kawin atau
harta pewarisan yang di dapatnya dari orang tuanya sesudah ia kawin.[32]
Memperhatikan syariat Islam yang mengatur tentang mahar, maka tak ada jumlah
atau barang tertentu yang harus dibayarkan sebagai mahar terebut.[33]
Dari semua teks
syariat yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syarat terkait jenis mahar
selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit maupun
banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau
semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan semacamnya, jika
kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling meridhainya.[34]
Para fuqaha
sepakat bahwa tidak ada batasan yang paling tinggi untuk mahar, karena tidak
disebutkan di dalam syariat yang menunjukkan batasannya yang paling tinggi[35].
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah An Nisaa” : 20
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا
(النساء : ٢٠)
Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu
dengan isteri yang lain ,sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”(Q.S An Nisaa”:20)[36]
Imam Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat
bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi
harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha
yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan
para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas
murni, atau perak seberat tiga dirham atau bisa dengan barang yang sebanding
berat emas dan perak tersebut.[37]
Karena itu Islam
tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan (sekalipun ia
mampu), bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap mahar yang murah itu akan
memberikan barakah dalam kehidupan suami istri, dan mahar yang murah
menunjukkan kemurahan hati si perempuan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
عَنْ
عَا ئِشَةَ رَضِيَ الله ُُعَنْهَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
قَالَ : اِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرْكَةََََ أَيْسَرُهُ مُؤْنَةَََ
(رواه أحمد)[38]
Artinya : “Dari Aisyah r.a. bahwa
Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya perkawinan yang paling besar barakahnya adalah
yang paling ringan maharnya “ (HR.Ahmad)
Penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Mahar haruslah disepakati, terutama yang bisa diterima dan direlakan oleh calon
mempelai wanita dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan. Bahkan sedikitpun
dibenarkan asalkan disetujui dan disepakati. KHI dalam pasal (30) dan (31)
tidak menentukan batas minimal sebagaimana pendapat yang umum di kalangan
madzhab Syafi’iyah. Hal ini agar para pihak dapat bebas menentukan sendiri
kehendak mereka apakah dalam bentuk uang, barang maupun jasa.[39]
F. Pengembalian Mahar Apabila Terjadi Talak Qabla Al
Dukhǔl
Wanita
yang telah menjalin akad nikah sebelum berhubungan intim, berhak memperoleh
setengah mahar[40], sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah: 237 :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : ٢٣٧)
Artinya : “Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al Baqarah:
237)[41]
Setelah hubungan
intim, istri berhak menerima seluruh mahar, karena wajibnya pelunasan mahar
adalah karena hubungan intim atau kematian.
Jika sumber furqah sebelum berhubungan intim berasal dari pihak istri karena
dia masuk Islam, atau mengikuti orang tuanya yang masuk Islam, atau suami
melakukan fasakh karena aib pada dirinya, atau istri murtad, maka mahar
yang telah ditentukan ketika akad gugur seluruhnya. Demikianlah ketetapan yang
shahih dari hakim dan mahar mitsil. Dalam kasus diatas, mahar tidak wajib
diberikan. Sebab, jika wanita tersebut melakukan fasakh nikah, berarti
dia telah memilih untuk bercerai. Begitu pula, apabila si suami yang melakukan fasakh
dan itu sebab air si istri, maka seolah-olah wanita itulah yang melakukan fasakh.[42]
Para ulama
mazhab sepakat bahwa, apabila akad dilaksanakan dengan menyebutkan mahar,
kemudian si suami menjatuhkan talak sebelum melakukan hubungan seksual dan
khalwat ( bagi yang mengakuinya), maka gugurlah separuh mahar. Tetapi bila akad
tersebut dilaksanakan tanpa menyebut mahar, maka si wanita tidak memperoleh apa
pun kecuali mut’ah.[43]
Menurut Mazhab
Syafi’i dan Hambali perpisahan ini apakah akibat perceraian maupun akibat
pembatalan, jika mahar yang diberikan adalah mahar yang ditentukan dalam akad, dan
penentuannya tersebut shahih, dan perpisahan ditimbulkan oleh pihak
suami. Ini dalam perceraian dan berbagai jenis perpisahan yang lainnya
diqiyaskan dengannya karena memiliki kandungan makna yang sama. Jika mahar
benar-benar tidak ditentukan di dalam akad seperti akad pernikahan tafwỉdh.
Atau kedua pasangan suami istri sepakat untuk kawin tanpa mahar, penentuannya
tidak benar, dan terjadi perpisahan dengan keridhaan masing-masing suami istri,
atau dengan keputusan qaḓhi, dan perpisahan ini terjadi sebelum khalwat
menutut mazhab Hanafi dan Hambali, maka si istri sama sekali tidak berhak
mendapatkan mahar. [44]
Kalau suami
belum membayarkan apa pun kepada wanita yang kepadanya dia harus membayar
mahar, lalu dia menceraikan sebelum melakukan hubungan seksual, maka dia wajib
membayar separuh mahar kepada wanita tersebut. Kalau dia sudah menyerahkan
seluruhnya, dia boleh meminta kembali separuhnya bila mahar tersebut masih ada,
dan separuh penggantinya yang senilai dengan mahar tersebut manakala mahar yang
dulu diberikannya telah habis.
Seandainya kedua
belah pihak tidak menyebut mahar dalam akad, kemudian mereka sepakat tentang
suatu mahar, tapi sesudah itu si suami menceraikan istrinya sebelum melakukan
hubungan seksual dengannya, maka muncul pertanyaan : apakah istrinya itu boleh
mengambil separuh dari mahar yang telah disepakati itu, sebagaimana halnya bila
mahar tersebut disebutkan dalam akad, ataukah dia tidak menerima apa pun
kecuali mūt’ah seperti yang terjadi manakala mereka belum sepakat.
Syafi’i,
Imamiyah dan Maliki berpendapat bahwa, wanita tersebut memperoleh separuh mahar
yang ditentukan sesudah akad. Sementara itu Hambali berpendapat wanita tersebut
memperoleh separuh yang telah ditetapkan sesudah akad, dan tidak mendapat mūt’ah.[45]
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Imam Syafi’i, Alih bahasa: Muhammad Afifi, (Jakarta: Almahira, 2010), h.
547.
[2] Ibid, h. 547.
[3]
Ibrahim Amini, Kiat Mencari Jodoh, (Jakarta: Lentera, 2000) Cet 3, h.
157.
[4]
Ahmad Warison Munawir, Kamus al Munawir Arab-Indonesia, (Kropyak Yogyakarta:
UPBIK PP al-Munawir, 1984), jilid
II, h. 1461.
[5]
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2006), h. 119.
[6]
Ibrahim al Bajury, Al Bajury, (Beirut: Darul Fikr,t.t.), h.118.
[7]
Sayyid Bakri Muhammad Syata al-Dimyati, I’anatuthathalibin Juz 3 , (Indoensia: Darul Ihya Kutubil
Arabiyyah, t.t.), h. 345.
[8]
Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Iman, t.t), h. 50.
[9] Muhammad Amin Al Qur’di, Tanwirul Qulub,
(Beirut: Darul Fikri, t.t. ), h. 319.
[10]
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h. 117.
[11]
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta
: Graha Pustaka ,t.t.), hal. 149.
[12]
Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Prima, 2009), h. 47.
[13]
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2002),
h. 68.
[14]
Kamil Muh.Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 411.
[15]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 115.
[17]
Syeh Abdul Halim Hasan Binjai, Tafisr Al Ahkam, (Jakarta: Perdana Media
Group, 2006) , h. 195.
[18]
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, (Beitrut:
Darul Fikri, t.t.), h. 26.
[19] Abi Daud Sulaiman
ibnu Al Asyat Asy Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Darul Fikr, 1994), h. 206.
[20] Muhammad bin Ismail
Al Amir Ash Shan’ani, Subulus Salam, (Jakarta Timur: Darus Sunnah,
2007), h. 1051.
[21]
Sayid Sabiq, Fiqih Sunna Jilid 3,
Alih Bahasa: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2008),
h. 415.
[23]
H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, Alih Bahasa: Agus Salim, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1983), h .118.
[25]
Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta : Prenadamedia, 2008),
h. 92.
[27]
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa adillatuhu Jilid 9, Alih Bahasa : Abdul
Hayyie al-Kattani,dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 242.
[28]
Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya:
Al Ikhlas, 1984), h. 49.
[29]
Ibid, hal 42
[31]
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh a’la Madzahib al-Arba’ah, (Beirut
–Darul Kutub al –Ilmiyah, 1990), h. 96.
[32] H.M Asywadie Syukur, Intisari Hukum
Perkawinan dan Kekeluargaa Dalam Fikih Islam, (Surabaya: PT Bina
Ilmu,Surabaya, 1985), h. 23.
[33] Abdul Rahman Do’i , Perkawinan Dalam
Syariat Islam, h.143.
[35]
Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam Wa adilatuhu, h. 557.
[38] Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad,
(Beirut: Darul Fikr, 1991), h. 369.
[39]
Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h. 44.
[40]
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, h. 564.
[41]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 58.
[42]
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, h.564.
[43]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta:
Penerbit Lentera, 2007), h. 374.
[44]
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Waadilatu, h. 450.
[45] Ibid, h. 375.
BAB III
METODE
PENELITAN
A.
Jenis,
Sifat dan Lokasi Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian
lapangan (Field Research) yaitu dengan melakukan wawancara secara
langsung kepada responden dan informan dengan maksud mendapatkan gambaran
lengkap terkait masalah pengembalian mahar qabla al dukhǔl di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul.
Sifat
penelitian adalah study kasus, yaitu dengan meneliti 2 kasus yang berkaitan
dengan praktik pengembalian mahar qabla al dukhǔl. Sedangkan lokasi
penelitiannya adalah di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar.
B.
Subjek
dan Objek Penelitian
Adapun yang
menjadi subjek dalam penelitian ini adalah pelaku atau para pihak yang terlibat
dalam pengembalian mahar di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul Kabupaten
Banjar. Sedangkan yang menjadi objeknya adalah praktik pengembalian mahar qabla
al dukhǔl di desa Tambak Danau Kecamatan Astambul.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data
yang digali dalam penelitian ini meliputi identitas responden dan informan yang
meliputi nama, umur, pekerjaan, pendidikan dan alamat serta gambaran umum dari
praktik pengembalian mahar qabla dukhul di desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul
2. Sumber
Data :
a. Responden
yaitu mantan suami istri serta pihak
keluarga suami atau istri.
b. Informan
yaitu pihak-pihak yang tidak terlibat
langsung namun dapat memberikan informasi mengenai masalah yang diteliti
seperti aparat desa, tokoh agama, dan masyarakat setempat.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik wawancara, yaitu penulis
mengadakan wawancara langsung dengan para responden dan informan mengenai
masalah yang diteliti dengan mengacu kepada pedoman wawancara yang telah
disiapkan. Dalam penelitian ini wawancara menggunakan alat tulis.
E. Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik
Pengolahan Data
Setelah data tergali dan terkumpul, maka
langkah selanjutnya adalah mengolah data yang telah terkumpul tersebut kedalam
pengolahan data. Kemudian dalam pengolahan data ini ada beberapa teknik yang
digunakan oleh peneliti, yaitu :
a. Editing,
yaitu kegiatan untuk mencek kembali kelengkapan dan kesempurnaan data yang
sudah terkumpul, apakah data tersebut dapat menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Setelah data terkumpul, maka disiapkan langkah-langkah untuk proses
selanjutnya.
b. Deskripsi,
yaitu data yang telah dieditting selanjutnya penulis uraikan secara lengkap
dengan rangkaian penjelasannya.
c. Matriks,
yaitu menerangkan data yang telah dikelompokkan dalam bentuk matriks.
2. Analisis
Data
Setelah
data terkumpul seluruhnya, penulis menganalisis data tersebut dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif. Analisis ini dilakukan dengan cara
menelaah temuan di lapangan dihubungkan dengan teori umum tentang mahar.
F. Prosedur Penelitian
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan
dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut
:
1. Tahap
Perencanaan
a. Penjajakan
kelokasi penelitian sekaligus meminta izin untuk melakukan penelitian
b. Berkonsultasi
dengan dosen penasehat.
c. Membuat
desain proposal skripsi dan mengajukannya kepada dosen penasehat untuk
dikoreksi dan diperbaiki seperlunya.
d. Perbaikan
kembali proposal dengan memperhatikan saran-saran dan petunjuk yang telah
diberikan dosen penasehat.
e. Mengajukan
desain proposal skripsi kepada Biro Skripsi Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Insitut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin dan sekaligus meminta
persetujuan judul.
2.
Tahap Persiapan
a. Mengadakan
seminar desain proposal skripsi
b. Meminta
surat riset penelitian lapangan.
c. Menyusun
alat pengumpul data untuk dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
d. Menyampaikan
surat riset kepada pihak terkait yakni tempat peneliti melakukan penelitian.
3.
Tahapan
Pelaksanaan
a. Mengumpulkan
data dari responden dan dokumen menggunakan teknik-teknik yang telah
ditetapkan.
b. Mengolah,
menyusun, dan menganalisa data yang telah diperoleh dilapangan.
c. Penulis
skripsi dengan sistematika yang telah disusun dan mengadakan konsultasi dengan
dosen pembimbing.
d. Setelah
dikoreksi oleh dosen pembimbing dan diadakan perbaikan serta mendapat
persetujuan dari dosen pembimbing.
e. Selanjutnya
siap dibawa kesidang Munaqasah skripsi untuk diuji dan dipertanggung jawabkan
dan dipertahankan.
BAB
IV
LAPORAN
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.
Letak Geografis Desa
Hampir keseluruhan desa Tambak Danau merupakan daerah rawa dan tanah
perumahan. Daerah desa Tambak Danau ini tidak terlalu jauh dari kecamatan
Astambul, dan akses menuju kecamatan pun sangat mudah. Sedangkan dari kecamatan
berjarak 4 km. Jadi tidak ada kendala dalam transportasi.[1]
2. Letak
Demografi Desa Tambak Danau
a. Batas
Wilayah
1. Sebelah
Utara : Pamatang Danau
2. Sebelah
Selatan : Pasar Jati
3. Sebelah
Timur : Pamatang Hambawang
4. Sebelah
Barat : Kaliukan
c. Luas
Wilayah
Luas Wilayah Desa
Tambak Danau ialah 1800 Hektar
d. Keadaan
Iklim
Desa
Tambak Danau umumnya memiliki iklim kemarau basah dan penghujan, seperti iklim
di desa-desa lain di Kecamatan Astambul. Hal tersebut mempunyai pengaruh
langsung terhadap pola tanam yang ada di desa Tambak Danau. Yang sebagian besar
mata pencaharian penduduknya adalah menjadi buruh tani.
3.
Kondisi Sosial
Dilihat dari segi keagamaan penduduk
desa Tambak Danau 100% beragama Islam dan hampir dipastikan belum ada warga
desa Tambak Danau yang beragama selain Islam.
Bila dilihat dari segi suku, pada
umumnya penduduk asli desa Tambak Danau adalah bersuku Banjar dan sebagian
Jawa.
Menurut data rekapitulasi penduduk desa
Tambak Danau pada bulan Mei 2015 berjumlah 1260 jiwa yang terdiri dari 622 jiwa
laki-laki dan 638 perempuan.[2]
4. Kondisi
Perekonomian dan Pendidikan Desa Tambak Danau
a. Kondisi
Perekonomian
Kondisi ekonomi
masyarakat desa Tambak Danau sebagian besar tergolong menengah kebawah. Dimana
sebagian besar penduduk desa Tambak Danau berprofesi sebagai buruh tani, dan
selebihnya bekerja sebagai pedagang dan Pegawai.
b.
Kondisi
Pendidikan
Secara umum masyarakat
desa Tambak Danau masih tergolong ketinggalan bila dilihat dari kondisi
pendidikan. Dalam berbagai tingkatan, baik itu di tingkat perguruan tinggi
maupun di tingkat sekolah menengah keatas.
Di desa Tambak Danau
terdapat beberapa sarana pendidikan baik pendidikan formal dan non formal.
a. Sekolah
Dasar : 1
b. Madrasah
Diniyyah : 1
c. Madrasah
Tsanawiyah : 1
c. Kondisi
Keagamaan
a. Mesjid : 1
b.
Mushalla : 3
B. Deskripsi Kasus Perkasus
Berdasarkan
hasil penelitian melalui wawancara kepada responden dan informan terhadap kasus
dari praktik pengembalian mahar qabla al dukhǔl. Maka dapat diuraikan deskripsi
masing-masing kasus yang diteliti, yaitu sebanyak 2 kasus tentang praktik
pengembalian mahar qabla al dukhǔl di desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul.
1.
Kasus I
a. Identitas
Suami
1)
Nama : SU
2)
Umur : 21 tahun
3)
Pendidikan :
SMA
4)
Pekerjaan :
Petani
5) Agama
: Islam
6) Alamat
: Tambak Danau
b. Identitas
Istri
1)
Nama
: TN
2) Umur
: 18 tahun
3) Pendidikan
: SD
4) Pekerjaan : Artis / Penyanyi
5) Agama : Islam
6) Alamat
: Jl Tambak Danau
c. Identitas
Informan I
1) Nama
: MS
2) Umur
: 42 Tahun
3) Pendidikan
: SD
4) Pekerjaan
: Petani
5) Alamat
: Jl. Tambak Danau
d. Identitas
Informan II
1) Nama
: HL
2) Umur
: 40 Tahun
3) Pendidikan
: MTs
4) Pekerjaan
:
Ibu Rumah Tangga
5) Alamat
: Jl. Tambak Danau
e. Identitas
Informan III
1) Nama
: HS
2) Umur
: 53 Tahun
3) Pendidikan
: SR
4) Pekerjaan
: Petani
5)
Alamat : Jl.
Kaliukan
f. Identitas
Informan IV
1) Nama
: HA
2) Umur
: 53 Tahun
3) Pendidikan
: MI
4) Pekerjaan
: Petani
5) Alamat
: Jl Kaliukan
g. Identitas
Informan V
1) Nama
: AG
2) Umur
: 40 Tahun
3) Pendidikan
: SMP
4) Pekerjaan
: Pedagang
5) Alamat
: Jl. Tambak Danau
Uraian Kasus I
SU adalah
seorang pemuda yang berusia 21 tahun, SU merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara.
Dalam kesehariannya dia menghabiskan waktunya di sawah, karena aktivitas dia
seorang petani dan penjual hasil getah karet.
Sedangkan TN adalah seorang wanita yang berusia 18 tahun, keseharian TN
biasanya menjadi penyanyi panggilan atau sering dipanggil artis kampung karena
seringnya menyanyi diacara-acara walimah atau acara besar lainnya.
SU menikah
dengan TN setahun yang lalu, dia bertemu dengan TN tak lama menjelang
pernikahan. Hal ini dikarenakan perjodohan di antara SU dengan TN. Kedua
keluarga SN dan TN masih ada hubungan kekeluargaan. Orang tua dari masing-masing
pihak ingin hubungan kekeluargaan di antara mereka lebih erat dan tak putus.
Maka dari itu mereka menjodohkan SU dengan TN.
Pertemuan
sebelum menikah diantara dua pasangan ini terhitung sangat cepat. SU belum
pernah melihat TN sebelum akad nikah berlangsung. Begitu pula dengan TN. SU
sebenarnya tidak ingin menikah cepat. Dikarenakan dipaksa orang tuanya dengan
alasan umur 21 tahun sudah terlalu tua jika masih membujang. Demikian halnya TN dipaksa nikah juga oleh
kedua orang tuanya di karenakan mereka takut TN pergaulan anaknya semakin
menjauh dari norma-norma agama. Kedua pasangan ini sebelumnya tidak setuju
dengan perjodohan ini, bahkan SU nekat kabur dari rumah orang tuanya selama
beberapa hari. Dan TN tidak mau keluar kamar dan mengurung diri. Hingga pada
akhirnya keduanya mau nikah dengan bujukan keluarga masing-masing.
Kedua pasangan
ini melangsungkan akad nikah dirumah mempelai perempuan yang ada di desa Tambak
Danau dengan disaksikan pihak keluarga
dan kerabat. Menurut penuturan paman SU, sebelum menikah SU konsultasi dengan
naif kampung desa tempat tinggal SU, penghulu memberikan saran kepada SU agar
mengucapkan mahar sesuai berapa yang dia kasih kepada TN yaitu sebesar Rp
15.000.000, supaya tidak terjadi kejadian apa-apa dikemudian hari. Akan tetapi
saat akad nikah SU hanya mengucapkan maharnya sebesar Rp 100.000, dia tidak
menuruti saran dari penghulu. Pada waktu
prosesi akad nikah mahar dari SU sebesar Rp 100.000, sedangkan jujurannya
sebesar Rp 15.000.000, tanpa ada peikatan apa pun.
Resepsi pernikahan
diadakan setelah seminggu setelah akad nikah, pesta walimah hanya
diselenggarakan dari pihak wanita dan dari pihak laki-laki hanya mengadakan
selamatan kecil-kecilan saja yang dihadiri oleh keluarga dan tetangga, hal ini
dikarenakan kekurangan uang untuk mengadkan pesta besar-besaran, bahkan kata
informan biaya untuk mahar dan jujuran berutang. Sedangkan dari pihak perempuan mengadakan
pesta walimah dengan dana dari hasil jujuran itu. Setelah acara walimah selesai SU bertahan
dirumah istrinya TN. Akan tetapi disaat
malam pengantin SU pergi meninggalkan TU dan membuat keluarga dari pihak
perempuan heran.
Menurut SU, dia
pergi meninggalkan TN pada malam pertama karena diejek dengan kata tidak
senonoh dan diusir dari kamar TN pada malam pertama. Dia pergi kerumah orang
tuanya sekitar 2 km dari rumah TN. Selain itu SU mengaku tidak suka dijodohkan
dengan TN.
Dari penuturan
TN, dia mengatakan tidak mau berhubungan dengan SU karena tidak suka dengan TN,
selain dijodohkan TN juga mengaku mempunyai pacar yang dia cintai. Dia tidak
menyutujui SU karena pembawaan SU seperti bencong.
Menurut SU,
setelah dia meninggalakn TN, dia menuntut balik mahar yang dia kasih sebesar Rp
15.000.000. Menurut HS Ibunya TN, uang Rp 15.000.000. itu sudah sudah habis
buat acara walimah. Jadi dia tidak ada lagi uang untuk mengembalikan jujuran
itu. Karena SU menuntut keras ingin uangnya dikembalikan, maka menurut HS.
Masalah ini dia adukan ke naif kampung yang bernama Naif M.Yunus yang bertempat
tinggal di desa Tambak Danau. Setelah berbicara panjang lebar, Naif mengatakan
uang yang dikembalikan itu hanya separuh mahar yang diucapkan ketika akad nikah
yaitu Rp 50.000.
Menurut MS, SU
masih tidak terima dengan pengembalian itu. Dia ingin uangnya dikembalikan
sebesar RP 15.000.000. menurut MS yang masih sepupu SU, pengembalian itu seharusnya
setengah Rp 15.000.000. karena tidak bekebaikan dan inisiatif dari pihak
perempuannya yang menyebabkan terjadinya perceraian. Menurut HL pengembalian
mahar mulai dulu jika tidak bekebaikan maka dikembalikan seluruhnya. Istilah
mahar itu menurut seluruh informan yang wawancarai penulis itu sama
pengertiannya dengan jujuran. Jadi menurut mereka jika terjadi perceraian qabla
al dukhǔl maka dikembalikan mahar dan jujuran itu.
Kemudian menurut
AG, setelah terjadinya perceraian SU terlihat stres dan mengurung diri dirumah
selama beberapa hari, hal ini dikarenakan selain uang yang tidak bisa
dikembalikan, SU masih mempunyai tunggakan utang buat acara perniakahan itu.
Penyelesaian masalah pengembalian mahar menurut MR yang juga tetangga MR dapat
diatasi dengan pengaruh keluarga dan nasihat dari tetangganya untuk mentaati
pendapat naif yang dikembalikan maharnya separu dari yang diucapkan.
Sampai dengan
penulis wawancara dengan keluarga dan tetangga SU, SU sudah pasrah dan ikhlas.
Dan tidak membawanya ke pengadilan dan mengurus cerai. Hal ini tidak lain
karena SU masih belum nikah dan untuk kepengadilan SU tidak mempunyai uang
untuk mengurus masalah perceraian dan menuntut di pengadilan.
Dari penuturan MS,
perceraian itu mengakibatkan hubungan kekeluargaan diantara SU dan TN menajadi
renggang, biasanya acara arisan keluarga, keluarga SU dan TN sebelum nikah
terlihat akrab dan rukun. Akan tetapi setelah perceraian itu mereka tidak lagi
saling tegur sapa. Tidak ada lagi komunikasi diantara kedua keluarga ini.
Kasus II
a. Identitas
Suami
1) Nama : SR
2) Umur : 21 tahun
3) Pendidikan : MA
4) Pekerjaan
: Petugas Sekolah / Tukang Gunting
5) Agama
: Islam
6) Alamat
: Tambak Danau
b. Identitas
Istri
1) Nama :
MR
2) Umur
: 17 Tahun
3) Pendidikan
: SD
4) Pekerjaan : -
5) Agama : Islam
6) Alamat : Jl.Sungai Lulut
c. Identitas Informan I
1) Nama
: MS
2) Umur
: 42 Tahun
3) Pendidikan
: SD
4) Pekerjaan
: Petani
5) Alamat
: Jl. Tambak Danau
d. Identitas
Informan II
1) Nama
:
HL
2) Umur :
40 Tahun
3) Pendidikan
: Madrasah
4) Pekerjaan
: Petani
5) Alamat
: Jl. Tambak Danau
e. Identitas
Informan III
1)
Nama : MF
2)
Umur : 48
Tahun
3)
Pendidikan :
SMP
4)
Pekerjaan :
Pedagang
5)
Alamat : Sungai Lulut
f. Identitas
Informan IV
1)
Nama : WT
2)
Umur : 40 Tahun
3)
Pendidikan : Madrasah Diniyyah
4)
Alamat : Sungai Lulut
g. Identitas
Informan V
1)
Nama : ST
2)
Umur : 60
3)
Pendidikan : -
4)
Pekerjaan : Petani
5)
Alamat :
Kaliukan
Uraian Kasus II
SR merupakan
seorang pemuda yang sehari-hari bekerja di sekolah sebagai petugas sekolah dan
bekerja juga sebagai tukang gunting, SR menikah dengan MR dibulan Maulid tahun
1436 H dengan mahar Rp 100.000 dan jujuran Rp 12.000.000, pernikahan mereka
dilakukan atas dasar perjodohan orang tua. SR dengan MR tidak ada hubungan
kekeluargaan, hanya saja orang tua SR dan MR berteman karib.
Pertemuan mereka
pertama kali pada saat acara kematian keluarga yang ada di desa Kaliukan, SR setuju menikah dengan MR ketika melihat
pertama kali dan mau ikut berfoto bersama, setelah itu tidak ada lagi pertemuan
diantara keduanya. Pernikahan SR dan MR dilaksanakan di rumah MR yang berlokasi
di Sungai Lulut. Kedua pasangan ini SR
dan MR sama-sama melakukan acara walimah besar-besaran di tempat tinggal
masing-masing. Setelah selesai pernikahan SR diantar kerumah MR selama satu
minggu. Menurut penuturan MS yang merupakan tetangga SR, bahwa selama
pernikahan SR dan MR tidak melaukan hubungan apa pun. Selama satu minggu di rumah
MR, hal ini dikarenakan MR tidak menyukai
dan selalu menghindar dari SR dan mengacuhkan ajakan SR. merasa tidak
diperlakukan dengan baik selama satu minggu SR pulang ke rumahnya di desa
Tambak Danau. Keluarga SR menanyakan perihal ini, apa alasannya pulang dan
tidak kembali ketempat istrinya selama satu minggu. SR menjawab, bahwa dia
tidak diberlakukan dengan baik dan tidak dapat hak nya sebagai seorang suami.
Kemudian MF,
ayah MR menghubungi SR via telepon untuk kembali kerumahnya. Akan tetapi SR
tidak memenuhinya. dikarenakan SR tidak mau menetap di rumah mertuanya,
akibatnya SR kecewa dan tidak kembali lagi kerumah istrinya SR. Alasannya
menurut HL yang merupakan tetangga SR,
SR takut jika tinggal di tempat istrinya dia tidak mendapat kerja,
sedangkan ditempat tinggal SR dia mendapatkan kerja sebagai petugas sekolah dan
kerja sambilan sebagai tukang gunting di desa Tambak Danau.
Menurut ST,
setelah kejadian itu SR menuntut kepada orang tua MR agar mahar yang dia
berikan sebesar Rp 12.000.000 dikembalikan setengahnya. Hanya saja orang tua MR
mengembalikan Rp 100.000, atau mahar yang disebutkan ketika dia mengucapkan
waktu akad nikah.
Menurut penuturan MS, SR tidak terima hanya dikasih Rp 100.000. karena SR
merasa tidak melakukan apa pun terhadap MR. Atas alasan itulah SR mau
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Martapura. Hingga waktu penulis
melakukan wawancara SR masih mencari informasi dan berkeinginan menyeselaikan
perkaranya kepengadilan agama Martapura.
C. Rekapitulasi Kasus dalam
Bentuk Matrik
Dari uraian kasus-kasus tersebut di atas, maka dapatlah diidentifikasi
kasus perkara :
1. Identitas
Responden dan Informan
Menurut
data yang terkumpul, bahwa responden dan Informan yang melakukan Praktik
Pengembalian Mahar qabla al dukhǔl di Desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul, maka identitasnya dapat di ketahui sebagai berikut :
2. Gambaran
Praktik Pengembalian qabla al dukhǔl, Latar Belakang dan Dampaknya
Menurut data yang terkumpul, maka
jawaba dari praktik penegmbalian mahar qabla al dukhǔl, latar belakang dan
dampaknya dapat di ketahui sebagai
berikut :
D. Analisis Data
1. Gambaran Praktik Pengembalian Mahar Qabla
Al Dukhǔl di Desa Tambak Danau Kecamatan Astambul
Mahar ialah pemberian
wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar adalah merupakan salah satu
unsur terpenting dalam proses pernikahan.[3]
Menurut inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 point (d) menyebutkan tentang
pengertian mahar, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam[4]. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa : 4
وَآتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء :٤)
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya. (Q.S An Nisa”:4)[5]
Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar mahar buat istri,
dan bahwa mahar itu adalah hak istri secara penuh. Dia bebas menggunakannya dan
bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian darinya kepada siapa pun termasuk
kepada suaminya
Dalam pandangan responden dan informan yang penulis dapatkan dari
perolehan wawancara, dapat diketahui bahwa mahar menurut pandangan mereka sama
pengertiannya dengan pesangon atau jujuran dalam adat mereka.[6]
Dalam masyarakat adat seperti di Indonesia, selain istilah mahar ada lagi
istilah lain adalah pesangon perkawinan (jujuran; banjar). Pesangon ini
bukanlah mahar melainkan pemberian seorang lelaki kepada pihak perempuan.[7]
Seringkali pula terjadi persoalan baru dimana jika perkawinan gagal
dilaksanakan karena sebab pihak perempuan ataupun pihak lelaki. Dalam
masyarakat adat, pesangon dimintakan oleh pihak perempuan. Pihak lelaki
diberikan kebebasan untuk memberi tawaran seminimal mungkin jika ia menghendaki
hingga terjadi kesepakatan. Maka jika gagal suatu perkawinan disebabkan karena
pihak perempuan, maka uang pesangon akan dikembalikan. Sebaliknya jika
disebabkan oleh pihak lelaki, uang pesangon tidak dikembalikan.
Selain itu dalam adat kita bangsa Indonesia. Istilah masyarakat kita
berkembang sejak lama kebiasaan dan adat memberikan mas kawin atau hantaran
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk terlaksananya suatu
perkawinan.
Pesangon atau Jujuran adalah
pemberian dari suami kepada istri sebagai penghormatan. Tetapi bukan sebagai
harga pembelian. Awalnya jujuran mengikuti mahar/maskawin sesuai sunnah
Rasul. Akan tetapi dari Budaya Banjar ,mahar dianggap sebagai jujuran. Namun
pada saat akad nikah, jumlah mahar tidak disebutkan sesuai dengan nilai
jujuran. Hal ini menghindari penggunaan uang yang bukan pada peruntukkannya.
Karena, mahar diberikan pada calon mempelai perempuan, bukan untuk biaya
walimah pernikahan. [8]
Pada kasus I dan II, permasalahan praktik pengembalian mahar qabla al
dukhǔl terletak dalam bagaimana pemahaman responden I dan II terhadap
mahar, dari wawancara penulis dengan responden I dan II pemahaman mereka
terhadap mahar, pesangon/jujuran dan patalian adalah sama yaitu pemberian dari
calon suami kepada calon istri.[9] Dengan
melihat pemahaman responden pada kasus I dan kasus, II penulis rasa pemahaman
ini kurang tepat karena mahar itu berbeda dengan pesangon atau jujuran dalam
istilah adat banjar atau pun petalian, karena mahar itu ialah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Dalam hal
ini mahar ialah pemberian yang diucapkan ketika akad nikah, sedangkan
pesangon/jujuran ialah sebagai hadiah
atau penghormatan kepada perempuan yang akan dinikahi. Menurut penulis,
seharusnya calon suami mengucapkan seluruh pemberian ketika akad nikah
berlangsung baik mahar atau pesangon / jujuran di depan naif yang menikahkan,
supaya tidak terjadi masalah dikemudian hari.
Mengenai Kasus I, pengembalian mahar yang dikembalikan mantan istri
setengah dari mahar yang diucapkan yaitu Rp.50.000. Menurut penulis hal ini
sesuai dengan syari’at Islam, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al
Baqarah : 237
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ
بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : ٢٣٧)
Artinya
: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan
kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.
(Q.S Al Baqarah:237)[10]
Para ulama
mazhab sepakat bahwa, apabila akad dilaksanakan dengan menyebutkan mahar,
kemudian si suami menjatuhkan talak sebelum melakukan hubungan seksual dan
khalwat ( bagi yang mengakuinya), maka gugurlah separuh mahar. Tetapi bila akad
tersebut dilaksanakan tanpa menyebut mahar, maka si wanita tidak memperoleh apa
pun kecuali mut’ah.[11]
Menurut Mazhab
Syafi’i dan Hambali perpisahan ini apakah akibat perceraian maupun akibat
pembatalan, jika mahar yang diberikan adalah mahar yang ditentukan dalam akad,
dan penentuannya tersebut shahih, dan perpisahan ditimbulkan oleh pihak
suami. Ini dalam perceraian dan berbagai
jenis perpisahan yang lainnya diqiyaskan dengannya karena memiliki kandungan
makna yang sama. Jika mahar benar-benar tidak ditentukan di dalam akad seperti
akad pernikahan tafwidh. Atau kedua pasangan suami istri sepakat untuk
kawin tanpa mahar, penentuannya tidak benar, dan terjadi perpisahan dengan
keridhaan masing-masing suami istri, atau dengan keputusan qadhi, dan
perpisahan ini terjadi sebelum khalwat menutut mazhab Hanafi dan
Hambali, maka si istri sama sekali tidak berhak mendapatkan mahar.[12]
Kalau suami
belum membayarkan apa pun kepada wanita yang kepadanya dia harus membayar
mahar, lalu dia menceraikan sebelum melakukan hubungan seksual, maka dia wajib
membayar separuh mahar kepada wanita tersebut. Kalau dia sudah menyerahkan
seluruhnya, dia boleh meminta kembali separuhnya bila mahar tersebut masih ada,
dan separuh penggantinya yang senilai dengan mahar tersebut manakala mahar yang
dulu diberikannya telah habis.
Seandainya kedua
belah pihak tidak menyebut mahar dalam akad, kemudian mereka sepakat tentang
suatu mahar, tapi sesudah itu si suami menceraikan istrinya sebelum melakukan
hubungan seksual dengannya, maka muncul pertanyaan: apakah istrinya itu boleh
mengambil separuh dari mahar yang telah disepakati itu, sebagaimana halnya bila
mahar tersebut disebutkan dalam akad, ataukah dia tidak menerima apa pun
kecuali mut’ah seperti yang terjadi manakala mereka belum sepakat ?
Syafi’i, Imamiyah
dan Maliki berpendapat bahwa, wanita tersebut memperoleh separuh mahar yang ditentukan
sesudah akad. Sementara itu Hambali berpendapat wanita tersebut memperoleh
separuh yang telah ditetapkan sesudah akad, dan tidak mendapat mut’ah.[13]
Hal ini juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni pada pasal 35
ayat (1) yang berbunyi :
“Seorang suami yang mentalak istrinya qabla al dukhǔl wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah”
Sedangkan pada
kasus II, menurut penulis kurang tepat pengembalian mahar seluruhnya karena
berdasarkan ketentuan Al-Qur’an,
pendapat ulama mazhab, dan pasal 31 ayat 1 dalam KHI. Jika terjadi talak
qabla al dukhǔl maka separuh mahar yang dikembalikan.
Mahar dan
pesangon/jujuran dianggap sebagai ungkapan kasih sayang. Mahar juga merupakan
isyarat atau tanda kemuliaan seorang perempuan. Allah ,mensyariatkan mahar
seperti suatu hadiah dari pihak laki-laki kepada perempuan yang dilamarnya
ketika telah mencapai kesepakatan diantara keduanya untuk menikah.
2. Latar Belakang Terjadinya Pengembalian Mahar
Qabla al Dukul
Membayar mahar adalah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Mahar
termasuk harta kekayaan istri disamping harta kekayaan yang dimilikinya sebelum
kawin atau harta pewarisan yang didapatnya dari orang tuanya sesudah ia kawin
Memperhatikan syariat Islam yang mengatur tentang mahar, maka tak ada jumlah
atau barang tertentu yang harus dibayarkan sebagai mahar terebut.
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat yaitu
harta/benda itu berharga. Tidak sah apabila seseorang memberikan mahar yang
tidak memiliki nilai apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak dan
sedikitnya. Akan tetapi walaupun barang itu sedikit tapi memiliki nilai maka
tetap sah.
Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan (sekalipun ia mampu), bahkan sebaliknya
mengatakan bahwa setiap mahar yang murah itu akan memberikan barakah dalam
kehidupan suami istri, dan mahar yang murah menunjukkan kemurahan hati si
perempuan.
Penentuan mahar
berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Mahar haruslah disepakati, terutama yang bisa diterima dan direlakan oleh calon
mempelai wanita dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan. Bahkan
sedikitpun dibenarkan asalkan disetujui dan disepakati. KHI dalam pasal 30 dan
31 tidak menentukan batas minimal sebagaimana pendapat yang umum dikalangan mazhab
Syafi’iyah. Hal ini agar para pihak dapat bebas menentuka sendiri kehendak
mereka apakah dalam bentuk uang, barang maupun jasa.
Dari hasil wawancara penulis dengan informan[14],
dapat diketahui yang melatarbelakangi pengembalian mahar qabla al dukhǔl ialah
ketika mengucapkan mahar tidak disebutkan pula jujuran dan patalian, disebabkan pada kasus I suami berniat
mengikuti hadits Nabi “
عَنْ
عَا ئِشَةَ رَضِيَ الله ُُعَنْهَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم قَالَ : اِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرْكَةََََ أَيْسَرُهُ مُؤْنَةَََ
(رواه أحمد)[15]
Artinya : “Dari Aisyah r.a. bahwa
Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya perkawinan yang paling besar barakahnya adalah
yang paling ringan maharnya “ (HR.Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas yang melatar belakangi kasus I
dan kasus II kenapa tidak mengucapkan seluruhnya, hanya mengucapkan jumlah
mahar yang terkecil yaitu Rp 100.000. namun menurut hemat penulis alangkah
lebih baiknya uang dalam jumlah banyak itu disebutkan demi kemasalahatan
bersama suami istri jika terjadi permasalahan dikemudian hari.
Mengenai latar belakang lain kasus I dan II, penulis mendapatkan
informasi bahwa hal yang melatarbelakangi perceraian ialah perjodohan[16],
diantara pasangan tidak mengetahui karakter masing-masing, padahal Islam telah
mewanti-wanti semenjak awal dalam hal memilih pasangan hidup untuk mengarungi
bahtera rumah tngga. Islam telah menggariskan dengan jelas bahwa pilihan yang
baik adalah salah satu faktor yang dapat menciptakan kehidupan keluarga islami,
harmonis, dan cinta kasih pada pasann suami istri.[17]
Oleh karena itu, hendaklah aturan atau proses perkawinan itu sebagai berikut ;
ketika seorang lelaki datang meminang seorang wanita, maka kedua orang tua si
wanita harus meneliti semua karakter dan sifat lelaki itu dan keluarganya, lalu
menjelaskan hal itu kepada si anak tanpa penambahan dan pengurangan. Jika ia
setuju maka tibalah waktu untuk melihat. Untuk itu hendaklah mereka menentukan
waktu bagi kedua pasangan untuk saling melihat, di mana keduanya dapat
menggunakan obrolan sebagai sarana utuk mengetahui akhlak masing-masing, dalam
satu kali atau beberapa kali pertemuan. Jika keduanya saling menyetujui, maka
tibalah giliran orang tua untuk membicarakan dan mempersiapkan upacara lamaran,
akad nikah, dan pesta perkawinan.
Namun sebagian besar keluarga tidak mengikuti aturan tersebut dalam
mengawinkan anak perempuan, terutama penduduk daerah-daerah terpencil di suatu
negara. Banyak gadis yang menerima kenyataan pahit dikawinkan secara paksa.
Orang tua mereka merestui perkawinan tanpa menanyakan dan memperhatikan
pendapat mereka. Padahal, diantara mereka ada yang tidak mencintai suaminya dan
tidak menyutujui perkawinan itu dari lubuk hatinya, tetapi ia tidak berani
menentang, baik karena malu ataupun karena takut kepada ancaman dan amarah
kedua orangtua.[18]
Faktor perceraian terjadi bermula dari orang tua yang menikahkan
anak-anak mereka dari perjodohan dan tanpa adanya rasa saling cinta antara
mereka berdua. Padahal sebuah perkawinan itu harus didasari adanya rasa saling
cinta dan mengenal karakteristik masing-masing. Seharusnya para orang tua
sebelum menikahkan anak-anak mereka dengan cara di jodohkan menanyakan dulu
apakah mereka mau apa tidak. Jangan sampai jadi orang tua yang egois selalu
memaksakan kehendaknya terhadap anak-anak mereka, apalagi dalam masalah
pernikahan. Karena pernikahan adalah hal yang sakral bagi setiap manusia dan
harus di dasari suka sama suka, bukan atas dasar paksaan orang lain. Hal ini
senada dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 6 ;“Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan calon mempelai”. Karena perkawinan adalah ikatan lahir dan
bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai seorang suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang baik dan kekal berdasarkan
Ketuhan Yang Maha Esa.
Sebelum menikah seharusnya masing-masing melakukan perkenalan, agar
nantinya sudah tahu karakteristik masing-masing dan tidak sulit lagi berkomunikasi
satu dengan yang lain. Islam sendiri mengajurkan, sebelum terjadinya perkawinan
harus lebih dahulu adanya saling mengenal satu sama yang lain. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Rum:30.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ ( الروم : ٢١)
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS. Ar Rum: 21)[19]
Pernikahan itu harus didasari dengan suka sama suka tanpa adanya paksaan
dari pihak luar. Tapi kenyataannya masih ada pemaksaan oleh orang tua terhadap
anak-anaknya untuk menikah dengan pilihan orang tua. Faktor perceraian ini
terjadi karena perjodohan yang sebelum menikah tidak adanya rasa cinta dan
kasih sayang diantara mereka berdua. Sehingga setelah menikah mereka memilih
untuk tidak bersama, apalagi dari pihak istri dia tidak mau melayani suaminya
sebagaimana mestinya seorang istri. [20]
Pernikahan ini bertahan hanya dalam waktu singkat saja dan perceraian ini
terjadi qabla al dukhǔl. Jelaslah terlihat permasalahan yang timbul
akibat perjodohan yang tidak disetujui oleh suami istri ini akan berdampak pada
pernikahan mereka. Seperti, istri yang tidak mau melayani suaminya sebagaimana
mestinya kewajiban seorang istri terhadap suami.
Adapun
faktor yang melatarbelakangi kasus II, menurut informan ialah karena perselisihan tempat tinggal[21],
bermula dari suami istri yang tinggal bersama orang tua istri, tetapi suami
mempunyai perkerjaan berada ditempat orang tuanya. Orang tua istri memaksa
suami untuk menetap tinggal dirumahnya, namun suami bersikeras tidak mau dengan
alasan tidak mempunyai pekerjaan. Suami sudah mempunyai pekerjaan yang mapan di
tempat tinggalnya dulu karena khawatir tidak mempunyai pekerjaan maka suami
pergi meninggalkan istri sebelum melakukan hubungan apa pun dan berniat
menceraikannya di Pengadilan Martapura.
Menurut
penulis keinginan suami untuk membawa istri tinggal dirumahnya meskipun
sederhana merupakan ketetapan syari’at. Syari’at menjadikan kewajiban saang
istri sebagai salah satu hak laki-laki yang menjadi suaminya, suami berhak
menuntut istrinya agar tinggal dirumah dan meninggalkannya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (٦)
Artinya :”Tempatkanlah mereka (para isteri)
di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.”(Q.S At Thalaq)[22]
Untuk
lebih baiknya mengenai tinggal dimana setelah menikah seharusnya
dimusyawarahkan dan dimufakatkan dahulu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
di inginkan seperti permasalahan yang ada. Seharusnya permasalahan perceraian
ini bisa di atasi jika disepakati lebih dahulu sebelum melakukan pernikahan.
Tapi kenyataanya talak qabla al dukhǔl yang disebabkan perselisihan
tempat tinggal ini tetap saja terjadi. Hal ini di karenakan tidak adanya
komunikasi yang baik sebelum menikah.
Tindakan
orang tua yang menekan atau mendikte anak-anaknya bisa menimbulkan konflik
antara suami istri jika suami tidak peka dan tidak bersikap tegas akan
menimbulkan masalah baru yaitu hubungan yang renggang antara suami istri.
Disatu sisi tindakan orang tua muncul dikarenakan wujud dan bentuk dari
tanggung jawab terhadap anak-anaknya, sehingga orang tua merasa punya hak untuk
mengatur dan membuat keputusan terhadap kehidupan rumah tangga anaknya.
Penentuan
tempat tinggal oleh orang tua di sini menurut penulis terjadi dikarenakan orang
tua tersebut pemahamannya terhadap sendi-sendi perkawinan dalam Islam masih
dangkal seperti pemahannya tentang hak-hak suami istri dan juga faktor
pendidikan orang tua juga mempengaruhi sehingga mereka tidak mempunyai
kesadaran bahwa campur tangan mereka terhadap penentuan tempat tinggal
menimbulkan ketegangan dan konflik yang mengarah kepada perselisihan.
Tentang
turut campurnya orang tua dalam masalah penentuan tempat tinggal penulis
berpendapat seharusnya orang tua tidak boleh ikut campur. Selain itu Imam
Syafi’I dan Abu Hanifah dan para pengikut mereka mengatakan, keduanya tidak
berhak menentukan tempat tinggal meskipun keputusan ini muncul dikarenakan
wujud dan bentuk dari tanggung jawab terhadap anaknya.[23]
Adapun
faktor lain yang melatarbelakangi kasus I dan kasus II dari hasil wawancara
penulis dengan responden ialah sedikit pengetahuan tentang hukum Islam,
terkhusus pada konsep mahar. Karena baik responden dan keluarga sendiri tidak
begitu memahami mahar sehingga jika terjadi talak qabla al dukhǔl maka
yang terjadi adalah konflik diantara keluarga suami dan istri terkait mahar dan
pesangon/jujuran. Seharusnya sebelum melakukan pernikahan harus lebih dahulu
konsultasai dengan tokoh agama, atau yang lebih tahu pada masalah pernikahan.[24]
3.
Dampak
Terjadinya Pengembalian Mahar Qabla al
dukhǔl
Akibat
sebagai berikut terjadinya perselisihan atau konflik keluarga dan hubungan
menjadi renggang. Keretakan hubungan kekeluargaan atau boleh dikatakan konflik
antara masing-masing pihak. Konsepsi syari’at Islam dalam mengusahakan
perdamaian di kalangan pihak-pihak yang berselisih atau bersengketa. Dalam doktrin
Al-Qur’an, disebutkan bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara,
dan diperintahkan agar senantiasa memperbaiki hubungan persaudaraan tersebut.[25].
Sebagaimana firman Allah pada surah Al Hujarat ayat 10 yang berbunyi
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠)
orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat(Q.S Al Hujurat :10).[26]
Bagi
umat Islam merupakan suatu kewajiban melaksanakan hukum Islam, kag rena selain sebagai bukti taat akan Allah dan
Rasul Nya, hukum Islam juga punya beberapa keistimewaan dan beberapa
kemaslahatan yang dapat menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling
ideal, dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat, serta menjadi ketenangan dan
kebahagiaan masyarakat
Dalam kehidupan sosiologis,
dikehendaki atau tidak, disenghaja atau tidak, kadang-kadang terjadi
perselisihan/persengketaan. Demikian pula menyangkut kehidupan rumah tangga.
Untuk menghindari adanya perselisihan atau persengketaan, memang memerlukan
upaya-upaya manusiawi, baik dengan cara membina kepribadian melalui
pelajaran-pelajaran atau norma agama, akhlak,moral,etika maupun norma hukum.
Konsepsi Al-Qur’an seperti yang telah dikutip di atas adalah suatu upaya
pencegahan akan terjadinya perselisihan itu,dan adanya anjuran/perintah untuk
menciptakan dan memelihara perdamaian tersebut. Akan tetapi dibalik upaya
seperti itu, tanpa disadari dan direncanakan maupun dikehendaki,senghaja atau
tidak, perselisihan atau konflik itu kadang-kadang tidak dapat dihindari dan
tidak dapat diselesaikan secara sederhana dan tepat.
Dalam tradisi ummat Islam, suatu
perselisihan, kemungkinan masih dapat diselesaikan melalui musyawarah kekeluargaan,
dengan melibatkan unsur tetuha kampung,tokoh masyarakat, tokoh agama, atau
keluarga sesama.[27]
Selain dapat menimbulakn
perselisihan, menurut informan kedua pasangan yang bercerai itu mengalami
gangguan psikologis dan menimbulkan aib bagi dirinya dan keluarga, selain itu
kerugian materiil akibat percerain itu masih di alami responden dari pihak
laki-laki.[28]
[1]
Wawancara dengan Aparat Desa (Sekdes M.Salim) di Desa Tambak Danau Kecamatan
Astambul Tanggal 13 Juni 2015 Pukul.10.00 Wita.
[2] Buku Peraturan Desa Tahun 2012.
[3] M.Ali
Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), h. 119.
[4] Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Graha
Pustaka ,t.t.), h. 149.
[5] Departement
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ Al Malik Fahd Li
Thiba’ At Al Mush-haf, 1997), h.115
[6] Wawancara
dengan Responden (SU, SR, TN, MR) pada Tanggal 3 Mei 2015 di Desa Tambak Danau
pukul 10.00 Wita.
[7] Sukris
Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Yogyakarta:
Pustaka Prima, 2009), hal. 47.
[8]
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI-Press),
h. 68.
[9]
Wawancara dengan Responden (SU,SR,MR,TN) pada Tanggal 3 Mei 2015 di Desa Tambak
Danau pukul 10.00 Wita.
[12]
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Waadilatu , h. 450.
[13] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
hal. 375.
[14] Wawancara dengan informan, MR ( pada Tanggal
3 Mei 2015 di Desa Tambak Danau pukul 13.30 Wita.
[15] Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad,
(Beirut: Darul Fikr, 1991), h. 369.
[16]
Wawancara dengan informan, HL, HS ( pada Tanggal 3 Mei 2015 di Desa Tambak
Danau pukul 13.30 Wita.
[17]
Kamil al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2005), h. 3.
[18]
Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta:
Lentera, 1994), h .152.
[19]
Departement Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 644.
[20] Thariq Ismail Khhya, Nikah Dan Seks Menurut Islam (Jakarta:
CV Akbar, 2005 ), h .90.
[21]
Wawancara dengan informan pada Tanggal 3
Mei 2015 di Desa Tambak Danau pukul 09.00 Wita.
[23]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 194-195
[24]
Wawancara dengan informan, (Pada Tanggal 3 Mei 2015 di Desa Tambak Danau pukul
16.30 Wita.
[25]
Ahmadi Hasan, Adat Bedamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada
Masyarakat Banjar, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), h. 54.
[27]
Ibid. h.57.
[28]
Wawancara dengan Responden dan Informan, Pada Tanggal 3 Mei 2015 di Desa Tambak
Danau pukul 09.00 Wita.
BAB
V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari penelitian dan pembahasan yang penulis uraikan pada
bab sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktik
pengembalian mahar qabla al dukhǔl yang terjadi di desa Tambak Danau sesuai
dengan hukum Islam yaitu mengembalikan mahar setengah dari mahar yang di
ucapkan, namun permasalahan terletak pada pemahaman mereka terhadap mahar,
pesangon/jujuran dan patalian. Mahar dan pesangon/jujuran menurut responden
adalah sama yaitu pemberian dari calon suami kepada calon istri. Namun pada kasus II praktik pengembalian mahar qabla al dukhǔl tidak sesuai dengan hukum Islam
dikarenakan dikembalikan seluruh mahar yang di ucapkan.
2. Latar belakang terjadinya pengembalian mahar qabla
al dukhǔl di desa Tambak Danau
Kecamatan Astambul disebabkan oleh beberapa faktor , yaitu :
a.
Di jodohkan
b.
Tidak Memahami
hukum Islam, khususnya terkait tentang pernikahan
c.
Tingkat Pendidikan
Rendah
d.
Perselisihan
Tempat Tinggal
e.
Takut Tidak
Dapat Pekerjaan
Dampak pengembalian mahar qabla
al dukhǔl di Desa Tambak Danau
Kecamatan Astambul, ialah :
a.
Menimbulkan
perselisihan diantara keluarga, memutuskan tali silaturrahmi dan kekeluargaan.
b.
Kerugian
Materiil
c.
Menimbulkan
gangguan psikologis
d.
Menimbulkan aib
B.
Saran
Berdasarkan
Penulisan Skripsi ini, penulis dapat memberikan saran, antara lain :
1.
Kepada Orang
Tua, agar dalam menikahkan anaknya jangan memaksa kehendak ego, karena inti
dari pernikahan ialah menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah sebagaimana
di dalam Al-Qur’an.
2.
Kepada Calon
Suami Istri, agar memahami lebih dulu konsep pernikahan sebelum akad nikah
dilaksanakan, kenali lebih dulu calon pasangan masing-masing sebelum terjadi
masalah di kemudian hari.
3.
Kepada Penyuluh
Hukum, agar memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pernikahan dan
khususnya pemahaman tentang mahar agar tidak terjadi polemik di masyarakat.
MATRIK
I
IDENTITAS
RESPONDEN
NO KASUS
|
NAMA
|
UMUR
|
PENDIDIKAN
|
PEKERJAAN
|
ALAMAT
|
||||||
S
|
I
|
S
|
I
|
S
|
I
|
S
|
I
|
S
|
I
|
||
1
|
SU
|
TN
|
21
|
18
|
SMA
|
SMP
|
Petani
|
Penyanyi Dangdut
|
Astambul
|
Astambul
|
|
2
|
SR
|
MR
|
20
|
17
|
MA
|
SD
|
Petugas Sekolah
|
-
|
Astambul
|
Sungai Lulut
|
IDENTITAS
INFORMAN
NO KASUS
|
NAMA
|
UMUR
|
PENDIDIKAN
|
PEKERJAAN
|
ALAMAT
|
|
1
|
MS
|
42
|
SD
|
Petani
|
Tambak Danau
|
|
HL
|
40
|
Madrasah Diniyyah
|
Petani
|
Tambak Danau
|
||
HS
|
53
|
SR
|
Petani
|
Kaliukan
|
||
HA
|
53
|
MI
|
Petani
|
Tambak Danau
|
||
AG
|
40
|
SMP
|
Pedagang
|
Tambak Danau
|
||
MR
|
27
|
S1
|
Guru SD
|
Tambak Danau
|
NO KASUS
|
NAMA
|
UMUR
|
PENDIDIKAN
|
PEKERJAAN
|
ALAMAT
|
|
2
|
MS
|
42
|
SD
|
Petani
|
Tambak Danau
|
|
HL
|
40
|
Madrasah
|
Petani
|
Tambak Danau
|
||
MF
|
48
|
SMP
|
Pedagang
|
Sungai Lulut
|
||
WT
|
40
|
Madrasah Diniyyah
|
Pedagang
|
Sungai Lulut
|
||
ST
|
60
|
-
|
Petani
|
Kaliukan
|
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan
Aminuddin, Fiqih Munakahat I Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.
Abu’ Jaib,Sa’di , Kamus Al Fiqhy
Lughat Waa Istilaha, Dimsyiq : Darul Fikr, 1988.
Ahmad, Imam, Musnad Imam Ahmad, Beirut : Darul Fikr, 1991.
Al Bajury, Ibrahim, Al Bajury,
Beirut: Darul Fikr,t.t.
Al Bukhari, Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari,
Beitrut : Darul Fikri, t.t.
Al Qur’di, Muhammad Amin,,
Tanwirul Qulub, Beirut : Darul
Fikri, t.t.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab
al-Fiqh a’la Madzahib al-Arba’ah, Beirut –Darul Kutub al –Ilmiyah, 1990.
Amini, Ibrahim, Kiat
Memilih Jodoh Menurut Al Qur’an dan Sunnah, Jakarta : Lentera, 1994.
Ash Shan’ani, Muhammad bin
Ismail Al Amir, Subulus Salam, Jakarta Timur : Darus Sunnah , 2007.
Asy Sijistani, Abi Daud
Sulaiman ibnu Al Asyat, Sunan Abu Daud, Beirut: Darul Fikr, 1994.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam
Syafi’I, Jakarta : Darul Fikir, 2012.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam
Waadillatu, Jakarta : Gema Insani,2011.
Dahlan, Idhamy, Azas-Azas
Fiqih Munakahat Hukum Keluarga Islam, Surabaya: Al Ikhlas, 1984.
Departement Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Mujamma’
Al Malik Fahd LI Thiba’ At Al Mush-haf, 1997.
Ghozali, Abdul Rahman, Fikih Munakahat, Jakarta
: Prenada media, 2008.
H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, Alih Bahasa :
Agus Salim, Jakarta : Pustaka Amani, 1983.
Hadikusuma, Hilman, Hukum
Perkawinan Adat, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995.
Hasan Binjai, Syeh Abdul
Halim Hasan, Tafisr Al Ahkam, Jakarta : Perdana Media Group, 2006.
Hasan, Ahmadi, Adat
Bedamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar, Banjarmasin
: Antasari Press, 2009.
Hasan, M.Ali, Pedoman
Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta : Prenada Media Group, 2006.
Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan, Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Graha Pustaka
,t.t.
Kamil al-Hayali, Solusi
Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, Jakarta :PT Rajagrafindo Persada, 2005.
Kamil Muh.Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Khya, Thariq
Ismail, Nikah Dan Seks Menurut Islam CV Akbar, Jakarta, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab,
Jakarta : Penerbit Lentera, 2007
Muhammad Syata al-Dimyati, Sayyid Bakri, I’anatuthathalibin Juz 3 , Indoensia, Darul Ihya Kutubil Arabiyyah, t.
Munawir, Ahmad Warison, Kamus
al Munawir Arab-Indonesia, (Kropyak Yogyakarta: UPBIK PP al-Munawir, 1984.
Prakoso, Djoko dan Ketutu
Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia Jakarta:PT Bina Aksara,
1987.
Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 2005, Edisi III.
Sabiq, Sayid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Cakrawala
Publishing, 2008.
Sarmadi, Sukris, Format
Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Prima, 2009.
Shihab, M. Quraish , Tafsir Al Misbah Vol. 2
,Jakarta : Lentera Hati, 2011.
Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Yogyakarta: Liberty, 2004.
Syukur, H.M Asywadie,
Intisari Hukum Perkawinan dan Kekeluargaa Dalam Fikih Islam, PT Bina Ilmu,Surabaya, 1985.
Taqiyuddin, Imam, Kifayatul Akhyar,
Surabaya : Bina Iiman, t.t.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Jakarta : UI-Press.
Komentar
Posting Komentar