Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Kemajuan (Periode VII)


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi. Munculnya arus modernisasi melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama. Ada yang menerima dan ada yang menentang.
Pada makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh para penulisnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah mengalami perkembangan beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan oleh Hudhari Bek dalam bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan periode perkembangan Hukum Islam sebagai berikut :
1. Priode Pertama, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.







BAB II
PEMBAHASAN

Masa Kebangkitan Hukum Islam

Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangu­nan tersebut sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
            Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir muncul pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Sayid Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya melepaskan diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan tafsir ayat yang menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap taklid. Pengaruh tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di Indonesia.
            Dari sudut pembinaan dan pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan kepeloporan Turki Utsmani, terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam itu dipegang oleh Sultan Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan Sulaiman I (1520 – 1560 M) dan sultan-sultan berikutnya.[1]


Setelah Perkembangan Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam beberapa abad lamanya, maka perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam tersebut timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut Harun Nasution, pada abad ke-19 merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, telah membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power, yang  telah pincang dan membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu itu (periode klasik) Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan sekarang sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon tidak hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Ekpedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir tidak kenal pada percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlihatkan Perancis mencengangkan umat Islam pada waktu itu, hal ini terlihat dari komentar yang dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama Al-Azhar dn penulis sejarah, ia mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d ‘Egypte) benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan Islam pada waktu itu terhadap kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan betapa mundurnya umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum melihat perkembangan peradaban Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran melihat kecanggihan teknologi yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep ekpedisi Napoleon ke Mesir, belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19, seiring dengan bertambahnya jamaah haji, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diadopsi dan mulai dipraktekkan. Bagaimanapun, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon telah membuka mata umat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu pun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat juga bertambah maju.[2]
Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan, social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia islam.
Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
  1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang kontekstual.
  2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqih dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan  fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
  3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
  4. Neo-survivalisme, pola terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian[3]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
  1. Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad, Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy) dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi (dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama; Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti tersebut di atas.
Kedua; upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syariat dan ajaran-ajarannya.
  1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.
 Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat taklid.
Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat:
.  أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya.Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam.Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[4]
  1. Syeikh Muhammad As-Sirhindi

      Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
      Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).  Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).  Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).
c).  Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)      Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).  Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).   Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada kebaikan.
g).  Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.

  1. Sayyid Ahmad Syahid

      Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
      Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).  Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
b).  Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.
c).  Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat.
      Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup.[5]

  1. Muhammad Abdul Wahab
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah SWT
Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
  1. Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
  2. Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
  3. Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
  4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
  5. Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
  6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
  7. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
  8. Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.
  1. Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
  2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
  3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.












BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Ø  Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan  kebangunan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah
ü  Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
Ø  Modernisme
Ø  Survivalisme
Ø  Tradisionalisme
Ø  Neo-survivalisme

ü  Tokoh  yang membangkitkan kembali semangat ijtihad dan menolak taqlid, diantaranya :
Ø  Jamaluddin Al – Afghani
Ø  Muhamma Abduh
Ø  Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Ø  Sayyid Ahmad Syahid
Ø  Muhammad Abdul Wahab



Daftar Pustaka

v   Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
v     Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
v   Mun’im A. Sirrry. . Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti,1995
v   Rahmat Djatnika, Dkk. . Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI, 1986


[1] Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996)
[3] Mun’im A. Sirrry. 1995. Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti
[4] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46
[5] Ibid.Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996) hal.58

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah