Beberapa Masalah Hukum tentang Hibah dan Kemungkinan Pelaksanaannya di Pengadilan Agama



Beberapa Masalah Hukum
tentang Hibah dan Kemungkinan
Pelaksanaannya di Pengadilan Agama

A.   PENDAHULUAN

Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata-kata "hubuubur i" artinya "nuruuruha" yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta maupun selainnya.1

Dalam KUHPerdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan dengan si pemberi hibah di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan sesuatu guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai seyaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata. Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang sudah
1 Snyyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Filed, Beinit, Libanon, 1989. him. 388. - Ibid.
ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari,, maka sekadar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (lihat Pasal 1666 dan Pasal 1667 KUH Perdata).
Setiap orang boleh memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali oleh aturan perundang-undangan dinyatakan tidak cakap untuk itu. Agar orang-orang yang menerima hibah itu dapat menerima keuntungan dari suatu hibah, maka si penerima hibah itu harus ada pada saat pemberian hibah itu, dengan mengindahkan peraturan yang tercantum dalam Pasal 2 KUH Perdata.               , I

Suatu hibah tidak dapat ditarik kembali atau dipalsukan, kecuali dalam hal-hal sebagaimana termuat dalam Pasal 1688 KUH Perdata: yaitu: (1)  karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana hibah lebih telah dilakukan; (2) jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan dengan maksud membunuh si pemberi hibah; (3) jika si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si pemberi hibah, padahal si pemberi hibah itu telah jatuh miskin.
Dalam hukum adat yang dimaksud dengan hibah ialah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya di antara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup,3 Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketiga anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan itu dilakukan, ketika si pemberi hibah itu masih hidup dengan tujuan untuk menghindarkan percekcokan yang akan terjadi apabila ia telah meninggal dunia di antara anak-anaknya itu. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhawatiran si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga karena di kalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal keanggotaannya sebagai ahli waris. Hibah adalah hukum adat juga sering terjadi karena maksud si pemberi hibah untuk menyimpang dari hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat yang kental Islamnya, hal ini biasanya berlaku pada masyarakat garis keibuan seperti di daerah Minangkabau.

Dalam Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah ini ialah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan pari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab-kilab fikih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah  sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang  diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang harus ada dalam pelaksanaan hibah. Jadi asasnya ialah sukarela.

.   RUKUN DAN SYARAT SAHNYA HIBAH

Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtaliid sebagaimana yang dikutip oleh Jaziri mengemukakan bahwa rukun hibah ini laliga yang esensial yaitu: (1) orang yang menghibahkan atau al-wiilub; (2) orang yang menerima hibah atau al-mauhublah; (3) pemberiannya atau perbuatan hibah atau disebut juga dengan al-hibah.5 Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa di samping hal-hal yang telah tersebut itu, hibah baru dianggap sah haruslah melalui ijab kabul, misalnya penghibah berkata: aku hibahkan kepadamu, aku hadiahkan kepadamu, aku berikan kepadamu, atau yang serupa itu, sedangkan si penerima hibah berkata, ya aku terima,. Pendapat yang mewajibkan ijab kabul adalah sejalan dengan pendapat Imam Malik, Asy-Syafi'i, dan juga pengikut-pengikut Imam Hambali sedangkan Imam abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa dengan ijab saja sudah cukup, tidak perlu diikuti dengan kabul, dengan perkataan lain bahwa hibah tersebut merupakan pernyataan sepihak.
Lebih lanjut Sayyid Sabiq6 mengemukakan para ahli hukum Islam sepakat tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yan memberi hibah adalah: (1) bahwa barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah sendiri, dengan demikian tidak sah meng­hibahkan barang milik orang lain atau bukan milik pribadi orangi yang memberi hibah; (2) orang yang memberi hibah itu bukan orang yang dibatasi haknya yang disebabkan oleh sesuatu alasan; (3) orang yang memberi hibah itu adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum, berada dalam keadaan sehat, dewasa, dan mampu bertindak hukum; (4) orang yang memberi hibah itu tidak dipaksa untuk memberi hibah, jadi harus memiliki kebebasan untuk menghilangkan bendanya.
Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu. menjelaskan bahwa apabila seseorang menghibahkan hartanya, sedangkan orang yang memberi hibah itu dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hukum hibah itu sama dengan hukum wasiat. Oleh karena itu, apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengakui bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya dipandang tidak sah sebab dikhawatirkan si pemberi hibah sewaktu menghibahkan harta­nya itu tidak didasarkan sukarela atau setidaknya ia tidak lagi dapat membedakan pada saat itu mana yang baik dan mana yang buruk, Tetapi sebaliknya apabila ahli waris mengakui kebenaran dari hibah itu dipandang sah. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa orang sakit dibenarkan menghibahkan hartanya sepertiga hartanya, karena hibah disini dipersamakan dengan wasiat. Ketentuan yang terakhir ini lampaknya dianut oleh Kompilasi Hukum Islam.
Mengenai sakit yang bisa menghalangi dilaksanakan hibah, menurut Jumhur Fuqaha adalah sakit yang mengkhawatirkan seperti Perang yang berada antara dua barisan musuh, orang hamil menjelang kelahiran bayinya, menumpang kapal laut dalam kondisi gelombang  yang tinggi. Sedangkan sakit kronis yang menahun tidak menjadi penghalang dilaksanakan hibah. Pendapat ini didasarkan pada ijma' para fuqaha tentang istishabul-hal, yakni tetap berlakunya sesuatu keadaan sampai ada keadaan lain yang mengubahnya. Dalam hal ini para fuqaha sudah sepakat bahwa hibah boleh dilaksanakan dalam keadaan sehat sampai ada dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadis yang bias tentang larangannya. Hadis yang ada tentang masalah hibah (tiang sakit diartikan sebagai wasiat.9

Tentang syarat-syarat bagi penerima hibah sepakat para ahli hukum Islam bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Tidak dipersoalkan apakah ia anak-anak, kurang akal, dan dewasa. Dalam hal ini orang dapat saja menerima hadiah walaupun kondisi fisiknya waktu ia menerima hibah Itu tidak normal.10 Sedangkan hal-hal yang menyangkut benda yang dihibahkan para ahli hukum Islam sepakat bahwa yang dihibahkan ini benar-benar ada, benda tersebut harus mempunyai nilai. Tentang ini adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 1667 KUH Perdata mana dikemukakan bahwa barang yang dihibahkan itu harus benar benar ada, penghibahan barang yang belum menjadi milik penghib adalah batal. Selain dari itu barang dihibahkan itu haruslah pendap yang dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemiliknya dap dialihkan, serta dapat dipisahkan dan dapat diserahkan kepada yang menerima hibah.
Dalam praktek pelaksanaan hibah saat ini, khususnya peng*i hibahan atas barang-barang yang tidak bergerak seperti penghibahan atas tanah dan rumah, selalu dipedomani ketentuan yang tersebut dalam Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata, yaitu adanya formalitai dalam bentuk Akta Notaris. Sedangkan benda yang dihibahkan tersebut berbentuk tanah yang sudah mempunyai sertifikat, makft penghibahan harus dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di daerah mana tanah tersebut berada. Sedangkan peng» hibahan atas barang-barang yang bergerak tidak ada formalitas yang harus diikuti dan sah dengan cara penyerahan langsung kepada penerima hibah.
Dalam hukum adat tidak dikenal adanya syarat penghibahan ittf harus dilakukan di depan notaris. Meskipun penghibahan itu di-laksanakan tidak di depan notaris hibah tersebut tetap saja dan mem*! punyai kekuatan hukum. Ketentuan ini adalah sejalan dengan Sural Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 5 September 1963 yang di*i tujukan kepada seluruh Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negerl seluruh Indonesia yang menyatakan bahwa Akta Notaris, khususnya dalam hibah tidak diperlukan lagi akta notaris. Gagasan ini dipelopori oleh Almarhum Suhardjo ketika menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI di mana beliau mengemukakan bahwa KUH Perdata bukanlall kitab undang-undang (Wet Book), tetapi hanya sebagai kumpulan hukum (Recht Book) belaka11.
C. TENTANG PENGHIBAHAN SEMUA HARTA
Sayyid Sabiq12 dan Chairuman Pasaribu13 mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya. Tetapi Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkik inazhab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka meng-nnggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam diia hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) fltau suatu badan hukum, mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ii( la batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pem-beri hibah, menurut Imam Malik dan ahlul Zahir tidak memperboleh-kannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh.14 Sehubungan dengan tindakan.Rasulullah SAW terhadap kasus Nu'man Ibnu Basyir inenunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah di-H.iinakan bahkan banyak hadits lain yang redaksinya berbeda men-jclaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda^ yang satu lebih banyak dari yang lain.
Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum Islam yang Iain bahwa hibah batal apabila melebihkan hmIu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah teilanjur dilakukannya, maka harus dicabut kcmbali.15 Yang masih diperselisihkan para ahli hukum^slam tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak ilu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di ■ inlara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris16. Menurut sebagian ahli hukum Islam, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadis yang menyatakan perlunya penyamaan anak-anaknya dalam pem-berian hibah adalah lemah, demikian juga hadis yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal17.
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan dilaksanakan menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi pemecahan di^antara keluarga. Prinsip yang dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan sesuai pula dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnul Hasan bahwa orang yang menghilangkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu dan tidak layak bertindak hukum. Oleh karena orang yang menghibahkan harta dianggap tidak cakap bertindak hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal, sebab ia tidak memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan. Apabila perbuatan orang tersebut dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sungguh tidak dibenarkan sebab di dalam syariat Islam diperintahkan agar setiap pribadi untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks ini ada kewajiban pada diri masing-masing untuk menyejahterakan keluarga. Seandai-nya perbuatan yang dilakukan itu menyebabkan keluarganya jatuh dalam keadaan miskin, maka samalah halnya ia menjerumuskan sanak keluarganya ke gerbang kekafiran.
Beberapa Masalah Hukum tentang Hibah dan Kemungkinan ...
Prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam beberapa hadis dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan mem­ber! semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang di-berikan oleh .orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan pada ke-biasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
D.  PENARIKAN KEMBALI HIBAH YANG TELAH DIBERIKAN
Penarikan kembali atas sesuatu pemberian (hibah) adalah merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibah tersebut terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami jstri. Adapun hibah yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anaknya.
Menurut hadis Ibnu Abbas, Rasulullah SAW. bersabda bahwa orang meminta kembali hibahnya adalah laksana anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnya itu, hadits ini diriwayat-kan oleh Mutafaq'alaih. Dalam redaksi yang berbeda Al Bukhari meriwayatkan bahwa tidak ada tamsil yang paling jelek baginya kecuali orang yang meminta kembali hibah yang telah diberikan, seperti anjing yang muntah kemudian dia memakan kembali muntahnya itu18. Menurut pendapat ulama Al Hadawiyah dan Abu Hanifah bahwa halal meminta kembali hibah selain sedekah, kecuali
hibah kepada orang yang ada hubungan darah atau keturunan. Kata mereka bahwa hadis tersebut hanya menunjukkan sangat makruhnya saja, tidak sampai kepada tingkat haram, tamsil hadis hanya penyu-cian diri dari perbuatan yang menyerupai anjing.19
Dalam riwayat yang lain, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menge-mukakan bahwa Rasulullah SAW. pernah berkata bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian dia meminta kembali peinberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian dia berikan kepada anaknya, hadis ini dinilai sahih oleh At Tarmizi, Ibnu Hibban dan Al Hakim, An Nasa' dan Ibnu Majah.20 Imam Malik dan jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali apa yang dihibahkan kepada anaknya, selama anak itu belum kawin, atau belum membuat utang dan belum terkait hak orang lain atasnya. Sementara itu Imam Ahmad dan Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali apa yang telah dihibahkannya.21 Dalam pada itu Imam Abu Hanafiah berpendapat bahwa seseorang boleh saja mencabut kembali apa yang telah dihibahkan kepada seseorang, kecuali apa yang telah dihibahkanNya kepada perempuan yang mahram.22 Adanya per-bedaan pendapat ini dikarenakan adanya perlawanan antara hadis -hadis yang menerangkan tentang hibah ini.
Dalam hukum perdata, hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan, kecuali sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1688 KUH Perdata, yaitu:
(1) karena orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh orang yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebanan kepada orang yang menerima hibah;
(2)  orang yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang memberi hibah, atau sesuatu kejahatan yang lain
bertujuan menghilangkan dan mencelakakan orang yang memberi liibah; (3) jika prang yang menerima hibah menolak untuk mem­berikan tunjangan nafkah terhadap diri orang yang memberi hibah karena ia jatuh miskin*.
Meskipun tertutup kemungkinan untuk menarik kembali hibah yang telah diberikan, kecuali pemberian atau hibah kepada anaknya, I >emberi hadiah dapat menarik kembali hibahnya kepada orang yang menerima hibah seandainya orang yang memberi hibah itu tidak menerima imbalan atau balasan dari orang yang menerima hibah, padahal imbalan dan balasan yang baik dari orang yang menerima liadiah itu sangat diharapkan karena sekarang ia sudah uzur. Misalnya seorang yang telah berusia lanjut memberikan hibah kepada orang lertentu dengan harapan orang yang menerima hibah itu mau me-rawatnya. Tetapi setelah^ hibah diberikan, orang yang menerima hibah I idak mau memerhatikan nasib orang yang memberi hibah itu. Dalam keadaan seperti ini tidak ada halangan bagi orang yang memberi liadiah itu menarik kembali hadiah yang telah diberikan itu. Ke-tentuan hukum ini tentang hal ini didasarkan kepada hadis yang oleh Salim dari ayahnya di mana Rasulullah SAW. pernah bersabda barangsiapa yang bermaksud memberikan suatu hibah, maka dia lebih berhak terhadapnya selama ia belum dibahas.23
Keadaan seperti tersebut di atas, penarikan kembali atau peng-liapusan hibah ini dilakukan dengan menyatakan kehendaknya orang yang menerima hibah, diikuti dengan penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan. Pembatalan hibah ini dapat dilakukan i lengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama setempat atau <li wilayah hukum orang yang memberi hibah itu bertempat tinggal.
E.   TENTANG HIBAH SEMASA HIDUP
Dalam kitab-kitab Fikih tradisional dikenal berbagai macam hibah antara lain hibah mu'ajjalah atau hibah bertempo, hibah "(iriyah atau hibah pinjaman, hibah minhah atau hibah pemberian,
hibah 'umra atau hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup. Hibah yang terakhir ini masih diperselisih-kan oleh para ahli hukum Islam karena adanya perbedaan antara hadis-hadis yang membicarakan tentang hal tersebut dan juga adanya perlawanan antara syarat dengan amal yang berlaku terhadap hadis.
Menurut Sayyid Sabiq,24 hibah semasa hidup ('umra) merupakan hibah yang dilakukan oleh seseorang dengan menghibahkan sesuatu kepada orang lain selama ia masih hidup, bila yang menerima hibah meninggal dunia terlebih dahulu maka barang yang dihibahkan itu kembali kepada orang yang memberi hibah. Biasanya pemberian itu dilakukan dengan lafadh "Aku berikan barang ini atau rumah ini kepada engkau selama engkau masih hidup" atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa dengan itu. Orang yang mengucapkan "Umra disebut "mu'mir" dan apa yang dinyatakan hendak di-'umra-kan disebut "mukmar".
Terhadap hal tersebut Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad dan segolongan fuqaha mengatakan bahwa "umra merupakan yang terputus sama sekali dan hibah tersebut merupakan hibah ter­hadap pokok barangnya (ar-raqabah)23 Sehubungan dengan hal ini, pengembalian hibah setelah orang yang diberi hibah itu meninggal dunia merupakan tindakan batil. Hibah yang telah diberikan itu me­rupakan pemberian yang permanen, baik di kala ia masih hidup mau-pun di kala ia meninggal dunia. jika orang meninggal dunia itu ter­lebih dahulu, maka barang yang telah dihibahkan itu dapat diwariskan kepada ahli warisnya dan jika orang yang menerima hibah itu tidak ada ahli warisnya maka barang yang dihibahkan itu diserahkan kepada baitulmal dan tidak dikembalikan kepada orang yang memberi hibah walau sedikitpun.26 Pendapat ini didasarkan kepada hadits dari "urwah bahwa Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda bahwa barang-barang yang dihibahkan secara "umra adalah untuk si penerima hibah dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Hadis
Beberapa Masalah Hukum tentang Hibah dan Kemungkinan ...
yang serupa ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, At-Tharmizy an Nasa'i dan Ibnu JMajah.
Menurut Imam Malik dan pengikut-pengikutnya bahwa "umra adalah pemilikan manfaat dan bukan penguasaan. Oleh karena itu apabila orang yang menerima hibah secara "umra itu meninggal dunia lebih dahulu maka pokok barang tersebut harus dikembalikan kepada pemberi hibah. Selanjutnya Imam Malik mengemukakan bahwa apabila dalam akad pemberian hibah itu disebutkan jika penerima hibah meninggal dunia dan barang yang dhibahkan secara "umra itu diserahkan kepada keturunannya maka hal ini dapat dibenarkan, dan jika keturunannya sudah tidak ada lagi maka barang yang dihibahkan itu dikembalikan kepada pemberi hibah atau ahli waris­nya.27 Sedangkan pendapat Daud dan Abu Tsaur jika pemberi hibah berkata "barang ini demi umurku adalah untukmu dan keturunanmu" maka barang yang dihibahkannya itu menjadi milik orang yang menerima hibah. Jika dalam akad hibah itu tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggal dunia orang yang menerima hibah, barang tersebut kembali kepada orang yang memberi hibah atau ahli warisnya (lihat, Ibnu Rusyd, him. 248). Pendapat yang ter­akhir ini banyak digunakan oleh pakar hukum Islam karena di-pandang lebih mendekati dhahir-nya hadis yang berhubungan dengan hal tersebut, meskipun ada pendapat yang mengatakan dalam hal hibah tidak perlu adanya akad karena hibah itu merupakan pemberian sepihak.
Praktik pelaksanaan hibah dalam masyarakat, banyak ditemukan kasus-kasus seperti ini. Dalam gugatan yang diajukan k§ Pengadilan Agama banyak diketemukan dalil gugat yang diajukan oleh pihak pemberi hibah dengan alasan bahwa hibah yang diberikan itu hanya selama si penerima hibah hidup dan ahli waris penerima hibah tidak berhak menerima barang tersebut sebagai warisan. Menghadapi persoalan seperti ini sebaiknya para pihak yang memberi hibah dan para pihak penerima hibah mengadakan per-damaian berdasarkan kekeluargaan, jangan tergesa-gesa mengajukan ke Pengadilan Agama.
Bagaimanapun juga penyelesaian berdasarkan perdamaian adalah lebih baik daripada diselesaikan lewat pengadil-an. Hal ini adalah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Umar Ibnu al Khattab apabila menghadapi persoalan seperti ini sebaiknya kembalikan dulu untuk diselesaikan di antara sanak keluarga, sehingga mereka mem-buat putusan perdamaian, karena sesungguhnya putusan perdamaian itu lebih baik dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Putusan pengadilan itu sangat menyakitkan dan mendatangkan penderitaan.
F.    HIBAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHl)
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk' dimiliki. Setiap orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bendanya kepada orang lain atau kepada suatu lembaga untuk dimiliki. Hibah harus dilakukan di hadapan dua orang saksi dan harta yang dihibahkan itu haruslah barang-barang milik pribadi (hak milik) orang yang memberi hibah. Warga negara yang berada di luar negeri dapat memberi hibah kepada orang yang dikehendakinya dan surat hibah dibuat di hadapan Konsulat atau Kedutaan Besar RI di tempat orang yang memberi hibah bertempat tinggal. Surat hibah itu dapat dibenarkan sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hibah baru dianggap telah terjadi apabila barang yang dihibah­kan itu telah diterima. Hibah yang dilakukan orang tua kepada anak-nya kelak dapat diperhitungkan sebagai harta warisan apabila orang tuanya meninggal dunia. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah yang diberikan pada saat orang yang memberikan hibah dalam keadaan sakit yang membawa kematiannya, maka hibah yang demikian itu haruslah mendapat persetujuan dari ahli warisnya, sebab yang mertigikan para ahli waris dapat diajukan pembatalannya ke Pengadilan Agama agar hibah yang diberikan itu supaya dibatalkan (periksa putusan Mahkamah Agung RI Nomor 990.K/SIP/1974 tanggal 6 April 1976).
Beberapa Masalah Hukum tentang Hibah dan Kemungkinan ...
Ketentuan hibah dalam Kompilasi Hukum Islam telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia dalam Lokakarya yang dilaksana­kan di Hotel Kartika Chandra Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988. Kemudian Kompilasi Hukum Islam ini diinstruksi-kan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk disebarluaskan sengketa perkawinan, hibah dan shadaqah bagi umat Islam supaya berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 sebagai pelaksana Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam kepada seluruh instansi pemerintah dan masyarakat, baik melalui orientasi, penataran maupun dengan penyuluhan hukum.
Dalam praktik pelaksanaan hibah di Pengadilan Agama, sering dijumpai kasus pelaksanaan hibah yang dilakukan oleh seseorang kepada anak angkatnya dengan penghibahan semua harta yang di-milikinya. Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan hukum positif sebagaimana tersebut dalam Pasal 1682 KUH Perdata yaitu di­laksanakan oleh dan di hadapan notaris dan telah mendapat harta hibah sebagaimana ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan hibah dilaksanakan sebelum Kompilasi Hukum Islam berlaku yaitu sebelum tahun 1991. Setelah tahun 1991 para ahli waris yang memberi hibah itu mengajukan tuntutan pembatalan hibah kepada Pengadilan Agama dengan dalil bahwa hibah yang diajukan itu tidak sah karena meng-abaikan para ahli waris yang berhak menerima waris sebagaimana ketentuan hukum Islam. Persoalan hukum ini banyak diajukan ke Pengadilan Agama karena dianggap setelah berlakujoya Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal yang menyangkut hibah itu meng-untungkan bagi orang yang mengajukan hibah tersebut.
Terhadap yang tersebut di atas ini menjadi masalah apakah anak angkat (di luar ahli waris) dapat dianggap sebagai orang asing yang dapat menerima hibah semua harta dari ayah angkatnya? Apakah hibah yang dilaksanakan sesuai dengan hukum positif yang berlaku sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam dapat dijadikan gugatan pembatalan hibah ke Pengadilan Agama setelah Kompilasi Hukum Islam berlaku? Apakah Pengadilan Agama berwenang untuk inem-batalkan akta hibah yang dibuat oleh notaris atau PPAT? Menghadapi

persoalan ini, para praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agamd dituntut kearifan dan kebijaksanaan dalam menghadapinya, sebal) I Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam memberikan solusi yang terbaikl agar dalam penyelesaian perkara-perkara yang diajukan kepada hakim, wajib memerhatikan dengan sungguh-sungguh nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Pemikiran yang mengatakan bahwa tidak ada salahnya memberw kan semua harta yang dimilikinya kepada siapa saja yang dikehen-l dakinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Jumhur Fuqaha bukan-lah pendapat seluruhnya salah. Sebaiknya para praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agama juga memerhatikan apa yang dikemuka­kan oleh Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafi bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan, orang yang berbuat demikian adalah orang dungu dan palul diatasi hukumnya. Pendapat terakhir ini adalah sejalan dengan apaj yang dibenarkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa hibah itu hanya dibenarkan sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya. Apabila ada kelebihan dari hibah yang telah diterima itu, maka dapat dijadikan bagian.warisan yang diterima para ahli' waris.
Terhadap hibah yang dilaksanakan sebelum berlakunya Kom­pilasi Hukum Islam yang sekarang banyak dijadikan dasar gugatan pembatalan hibah ke Pengadilan Agama sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa para praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agama harus menghadapinya dengan penuh kearifan dan bijaksana sebagaimana maksud Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam sehingga putusan yang dijatuhkan betul-betul menjadi rasa keadilan, bermanfaat dan adanya kepastian hukum terhadap perkara yang diajukan tersebut. Dalam hal para praktisi hukum membatalkan akta hibah yang dibuat di hadapan notaris dan PPAT sebagaimana yang terdapat dalam beberapa putusan dan Pengadilan Agama, sebaiknya para praktisi hukum tidak membatalkan akta hibah tersebut jika gugatannya ditolak, tetapi cukup menyatakan bahwa akta hibah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, para pihak yang mempunyai kepenlingan dengan
nkla hibah tersebut dapat meminta instansi yang berwenang atau inslansi yang mengeluarkan akta hibah tersebut untuk mencabut akta liibah yang telah dikeluarkan karena tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Komentar

  1. catatan kakinya kok nda ada ya pak ?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Semoga segera dibalas,mohon profil komentar bs dirahasiakan,trimakasih

    BalasHapus
  5. Kpn sy bs tau jawabannya?mohon jwbn atas pertanyaan sy diatas dikirim lwt email

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah