Periwayatan Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits adalah sabda Nabi. Mempelajari hadits adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad SAW. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagi pembawa risalah Allah SWT itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadits (ulumul hadits). Dalam ulumul hadits, hadits Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadits, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkaitr dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadits dan orang-orang yang meriwayatkannya.
Di sini, melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadits menjadi sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadits, adab atau tata cara periwayatan hadits, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dapat diketahui mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dha’if.
Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadits Nabi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian
Periwayatan Hadits
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab
hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai
dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan dengan periwayatan.[1]
Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’
(pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum
juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis,
menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah:[2]
“Kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat,
tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak
dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya
orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi
ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya,
maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis”.
Dari definisi di atas, dapat ditarik
beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu
(1) orang yang melakukan periwayatan hadis
yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat),
(2) apa yang diriwayatkan
(al-marwiy)
(3) susunan rangkaian pera periwayat
(sanad/isnad)
(4) kalimat yang disebutkan sesudah
sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
(5) kegiatan yang berkenaan dengan proses
penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun
metode mempelajari hadits/ menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh
ulama berbagai generasi adalah:
- Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
- Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits ( yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
- Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
- Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
- Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
- I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin/ ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
- Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
- Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.[3]
2. Bentuk Periwayatan Hadits
a. Bil Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, Periwayatan adalah kata yang memberoleh
awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang
turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis
dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis
dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima
langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu
sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat.
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn
‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang
didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah
kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan
dengan kata “bi nabiyyika.
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa,syahadat.
Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dariShaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw.bersabda,
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa,syahadat.
Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dariShaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw.bersabda,
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”
b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat
makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki
yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam.
Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullahbersabda
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang
dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori
ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك،
أين ملوك الأرض؟
“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada
persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan
perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan
riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin,
Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat
bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan
pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan
kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan
perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa
dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu
yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan
cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan
periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini
tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu
tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang
mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.[4]
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa
Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki dan
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.
Yang penting dari hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[5]
1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki dan
3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.
Yang penting dari hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[5]
b.Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits
diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW.periwayatan hadits itu diperketat
agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi
disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya,
tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak
mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak
dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih,
wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang
riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya
berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan
tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul
redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya
tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga
berbeda.
Ada sebuah hadits yang menggambarkan
bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman
al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh.
Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang
didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.[6]
Meskipun
terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini
merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi,
ialah menerangkan cara tahammul ialah
dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama
sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada
orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana
mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan
sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi
meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan
dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinkilkan oleh Ibnush Shalah
dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat
bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam
kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak
mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis
dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa:
boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis
dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna
dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat
mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan
makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia
menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam
dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan
pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam
Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang
lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang
ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa
arab. Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan
oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka
mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang
berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan
kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari
pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang
yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya
meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang
yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia
dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[7]
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Sebuah periwayatan hadit merupakan bagian proses kodifikasi
hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan
hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak
ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana kita ketahui
hadits adalah sebuah perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara
gramtika bisa ditiru oleh manusia lain.sedangkan al-Qur’an adalah perkataan
Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra
atau tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya.
Ø Untuk itu perlu ada beberapa criteria bagi orang yang akan
menerima riwayat maupun yang akan meriwayatkannya. Kesemuaya ini merupakan
usaha untuk menjaga kesucian ajaran islam dari pencampuradukan dengan
ajaran-ajaran dari luar Islam.
Ø Sedangkan dalam masalah matanya, redaksinya, yang merupakan ruh
dari hadits tu sendiri, sebisa mungkin redaksi periwayatanya dengn riwayat bil-lafdzi,
dan sebisa mungkin menghindari riwayat bil-ma’na meskipipun dalam
realitanya ada riwayat dengan cara tersebut, bil-ma’na. seandainya
jika kita tidak bisa menghindari periwayatan dengan bil-ma’na tentulah
harus kita berikan komponen-kopoen atau variable kehati-hatian agar tidak
merubah makna yang tekandung dalam pesan Nabi.
Daftar Pustaka
A’zami, Metodologi Kritik Hadits,
terj, A. Yamin, Drs, Pustaka Hidayah, Jakarta., hlm.43
Al-MAliki, Muhammad Alawi. Ilmu
Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka pelajar.2006
Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu
Hadis Cet. II; Bandung: Amal Bakti Perss, 1997.
M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[1]
M.Syhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21
[2]
Ibid, M.Syuhudi Ismail, Kaedah,
h. 21
[3] .A’zami, Metodologi Kritik Hadits,
terj, A. Yamin, Drs, Pustaka Hidayah, Jakarta., hlm.43
[4]
http://icalfarrijilqulub.blog.com/2011/01/11/metodologi-periwayatan-hadis/
[5]
http://wwwfitri-blog.blogspot.com/2010/10/teknik-periwayatan-hadis-bentuk-bentuk.html
[6] Al-MAliki, Muhammad Alawi.2006. Ilmu
Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka pelajar
[7] Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si,
Ilmu Hadis Cet. II; Bandung: Amal Bakti Perss, 1997.
Komentar
Posting Komentar