BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sumber ajaran Islam yang pokok adalah Al-Qur’an dan Hadits.Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Semua kaum muslimin sepakat bahwa dasar agama Islam yang paling asasi adalah Al-Qur’an dan disusul dengan Hadits Rasulullah SAW
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Keberadaanya dalam kerangka ajaran Islam merupakan penjelas terhadap apa yang ada didalam Al-Qur’an. Dengan demikian Hadits mempunyai peran yang sangat penting di dalam Islam.
Al Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang orang Islamtidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut.Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu keduanya. Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hokum Islam selain Al Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.

B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah pokok dalam  makalah ini adalah :
1.Apa hubungan hadits dan Al-Qur’an
2.Apa perbedaan antara Hadits dan Al-Qur’an
3.Bagaimana peranan Hadits dan Al-Qur’an

C.Teknik penyususn makalah

Penyusun makalah ini dapat kami selesaikan dengan cara mengutip dari berbagai buku.

D.Tujuan Penyusun Makalah

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah :

1.Untuk mengetahui apa yang dimaksud hubungan Hadits dan Al-Qur’an
2.Untuk mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan Hadits.
3.Untuk mengetahui peranan Al-Qur’an dan Hadits.


BAB II
.Hubungan Hadits dan AlQur’an

Hadits mempunyai beberapa sinonim/muradif  menurut para pakar ilmu hadits, yaitu sunnah,khabar,dan  atsar. Kata  ‘Hadits’ berasal dari akar kata :



Hadits dari akar kata diatas memiliki beberapa makna, diantaranya :
     1.  [al-jiddan = baru] dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada, lawan dari al-qadim [terdahulu], misalnya                                             =Alam baru.. Alam maksudnya segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada.makna etimologi ini mempunyai konteks teologis,bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadits [baru],sedangkan kalam Allah besifat qadim [terdahulu]
2.  [Ath-Thariq=Lunak,lembut dan baru]. Misalnya:                          = Pemuda laki-laki.Ibnu Faris mengatakan bahw hadits dari kata ini karena berita atau kalam itu datang silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3. [Al-Khabar = berita, pembicaraan dan perkataann], oleh karena itu ungkapan pemberitaan  hadits  yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu  menggunakan ungkapan:                        = memberitakan kepada kami dan menceritakan kepada kami.

Menurut Abu Al-Baqa hadits [hadits] adalah kata benda atau isim dari kata at-tahdits yang diartikan al-ikhbar = pemberitaan kemudian menjadi cermin nama suatu perkataan dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Kesamaan dalam mendefinisikan hadits ialah  hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.1
         Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara"



.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan sahabat atau tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara.


Hadits mempunyai 3 komponen yakni :

a.    Hadits perkataan yang disebut dengan Hadits qauli.
b    Hadits perbuatan disebut hadits fi’li misalnya Shalat beliau,haji,perang dan lain-lain.
c. .Hadits persetujuan disebut hadits taqriri, yaitu suatu perbuatan atau perkataan diantara   para sahabat yang di setujui Nabi. Misalnya Nabi diam ketika melihat bahwa bibi Ibnu Abbas menyungguhi beliau dalam satu nampan berisikan minyak samin,mentega dan daging binatang dhabb [semacam biawak tetapi bukan biawak].
    Al-hadits didefinisikan pada umumnya  oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah   sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat, fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan hukum, sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.2
     Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu dalam kondisi tertentu walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw.
Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
          Tetapi di sisi lain harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.
          Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi SAW.
        Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniyal-wurud.

      Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.







A.Perbedaan Hadits dan Al-Qur’an

Al-Qur’an berasal dari akar kata                                                   yang berarti bacaan atau yang dibaca dengan makna isim maf’ul al-maqru. Qara’a memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun.. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur.3

      Dari definisi di atas secara sederhana dapat di jelaskna bahwa :

a.   Al Qur’an adalah Firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan perkataan manusia dan bukan pula perkataan malaikat.
b.    Al Qur’an mengandung mukjizat seluruh kandungannya sekalipun sekecil huruf.
c.  Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW [tentunya melalui malaikat Jibril] secara mutawattir [ diriwayatkan banyak orang yang mustahil sepakat bohong].
d.      Membaca Al Qur’an dinilai ibadah [membaca satu huruf dari Al Qur’an dibalas 10 kebaikan sebagaimana keterangan sebagaimana keterangan dalam hadits Nabi SAW.

Dengan demikian Al Qur’an dapat dibedakan dengan hadits dengan beberapa perbedaan sebagai berikut :

a.         Al Qur’an adalah mukjizat Rasul sedangkan Hadits bukan mukjizat sekalipun hadits qudsi.
b.        Al Qur’an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan orang jahil sedangkan hadits tidak terpelihara seperti Al Qur’an.
c.         Al Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawattir, sedangkan hadits tidak banyak diriwayatkan secara mutawattir.
d.        Kebenaran ayat-ayat Al Qur’an bersifat qath’i al wurud [pasti atau mutlak kebenarannya] dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadits kebanyakan bersifat zhanni al-wurud [relatif kebenarannya] kecuali yang mutawattir.









A.       Peranan Hadits terhadap Al Qur’an

          Hadits merupakan sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an. Keberadaanya dalam kerangka ajaran Islam merupakan penjelas terhadap apa yang ada didalam Al Qur’an. Disamping itu peranannya semakin penting jika didalam ayat-ayat Al Qur’an tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadits dapat dijadikan dasar hokum dalam dalil-dalil keagamaan. Dengan demikian hadits mempunyai peran yang sangat penting di dalam Islam.

   Ulama banyak memberikan definisi dan mencoba untuk menelaah hadits dengan berbagai sudut pandang keilmuan yang dimilikinya. Disisi lain dalam kacamata ilmu hadits diterapakan beberapa kaidah dalam menilai suatu hadits. Secara keseluruhan hadits haruslah memiliki struktur yang jelas yang berhubungan dengan sanad,matan dan periwayatannya. Dari hal ini, maka hadits harus ditopang berbagai keilmuan lain dalam Frame Work Ulum al Hadits yang dapat memberikan pertimbangan dan pengukuran terhadap suatu hadits.

  Hadits yang berkembang dalam Khazanah ilmu keislaman adalah hadits,Sunnah,atsar dan khabar. Keempat istilah tersebut secara umum bermakna sama yakni terkait erat dengan perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah. Istilah –istilah tersebut merujuk kepada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir. Namun, ada juga perbedaan yang dilakukan oleh ulama terhadap beberapa istilah tersebut,dalam sebuah hadits harus ada sanad dan matan. Matan[text] merupakan informasi  yang datang dari Rasulullah terhadap sesuatu. Jadi inti dari hadits adalah matan. Karena dari matan inilah ajaran Islam didapatkan. Matan memiliki kriteria akan sabda kenabian, tidak bertentangan dengan Al Qur’an atau hadits mutawattir.

Sejarah membuktikan bahwa periwayatan hadits tidak dilakukan secara lafdzi melainkan melalui maknawi. Perbedaan periwayatan yang dilakukan oleh satu periwayat dengan periwayat lainnya memerlukan adanya penelitian matan. Penelitian hadits banyak terfokuskan pada penelitian sanad hadits.

Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan makna kandungan    Al Qur’an yang sangat dalam dan global atau lil bayan [menjelaskan] sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat An-Nahl [16]:44








44. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka  dan supaya mereka memikirkan,



Secara garis besar ada 4macam fungsi penjelasan [bayan] hadits terhadap Al Qur’an, yaitu sebagai berikut4 :

1.        Bayan Taqrir
Posisis hadits sebagai penguat [taqrir] atau memperkuat keterangan Al-Qur’an [ta’kid]. Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid atau bayan taqrir. Artinya hadits menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Al Qur’an, misalnya hadits tentang shalat, zakat, puasa, dan haji.

2.        Bayan Tafsir
Hadits sebagai penjelas [tafsir] terhadap Al Qur’an dan fungsi inilah yang terbanyak pada umumnya.

a.    Tafshil Al-Mujmal
Hadits ini memberikan penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat global [ tafshil al-mujmal 2 memperinci yang global ], baik menyangkut masalah ibadah maupun hokum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir.

b.    Takhshish Al-Amm
Hadits yang  mengkhususkan ayat-ayat Al Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayan takhshish. Misalnya ayat-ayat tentang waris.

c.    Taqyid Al-Muthlaq
Hadits yang membatasi kemutlakan ayat-ayat Al Qur’an. Artinya Al Qur’an keterangannya secara mutlak, kemudian di takhshish dengan hadits yang khusus.



3.        Bayan Naskhi
Hadits menghapus [nasakh] hukum yang diterangkan dalam Al Qur’an, misalnya kewajiban wasiat.

4.        Bayan Tasyrii
Hadits menciptakan hukum syari’at [tasyri’] yang belum dijelaskan oleh Al Qur’an.



        Hadits merupakan wahyu yang tidak dibacakan secara langsung. Namun demikian, tidak semua hadits dapat dijadikan hujjah, melainkan harus diuji terlebih dahulu validitas dan otentisitasnya. Atas dasar ini, maka pengembangan pemikiran terhadap hadits merupakan suatu keniscayaan yang harus segera dilakukan demi mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran keagamman Islam sekarang ini tentang hubungan antara hadits atau sunnah dengan Al Qur’an























BAB III
PENUTUP


v    Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an. Keberadaannya dalam kerangka ajaran Islam merupakan penjelas terhadap apa yang ada didalam Al Qur’an. Disamping itu  peranannya semakin penting jika didalam ayat-ayat Al Qur’an tidak ditemukan suatu ketetapan, maka hadits dapat dijadikan dasar hukum dalam dalil-dalil keagamaan. Dengan demikian hadits mempunyai peran yang sangat penting didalam Islam.
v    Fungsi Hadits  terhadap Al Qur’an secara umum untuk menjelaskan makna kandungan Al Qur’an yang sangat dalam dan global atau lil bayan [menjelaskan] sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nahl ayat 44 yang berbunyi : “ Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.























DAFTAR  PUSTAKA

Suryadi dan Al Fatih, Suryadilaga Muhammad, Metodologi Penelitian Hadits,  Yogyakarta : Teras.2009,cet.ke-1
Majid Khan, Abdul, Ulumul Hadits, Jakarta : Amzan. 2009, cet. Ke-2
Manan Al Qathan, Syekh, Mabahatsul fi Ulumil Qur’an, Jakarta : Pustaka Al Kautsar : 2006
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada : 1993
Quraish Shihab, Prof.Dr, Membumikan Al Qur’an, Bandung : 1992



[1] Abdul Majid Khan,Ulumul Hadis [ Jakarta:Amzah,2009]cet.2 h.1-3
[2] Quraish Shihab, Prof.Dr, Membumikan Al Qur’an, Bandung : 1992

[3] Manan Al Qathan, Syekh, Mabahatsul fi Ulumil Qur’an, Jakarta : Pustaka Al Kautsar : 2006

[4] Abdul Majid Khan,OP.cit.hal.16-19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Lafadz ‘amm dan Khash

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah