Makalah Pengadaian Syariah



BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).

Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.

Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. 












BAB II
PEMBAHASAN

  1. Definisi Pengadaian Syariah
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya[1]. Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima[2] Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar[3] Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutarig dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.

Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu dibolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih, jika tidak dapat melunasi marhun bih, maka marhun dijual paksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelelangan. Kelebihan hasil pelelangan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.[4]

B.  Dalil – Dalil Seputar Gadai Syariah

Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh. Seperti yang tercantum baik dalam Al Qur' an, Al Sunnah maupun Ijma'. Pertama, dalil kebolehan gadai, seperti yang tercantum dalam Surat Al Qur'an Surat Al-Baqarah, ayat 282 dan 283 yang berbunyi sebagai berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuanjadi saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya".
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Swt."
Kedua, dalil-dalil yang berasal dari hadist Nabi Saw. sebagai berikut:
"Nabi Saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi itu berkata: 'Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku', Rasulullah Saw. kemudian menjawab: Bohong! Sesungguhnya Aku orang yangjujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pastiAku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya"[5]
            Ketiga, Ijma ulama. Berdasarkan Al Qur'an dan Al Hadist diatas, menunjukkan bahwa transaksi gadai pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, bahkan Nabi Saw. pernah melakukannya. Demikian juga jumhur ulama telah sepakat akan kebolehan gadai itu. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam dengan melakukan ijtihad.

C.    Hakikat dan Fungsi Gadai Syariah

Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 283 dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw. dari Ummul Mu'minin 'Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sana nampak sikap menolong antara Rasulullah Saw. dengan orang Yahudi saat Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut.
Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.

Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan, dan asuransi marhun, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya.
D.  Syarat dan Sah dan Rukun Gadai Syariah
Sebelum dilakuan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa[6] adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:
(1)  Shigat (lafadz ijab dan qabul);
(2)  Orang yang berakad {rahin dan murtahin);
(3)  Harta yang dijadikan marhun; dan
(4)   Utang (marhum bih).

Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya[7]
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
(1)  Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.[8]
(2)  Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.

(3) Syaratmarhun bih, adalah:
(a)   Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin;
(b)  Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu;
(c)  Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu.

(4) Syarat marhun, menurut pakar fiqh, adalah:
(a)  Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih;
(b)  Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);
(c)   Marhun itujelas dan tertentu;
(d)  Marhun itu milik sah rahin;
(e)   Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain;
(f)   Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat; dan
(g)   Marhun itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.

E.   Hak dan Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah
Menurut Abdul Aziz Dahlan,[9] bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:
(1) Hak dan Kewajiban Murtahin
(a) Hak Pemegang Gadai
(a.1) Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhunbih dan sisanya dikembalikan kepada rahin;
(a.2) Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun;
(a.3) Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie).
(b) Kewajiban Pemegang Gadai
(b.1) Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya;
(b.2) Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun
untuk kepentingan sendiri; dan
(b.3) Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.
(2) Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah
(a) Hak Pemberi Gadai
(a.l) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih;
(a.2) Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin;
(a.3) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya;
(a.4) Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.
(b) Kewajiban Pemberi Gadai
(b.1) Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin;
(b.2) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.

F. Persamaan dan Perbedaan Antara Gadai Dengan Rahn

Dalam masyarakat di Indonesia, sering terjadi adanya transaksi dengan menggunakan hukum adat, seperti gadai tanah yang tidak ditemukan pembahasannya secara khusus dalam fiqh. Di mana satu sisi, gadai tanah itu mirip dengan jual beli atau jual gadai, sedangkan di sisi lain mirip dengan rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, meskipun dalam waktu yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn, dikarenakan adanya hak menebus atau mengambil kembali bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. Secara rinci persamaan dan perbedaannya diuraikan sebagai berikut:
Persamaan antara gadai dengan rahn adalah sebagai berikut:
(1)  Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;
(2)  Adanya agunan (barangjaminan) sebagaijaminan utang;
(3)  Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan;
(4)  Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai;
(5)  Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan perbedaan antara gadai dengan rahn adalah sebagai berikut:
(1) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata, disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan;
(2) Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak;
(3)  Dalam rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang;
(4) Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, sedangkan rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.[10]

G. Kelebihan dan Kekurangan Gadai Syariah

Dengan analisa SWOT, maka dapat diidentifikasi berbagai faktor yang secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan (lembaga gadai syariah). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknes) dan ancaman (Threath). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (lembaga gadai syariah). Dengan demikian, strategic plannerhams menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (SWOT) dalam kondisi yang ada saat ini.[11]         
Berdasarkan analisa SWOT, dapat dilihat kelebihan maupun kekurangan gadai syariah apabila dibandingkan pegadaian konvensional. Hasil analisa SWOT tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kekuatan (Strength) gadai syariah, bersumber dari:
                  
Berdasarkan analisa SWOT, dapat dilihat kelebihan maupun kekurangan gadai syariah apabila dibandingkan pegadaian konvensional. Hasil analisa SWOT tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kekuatan (Strength) gadai syariah, bersumber dari:
(a)   Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia;
(b)   Dukunganlembagakeuanganlslamdiseluruhdunia;
(c)  Pemberian pinjaman lunak qardhul hasan dan pinjaman/ pembiayaan mudharabah dan ba 'i al-muqayadah dengan sistem bagi hasil pada gadai syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
(2) Kelemahan {Weakness) gadai syariah, adalah:
(a) Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur, yang hal akan menjadi bumerang bagi lembaga gadai syariah;
(b) Memerlukan metode penghitungan yang rumit, apabila digunakan bagi hasil terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian laba untuk nasabah-nasabah kecil, sedangkan juklak dan juknis masih belum sempurna;
(c) Karena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal, bukan hanya mengerti operasional gadai syariah, namun juga mengerti tentang 'aturan' Islamnya itu sendiri, yang hal ini masih minim dimiliki oleh Pegadaian Syariah;
(d)  Keterbatasan murtahin yang dapat dijadikanjaminan;
(e) Memerlukan adanya seperangkat peraturan dalam pelaksanaannya untuk pembinaan dan pengawasannya.
(3)  Peluang (Opportunity) gadai syariah, adalah:
(a)   Munculnyaberbagailembagabisnissyariah(lembagakeuangan
syariah);
(b)  Adanya peluang ekonomi bagi berkembangnya pegadaian
syariah.
(4)   Ancaman (Threath) gadai syariah, adalah:
(a)   Dianggap adanya fanatisme agama;
(b)  Susahnya untuk menghilangkan mekanisme 'bunga' yang sudah mengakar dan menguntungkan bagi sebagian kecil golongan umat Islam.[12]

H.  Perlakuan Bunga dan Riba Dalam Gadai Syariah

Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial. Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw. masih hidup. Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.

Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat komersiil. Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba\ yang dilarang oleh syara'[13]
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, sertajuga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba
Mengenai riba' itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba' (bunga), di dalamnya terdapat 3 unsur berikut:
(1)   Kelebihan dari pokok pinjaman;
(2)   Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
(3)   Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi

Sedangkan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian Muhammad Yusuf, tentang Pegadaian Konvensional dalam Perspektif Hukum Islam dan Viyolina, dengan tentang Sistem Bunga dalam Gadai Ditinjaudari Hukum Islam, memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Islam membenarkan adanya praktik gadai yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Gadai dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur yang dilarang
dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang terjadi di gadai konvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis Islam, di antaranya adalah masih terdapatnya unsur riba', yaitu yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga;
Kedua, gadai yang berlaku saat ini masih terdapat satu di antara banyak unsur yang dilarang syara', yaitu dalam upaya meraih keuntungan, gadai tersebut memungut sewa modal atau bunga;
Ketiga, unsur riba'' yang terdapat dalam aktivitas gadai saat ini sudah pada tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Hadist;
Keempat, penetapan bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatif dari kaum kapitalis dalam mengekploitasikan keuntungan yang besar, yang memberikan kemadharatan, sehingga penetapan bunga gadai adalah tidak sah dan haram.[14]
Sedangkan dalam gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih menggunakan biaya jasa, sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu paling tidak dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba' (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhulhasan dan akadijarah, akadrahn, akadmudharabah, akad ba 'i muqayadah, dan akad musyarakah.
Oleh karena itui, pendapat bahwa gadai ketika sebagai sebuah lembaga keuangan, maka fungsi sosialnya perlu dipertimbangkan lagi, apalagi fungsi sosial gadai itu dihilangkan, tidak sepenuhnya benar. Karena paling tidak ada 2 alasan bahwa dengan terlembaganya gadai, bukan berarti menghilangkan fungsi sosial gadai itu, yang berdasarkan hadist-hadist yang mendasarinya menunjukkan bahwa fungsi gadai itu memang untuk fungsi sosial. Alasan itu adalah:
(1)  Dengan terlembaganya gadai, Pegadaian tetap dapat mendapatkan penerimaan dari pihak rahin, berupa biaya administrasi dan biaya jasa lainnya, seperti jasa penyimpanan dan pemeliharaan. Berarti Pegadaian tidak dirugikan;
(2)  Fungsi sosial tersebut masih diperlukan guna membantu masyarakat yang mernbutuhkan dana yang sifatnya mendesak, terutama untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti dalam kasus Rasulullah Saw. yang menggadaikan baju besinya demi untuk mendapatkan bahan makanan;
(3)  Pegadaian tidak akan merugi karena ada marhun, yang dapat dilelang apabila rahin tidak mampu mambayar.
Hal itu diperkuat pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga.[15]




I.                   Keuntungan Usaha Gadai Syariah
                                                    
Meminjam uang, baik itu di Pegadaian syariah prosedurnya yang relatif mudah dan cepat. Hal ini berbeda apabila meminjam di bank atau lembaga keuangan syariahi lainnya, yang membutuhkan prosedur yang rumit dan waktu yang relatif lebih lama. Persyaratan administrasi juga sulit untuk dipenuhi, seperti dokumen yang harus lengkap dan jaminan yang diberikan haras berupa barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.

Dalam gadai syariah begitu mudah dilakukan peminjaman, masyarakat (nasabah) cukup datang ke kantor Pegadaian syariah terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjaman pun dalam waktu singkat dapat terpenuhi, dengan barang jaminan yang cukup sederhana, seperti jaminan dengan jam tangan, serta biaya yang dibebankan juga lebih ringan apabila dibandingkan dengan para pelepas uang atau tukang ijon maupun pegadaian konvensional.

Jadi keuntungan perusahaan pegadaian syariah apabila dibandingkan dengan lembaga keuangan bank syairah atau lembaga keuangan syariah lainnya, adalah :
(1)  Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang pinjaman, yaitu pada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnya yang sederhana;
(2)  Persyaratan yang sangat sederhana, sehingga memudahkan masyarakat (nasabah) untuk memenuhinya;
(3)  Pada pegadaian konvensioanal tidak mempermasalahkan uang pinjaman tersebut digunakan untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak masyarakat atau nasabahnya.49 Namun, bagi gadai syariah, penggunaan dana oleh nasabah lebih baik diketahui oleh pihak murtahin. Hal ini untuk menentukan akad yang lebih tepat.

Sebagai lembaga keuangan non perbankan, maka penghimpunan dana {funding product) secara langsurig dari masyarakat dalam bentuk simpanan dalam gadai syariah tidak diperkenankan, misalnya: tabungan mudharabah, giro wadi'ah, maupun deposito mudharabah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka gadai syariah memiliki sumber penghimpunan dana, yaitu sbb.:
(1)  Modal sendiri;
(2)  Penerbitanobligasi syariah;
(3)  Mengadakan kerjasama atau syirkah,
dengan lembaga keuangan lainnya, baik perbankan maupun non perbankan dengan menggunakan akad sistem bagi hasil atau profit loss sharing (PLS).

J. Penggunaan Dana
Dana yang telah berhasil dihimpun, kemudian digunakan mendanai usaha gadai syariah. Dana tersebut antara lain digunakan untuk hal-hal berikut:
(1)  Uang Kas dan Dana Likuid lain;
Lembaga gadai syariah memerlukan dana likuid yang siap digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, seperti kewajiban yang telah jatuh tempo, penyaluran dana untuk pembiayaan syariah, biaya operasional yang haras segera dikeluarkan, pembayaran pajak, dan Iain-lain.
(2)  Pembelian dan pengadaan berbagai macam bentuk aktiva tetap dan inventaris kantor gadai syariah. Aktiva tetap berupa tanah dan bangunan, serta investaris ini tidak secara langsung dapat menghasilkan penerimaan bagi lembaga gadai syariah, namun sangat
wMusyarakah adalah bentuk pendanaan patungan dalam kegiatan produktif bisnis yang dtdasarkan dengan profit loss sharing. Rasio distribusi keuntungan atau kerugiannya berdasarkan proporsi kepemilikan modal dalam usaha tersebut. Boieh saja rasionya bcrbeda dengan porsi kepcmilikan dengan pertimbangan bahwa pihak tertentu terlibat dalam manajemen usaha, scmenlara pihak lainnya hanya turut modal saja.

K.  Produk dan Jasa Gadai Syariah

Dalam perkembangan saat ini, bentuk perolehan pendapatan Pegadaian syariah dapat berupa transaksi yang berasal dari biaya administrasi (qardhul hasari), jasa penyimpanan (ijarah), jasa taksiran, galeri, dan bagi hasil atau profit loss sharing (PLS) dari skim rahn, mudharabah, ba'I muqayyadah, maupun musyarakah.[16]
Produk dan jasa yang dapat ditawarkan oleh gadai syariah kepada masyarakat, yaitu antara lain:
(1)  Pemberian pinjaraan/pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah; Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai syariah berarti mensyaratkan pemberian pinjaman atas dasar penyerahan barang bergerak oleh rahin. Konsekuensinya bahwa jumlah pinjaman yang diberikan kepada masing peminjam sangat dipengaruhi oleh nilai barang bergerak dan tidak bergerak yang akan digadaikan.
(2)  Penaksiran Nilai Barang;
Pegadaian syariah dapat memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang. Jasa ini dapat diberikan gadai syariah kafena-perusahaan ini mempunyai peralatan penaksir, serta petugas yang sudah berpengalaman dan terlatih dalam menaksir nilai suatu barang yang akan digadaikan. Barang yang akan ditaksir pada dasarnya, meliputi semua barang bergerak dan tidak bergerak yang dapat digadaikan. Jasa taksiran diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas, terutama perhiasan, seperti: emas, perak, dan berlian.53 Masyarakat yang memerlukan jasa ini, biasanya dengan ingin mengetahui nilai jual wajar atas barang berharganya yang akan dijual. Atas jasa penaksiran yang diberikan, gadai syariah memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penaksiran
(3)  Penitipan Barang (Ijarah);
Gadai syariah dapat menyelenggarakan jasa penitipan barang (ijarah), karena perusahaan ini mempunyai tempat penyimpanan barang bergerak, yang cukup memadai. Gudang dan tempat penyimpanan barang bergerak lain milik gadai syariah, terutama digunakan menyimpan barang yang digadaikan. Mengingat gudang dan tempat penyimpanan lain ini tidak selalu dimanfaatkan penuh, maka kapasitas menganggur tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan jasa lain, berupa penitipan barang. Jasa titipan/ penyimpanan, sebagai fasilitas pelayanan barang berharga dan Iain-lain agar lebih aman, seperti: barang/surat berharga (sertifikat motor, tanah, ijasah, dll.) yang dititipkan di Pegadaian syariah. Fasilitas ini diberikan kepada pemilik barang yang akan bepergian jauh dalam waktu relatif lama atau karena penyimpanan di rumah dirasakan kurang aman. Atas jasa penitipan yang diberikan, gadai syariah memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penitipan.

L. Mekanisme Operasional Gadai Syariah

Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan sampai operasional gadai syariah tidak efektif dan efisien. Mekanisme operasional gadai syariah haruslah tidak menyulitkan calon nasabah yang akan meminjam uang atau akan melakukan akad hutang-piutang. Akad yang dijalankan, termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus selalu berlandaskan syariah (al-Qur' an, al-Hadist, dan Ijma Ulama), dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengadung unsur riba', maisir, dan gharar. Oleh karena itu, pengawasanya harus melekat, baik internal terutama keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai penanggung jawab yang berhubungan dengan aturan syariahnya dan eksternal maupun eksternal Pegadaian syariah, yaitu masyarakat muslim utamanya, serta yang tidak kalah pentingnya adanya perasaan selalu mendapatkan pengawasan dari yang membuat aturan syariah itu sendiri, yaitu Allah Swt.

M. Berakhirnya Hak Gadai  Syariah

Suatu perjanjian tidak ada yang bersifat langgeng, artinya perjanjian tersebut sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal. Demikian pula perjanjian gadai, namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak yang lain. Menurut Abdul Aziz Dahlan, bahwa hak gadai dikatakan batal apabila:                                                  r
(1)  Hutang-piutang yang terj adi telah dibayar dan terlunasi;
(2)  Marhun keluar dari kekuasaan murtahin;
(3)  Para pihak tidak melaksanakan yang menjadi hak dan kewajibannya;
(4)  Marhun tetap dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai atau pun yang kembalinya atas kemauan yang berpiutang.
Sedangkan ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat
berakhir, apabila terjadi hal-hal seperti berikut:
(1)  Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu;
(2)  Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu
mengikat;
(3)  Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir
apabila:
(a)   Akad itu fasid;
(b)  Berlaku khiyar syarat, khiyar' aib;
(c)   Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad;
(d)  Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna; dan
(e)   Wafat salah satu pihak yang berakad, namun dapat diteruskan oleh ahli warisnya, dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan.[17]

N. Peranan Gadai Syariah Dalam Pembangunan

Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan partisipasi dan kerjasama yang baik, antara pihak pemerintah, pengusaha (swasta), dan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, seringkali dihadapkan pada masalah dana, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan produktif. Kebutuhan konsumtif, misalnya anak sakit, uang sekolah, biaya kematian. Kebutuhan produktif, misalnya membeli pupuk/bibit (untuk petani), modal usaha atau memanfaatkan kesempatan usaha (untuk pedagang), beli bahan baku (untuk industri), dan masih banyak lagi.

Gadai syariah pada dasarnya, sebagai bagian dari sistem keuangan yang merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran, terutama dalam menyediakan jasa-jasa di bidang keuangan. Karena gadai syariah bagian dari lembaga non perbankan yang dalam usahanya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan, maka gadai syariah hanya diberikan wewenang untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat (nasabah).
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan para penguaha kecil sangat dibutuhkan adanya lembaga pembiayaan yang mempunyai kantor yang tersebar di berbagai tempat dan dapat memberikan pembiayaan dengan cara-cara sederhana dan sesuai dengan tingkat kemampuan (golongan ekonomi) dan pengetahuan mereka.
Dalam perkembangannya, gadai syariah punya peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya untuk golongan menengah ke bawah tersebut, seperti slogan yang selalu disampaikan pihak gadai syariah, yaitu 'Mengatasi Masalah Sesuai Syariah'. Dengan prosedur yang sederhana, mudah dan cepat, sehingga dana dapat segera diperoleh guna dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan adanya model akad yang ada, terutama guna yang tuj uannya bersifat produktif, seperti akad rahn, mudharabah dan ba'i muqayyadah maupun musyarakah, maka gadai syariah dapat digunakan untuk menggerakan usaha ekonomi kecil dan menengah itu untuk lebih dapat tumbuh berkembang. Sehingga sektor riil dapat tumbuh dengan secara baik dan cepat, di mana hal ini sangat dibutuhkan dalam usahanya untuk mengurangi pengangguran dan peningkatan pembangunan perekonomian nasional secara makro dan mikro.

O. Arah Pengembangan Gadai Syariah

Dalam menghadapi persaingan yang ketat dan tuntutan konsumen yang semakin kritis, makaperlu ditanya lagi seberapa jauh gadai syariah mengelola usahanya secara profesional, dengan bisnis oriented, tanpa harus meninggalkan ciri khusus dan misinya, yaitu pengeluaran uang pinjaman atas dasar hukum gadai syariah dengan sasaran utama masyarakat golongan ekonomi lemah.[18]




















BAB III
PENUTUP

Simpulan

  • Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya

  • Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh. Seperti yang tercantum baik dalam Al Qur' an, Al Sunnah maupun Ijma'.

  • Sebelum dilakuan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri.

  • Dalam masyarakat di Indonesia, sering terjadi adanya transaksi dengan menggunakan hukum adat, seperti gadai tanah yang tidak ditemukan pembahasannya secara khusus dalam fiqh. Di mana satu sisi, gadai tanah itu mirip dengan jual beli atau jual gadai, sedangkan di sisi lain mirip dengan rahn







Daftar Pustaka


ü  A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai,   Al-Ma'arif, Bandung: 1983. Hlm.50
ü  Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cetakan Kccmpat. PT, Ichtiar Bam Vanllocve, Jakarta: 2000, him. 383.
ü  Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi3,   LSIK, Jakarta: 1997. him. 60.
ü  Freddy Rangkuti,, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Menghadapi Abad 21, Cetakan 9, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002. him. 18-19
ü  'HB. Tamam Ali, clkk (Ed.), Ekonomi Syariah dalam Sorotan, Kerjasama Yayasan Amanah, MES, dan PNM,   Ynyasan Amanah, Jakarta: 2003. him. 205.
ü  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, PT.   Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002. him. 107.
ü  Muhammad dan Sholikhul Hadi, Op. cit, him. 47-48. Lihat juga Iin Endang Mardiani,
ü  'Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama Gema Insani Press dengan Tazkia Institute,   GIP, Jakarta: 2001. him. 128
ü  Mustafa az-Zarqa' dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003, him. 102-103.
ü  Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. him. 254.
ü  Tansir Arsyad, Pegadaian: Apa yang Kau Cari, Warta Pegadaian, No. 34 Tahun V, 1993, him. 41


[1] 'Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama Gema Insani Press dengan Tazkia Institute,   GIP, Jakarta: 2001. him. 128
[2] A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai,   Al-Ma'arif, Bandung: 1983. Hlm.50
[3] 'Chuziamah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi3,   LSIK, Jakarta: 1997. him. 60.

[4] 'HB. Tamam Ali, clkk (Ed.), Ekonomi Syariah dalam Sorotan, Kerjasama Yayasan Amanah, MES, dan PNM,   Ynyasan Amanah, Jakarta: 2003. him. 205.

[5] 'Sayyid Sabiq,   Fiqh Sunnah, Jilid 12,   Al Ma'arif, Bandung: 1996. him. 139.
[6] Mustafa az-Zarqa' dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003, him. 102-103.
[7] "Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. him. 254.

[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, PT.   Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002. him. 107.

[9] "Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cetakan Kccmpat. PT, Ichtiar Bam Vanllocve, Jakarta: 2000, him. 383.

[10] Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. cit. him. 41-42.
[11] Freddy Rangkuti,, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Menghadapi Abad 21, Cetakan 9, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002. him. 18-19
[12] Muhammad dan Sholikhul Hadi, Op. cit, him. 47-48. Lihat juga Iin Endang Mardiani, Op.cit, him. 33-34.
[13]"A.A. Basyir, Op. cit, him. 55.

[14] Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. cit, him. 65.
[15] Muhammad Akram Khan, Op. cit. him. 179-184.
[16] "Muhammad, Op. cit, him. 89.

[17] M. Ali Hasan, Op. cit. him. 112
[18] '"Tansir Arsyad, Pegadaian: Apa yang Kau Cari, Warta Pegadaian, No. 34 Tahun V, 1993, him. 41

Komentar

  1. Kami adalah Organisasi Kristen dibentuk untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan, seperti help.So keuangan jika Anda akan melalui kesulitan keuangan atau Anda berada dalam kekacauan keuangan, dan Anda perlu dana untuk memulai bisnis Anda sendiri, atau Anda membutuhkan pinjaman untuk melunasi hutang atau membayar tagihan Anda, memulai bisnis yang baik, atau Anda menemukan kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal, hubungi kami melalui email hari ini untuk bantuan tersebut (pinjaman, uang start-up): rebaccamorrisloanfirm @ gmail. com untuk Alkitab mengatakan "" Lukas 11: 10 Setiap orang yang meminta, menerima; dia yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu akan dibukakan "jadi jangan biarkan kesempatan ini berlalu begitu saja karena Yesus adalah sama kemarin, hari ini dan selamanya. Silakan ini hanya untuk orang-orang yang berpikiran serius dan Allah takut di keuangan kesulitan dan ingin menemukan jalan keluar.

    Anda disarankan untuk mengisi dan mengembalikan rincian di bawah ini ..

    Namamu: ______________________

    Alamat Anda:____________________

    Negara: ____________________

    Kerjamu:__________________

    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: ______________

    Pinjaman Durasi: ____________________

    Pendapatan bulanan: __________________

    Nomor telepon:________________

    Apakah Anda mengajukan pinjaman sebelumnya: ________________

    Jika Anda telah membuat pinjaman sebelumnya, di mana Anda diperlakukan dengan jujur? di mana perusahaan tersebut berlokasi? .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah