Metode Tafsir
BAB I
Pendahuluan
Pengertian
mazhab tafsir modern
Pengertian modern biasanya dikaitkan dengan zaman yang
berlangsung sekarang. Istilah modern ini seringkali dipakai untuk menunjukkan
periode yang tengah kita jalani sekarang, bukan periode yang telah berlalu.
Dalam konteks perkembangan tafsir , istilah masa modern terkait dengan situasi
dan kondisi tafsir pada saat ini. Dengan demkian, ia dibedakan dengan masa
kontemporer. Meski demikian, erkembangan tafsir masa modern sangat tidak bisa
dilepaskan dengan perkembangannya di masa kontemporer. Setidaknya,
gagasan-gagasan yang berkembang pada masa modern ini udah bermula sejak
zaman kontemporer, yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rastid Rida. Hanya saja
secara substansial, terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufassir ni
dengan perkembangan tafsir yang terjadi saat ini.
Latar belakang
Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus
merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi
pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Jamaluddin
al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan muslimin. Muridnya yang
pertam yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar
pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan
ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama
sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang
bernama kemajuan.
Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang
tidak memberikan perhatian khusus kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti
nahwu, istilah-istilah dalam balaghah,bahasa, dll. Perhatian
pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah
dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang
bernilai tinggi, yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir
yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari
segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan
kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut di kenal dengan nama
al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak
seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua
tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan
Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
Dalam makalah ini, pemakalah membatasi pembahasannya tentang
tafsir corak al-Adaby al-Ijtima’I ditinjau dari sisi historis dan
mencoba untuk memahami penafsiran beberapa ulama yang memakai corak seperti
ini. Adapu rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
-
pengertian al-Adaby al-Ijtima’i
-
Tokoh
-
Contoh penafsiran
BAB II
Pembahasan
A.PENGERTIAN
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar
(infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun,
tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang
dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan
dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa
diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak
bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara
etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi
pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak
tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah
corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu
corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
B.
TOKOH
Ø Syaikh muhammad abduh
· Setting
sosio-historis Muhammad Abduh
Tokoh utama corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i)
serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang
kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa
al-Maraghi.
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah,
Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya,
tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid
al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Ia belajar disan sampai
dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani
seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia
dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya memaksanya untuk kembali belajar.
Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa
Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di
kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang
mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan
pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi
seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi
Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda
disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo
untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Namun system
pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1. Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab
filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan pada waktu itu.
2. Muhammad al-Basyuni, seorang yang banyak
mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran tata
bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh ijazah sarjana dari
al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating ke Mesir. Muahmmad
Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya,
di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi. Kedua tokoh ini mersa
ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya saling membantu dan
sama-sama menaruh rasa suka.Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan
Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada
keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah
al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal
al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh
yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang
aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik
pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali ke tanah airnya yang
sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai alasan, dan oleh
pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha.
Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun agaknya
pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya yang
mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat
diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan
ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari
pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah
untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang ia cita-citakan baru
berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan universitas inilah yang
kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan
ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat
pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan
agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan
tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-Afghani, yang
kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir di Universitas
al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid
Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling
semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya inilah ia
buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.Pada 11 Juli 1905,
Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya
bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh
non-Muslim.
Ø Sayyid muhammad rasyid ridha
· Setting
sosio-historis
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu
kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil ‘Ula 1282 H. Dia
adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina
Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah saw.Disamping
orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian banyak guru. Di
masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu
dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan
dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh orangtuanya ke
Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu,
Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan
di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada saat itu berada
di bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana dipersiapkan untuk
menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha tidak tertarik untuk belajar di
sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke Sekolah
Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis.
Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain
al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap
perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti
walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husan
al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di
beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin
majalah al-Manar.
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung
halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaumpria dan wanita maupun
tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaruan
di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam,
ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat besar terhadap
jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi pemuda
yang penuh semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduh bertambah mendalam
sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil
mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh
berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang
mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat inilah mereka berdua bertemu untuk
pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli.
Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan
bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua, maka baru pada 23
Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir.
Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya
untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah social,
budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada
saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan
diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya,
walaupun harus menanggung kerugian selama satu sampai dua tahun setelah
penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih nama al-Manar dari
sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan
launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan
sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di
Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke
Indonesia.Setelah suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid
Ridha menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir
yang juga diberi nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan
dan sesuai denga perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran
al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah
agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan,
waktu dan tempat.
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di Mesir, setelah
mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang dikendarainya mengalami
kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan, Rasyid Ridha
hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki
posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat
dengan wajah yang sangat cerah dan disertai senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354
H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.
C.
Contoh penafsiran
Pemikiran Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam penafsiran
atas al-Qur’an, yang dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang diturunkan
(wahyukan).perbedaan dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika
beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang
dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan
baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika
spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan
para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan
disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang
sinonimitas kata dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang
berbunyi:
“sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”. Maka yang harus digaris bawahi dari
bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat
berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan
kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu
memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli
Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang
lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la).
Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia
derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan
sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para
malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya
menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama
daripada malaikat.
Telah
terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan
ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
“Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan)
malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk
menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa
menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf”
(yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”,
dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh
“rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain
terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah,
karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
· Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan masyarakat dan berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan.
· Tokoh dalam corak penafsiran ini (al-Adaby
al-Ijtima’i) adalah dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama
Muhammad Mustafa al-Maraghi
· Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam
(teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya
salah.
· Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan
persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu
merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi
dalam setiap masa.
· Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis
kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan
ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan
pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Ø Saran
Akhirnya pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, maka dari itu pemakalah memohon kritikan dan saran pembca
guna memperbaiki dan menyempurnakan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan.Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an.2007.Jakarta:
Litera Nusantara.,ctk. 10.
al-Syirbashi,.Ahmad.2001.Sejarah Tafsir al-Qur’an.Jakarta: Firdaus.
al-‘Aridl,.Ali Hasan.1992. Sejarah dan
Metodologi Tafsir .Jakarta: CV. Rajawali Pers.
Al Muhatsib,Abdul Majid Abdus Salam.1997.Visi
dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer.Bangil: al-Izzah.
Karman,Supiana-M.2002. Ulumul Qur’an.Bandung: pustaka islamika.
Syihab.Quraish.1994. Studi Kritis Tafsir
al-Manar .Bandung: pustaka hidayah.
Syihab.Quraish.2007. Membumikan al-Qur’an.Bandung:
PT. Mizan Pustaka.ctk. I.
Komentar
Posting Komentar