Ushul Fiqih , 5 asas tujuan syara'



BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan hukum Islam adalam memberikan pedoman hidup kepada manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka muncul pertanyaan “Dari mana kita mengetahui tujuan tersebut?”. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan bekal untuk hidup yaitu fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam :
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه 
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi. (HR Bukhari)

         Fitrah dalam hal ini adalah Islam, yaitu fitrah yang Hukum mejadi penutan masyarakat merupakan cita-cita social yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat. Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum. Setiap keberadaan huum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum. Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu. Apabila satu menit saja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hukum yang kuat, masyarakat dengan semua komponennya akan rusak,  karena semenit tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam sesuatu masyarakat    tersebut.

            Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan, tetapi yang menegakkan keadilan bukan teks-teks hukum, melainkan manusia yang menerima sebutan hakim, pengacara, penguasa hukum,  penegak hukum, polisi dan sebagainya. Identitas hukum Islam adalah adil,memberi rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan. Dalam Hukum Syara’ terdapat beberapa hikmah demi kelangsungan hidup manusia, tetapi banyak manusia yang tidak mengetahuinya. Dalam Makalah ini kami akan memaparkan mengenai lima asas tujuan tujuan syara’ agar pembaca lebih mengetahui tujuan adanya hukum syara;

1.2 Tujuan penulisan
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk memberi pengetahuan dan wawasan agar kita dapat memahami dan mengetahui lima asas tujuan syara’.
1.3 Rumusan masalah
Dalam tugas kelompok ini kami memiliki tiga rumusan masalah, yaitu :
1. Teori Maqhasid Syar’i
2. Tujuan Syara’
3. Lima Asas Tujuan Syara’

1.4 Ruang lingkup
Makalah tentang Lima Asas Tujuan Syara’ bisa dijadikan pembelajaran dalam pendidikan untuk menambah ilmu pengetahuan kita sebagai mahasiswa, karena makalah ini sangat penting dalam mengetahui Tujuan Syara’ diciptakan

1.5 Teknik penulisan
Metode yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.













BAB II
Pembahasan

2.1 Teori Maqasid al-Syari'ah

Dari segi bahasa maqashid al-syari'at berarti maksud atau tujuan disyari'atkan hukum Islam. Karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum. Kajian tentang tujuan ditetap-kannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqh.  Dalam perkembangan berikutnya, ka­jian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al-syari'at identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkan suatu hukum. Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara ekplisit oleh Al-Quran dan Hadits. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui,  apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian "pengetahuan tentang maqashid al-syariat menjadi kunci bagi keberhasilan mujta­hid dalam ijtihadnya".[1]
Syari' dalam menciptakan syari'at (undang-undang) bukanlah serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadahan bagi ummat manusia.
Mengetahui Tujuan umum diciptakan perundang-undangan itu sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar yang selanjutnya dapat menetapkan hukum peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya.[2]

2.2  Tujuan Syara’

Kalau kita pelajari dengan seksama ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain,  tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. . Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.[3]  Ini Berdasarkan Firman Allah SWT :
ومنهم من يقول ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار(201
ولئك لهم نصيب مما كسبوا والله سريع الحساب(202
Artinya : Dan di antara mereka itu adayang mengatakan (berdoa): Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka (201).
Mereka itu mempunyai nasib sesuai dengan usaha mereka. Dan Allah itu sangat cepat membuat perhitungan (202)
Ayat 201 surat Al Baqarah tersebut di atas memuji orang yang berdoa untuk mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat,  dimaksudkan sebagai contoh tauladan bagi kaum muslimin. Ini sesuai dengan ilmu pendidikan yang mengemukakan cerita yang baik-baik, sebagai perintah harus untuk diikuti. Dalam istilah disebut khabariyah fii'l-lafazhi Insyaiyah fii 'Ima'naa. Demikian tujuan syara' secara global. Akan tetapi apabila kita perinci,  maka tujuan syara' dalam menetapkan hukum-hukumnya ada lima, disebut  Maqaashidu 'l-Khamsah (Lima Tujuan).[4]

Tujuan hukum Islam(Syara’) tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi yakni :
(1) segi Pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya
(2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.

 Kalau dilihat dari  Pembuat Hukum Islam, tujuan hukum Islam itu adalah: Pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Kebutuhan primer (daruriyyat) adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud. Kebutuhan sekunder (hajjiyat) adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan primer, seperti misalnya kemerdekaan, persamaan dan sebagainya, yang bersifat menunjang eksistensi kebutuhan primer. Kebutuhan tertier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup manusia selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat misalnya sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.  Kedua, tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.  Ketiga, supaya dapat ditaati dan dilaksana­kan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkalkan kemamampuannya untuk memahami hukum dengan mempelajari  usulul fikih yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya. Di samping itu dari segi (2) Pelaku Hukum Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera.
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan istilah daruriyyat tersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum Islam. Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu, yang juga telah disinggung di atas, adalah lima yaitu pemeliharaan (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta

2.3  Lima  Asas Tujuan Syara’

Abu Ishaq al Shatibi  merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang (kemudian)  disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Ke lima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut Al-maqasid Al-khamsah atau Ahmaqasid Al-shari'ah (baca: Al-maqasidis syari'ah kadang-kadang disebut Al-maqadis syar'iyah) (tujuan-tujuan hukum Islam).
Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang teori maqasbid Al-Syari'at, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kemudian masing-masing dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan kepentingan dan kebutahannya.         

1.        Memelihara Agama (Hifzh Al-Din)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
  1. Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu meme­lihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
  2. Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat  jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
  3. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekalaigus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat, seseorang boleh shalat, jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk kelompok daruriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak dapat dikategorikan sebagi pelengkap (tahsiniyyat), karena keberadaanya sangat diperlukan bagi kepentingan manusia. Setidaknya kepentingan ini dimasukan dalam kategori hajiyyat atau daruriyyat. Namun, kalau mengikuti pengelompokan di atas, tidak berarti sesuatu yang yang termasuk tahsiniyyat itu dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajiyyat dan daruriyyat.

2.        Memelihara Jiwa (Hifzh Al-Nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya  dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

            a.     Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
            b.     Memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
            c.      Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit   kehidupan seseorang.

3.        Memelihara Akal (Hifzh Al-'Aql)

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

            a.   Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
           b.  Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menunut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitanya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
           c.  Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat. seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.

4.        Memelihara Keturunan (Hifzh Al-Nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
         a.      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari'atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
        b.     Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
          c.     Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari'atkan khitbak atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
        5.    Memelihara Harta (Hifzh Al-Mal)

 Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
          a.   Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
           b.     Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari'at tentang jual-beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
          c.      Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu'amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.[5]





BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Ø  Dari segi bahasa maqashid al-syari'at berarti maksud atau tujuan disyari'atkan hukum Islam. Karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.
Ø  Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan
Ø  Tujuan hukum Islam(Syara’) tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi yakni :
(1) segi Pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya
(2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.

Ø  Abu Ishaq al Shatibi  merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang (kemudian)  disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Ke lima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut Al-maqasid Al-khamsah atau Ahmaqasid Al-shari'ah (baca: Al-maqasidis syari'ah kadang-kadang disebut Al-maqadis syar'iyah) (tujuan-tujuan hukum Islam).

3.2 Saran
Dengan mengetahui Tujuan Syara’ semoga kita dapat melaksanakan segala macam yang telah diperintahkan dan menjahuinya karena hakikat adanya syara’ adalah untuk kebahagian kita di dunia maupun diakhirat.






                                                      Daftar Pustaka                          

H.Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu , 1997
H.Ismail Muhammad Syah.dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992
H.Mohammad Daud Ali. Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993
Mardani, Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung : PT Al-Maarif,1997


[1] H.Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu , 1997. hal.123-124
[2] Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung : PT Al-Maarif,1997. hal .333
[3] H.Mohammad Daud Ali. Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993, hal 53
[4] H.Ismail Muhammad Syah.dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, hal. 65-66
[5] Mardani, Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hal. 20-24.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah