Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Kemajuan (Periode VII)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemikiran
hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam
melalui kontak dengan budaya masyarakat setempat. Hal ini
terjadi karena sesungguhnya, al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon
terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi lebih luas lagi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu
pun, masih ada yang memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk
berkembang. Jika pada masa Rasulullah SAW, dalam memahami ayat-ayat semacam
itu, penjelasan diberikan langsung oleh beliau dengan Sunnahnya. Akan tetapi,
setelah Rasulullah wafat dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penjelasan
itu dilakukan oleh para Sahabat. Tanggung jawab itu terus berlanjut dan beralih
kepada para tokoh atau ulama mujtahid pada generasi berikutnya.
Semangat
ijtihad senantiasa dihidupkan oleh para fuqaha, meskipun di antara mereka ada
yang lebih memilih status quo. Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M)
memberikan kritikan tajam kepada mereka yang mengabadikan taqlid, dan Ibn
Taimiyyah (661 H-728 H) juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam era
modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang
di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana
yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi. Munculnya arus modernisasi
melahirkan beragam reaksi dari beberapa ulama. Ada yang menerima dan ada yang
menentang.
Pada
makalah-makalah sebelumnya yang telah diterangkan oleh para penulisnya, dapat
disimpulkan bahwa perkembangan Hukum Islam itu telah mengalami perkembangan
beberapa priode, dan dalam pembagian yang disebutkan oleh Hudhari Bek dalam
bukunya yang sangat terkenal Tarikh Al-Tasyri Al-Islamiâ disebutkan periode perkembangan Hukum Islam
sebagai berikut :
1. Priode Pertama, disebut sebagai Priode Pembinaan
Hukum pada Masa Rasulullah SAW.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.
2. Priode Kedua, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat-Sahabat Besar.
3. Priode Ketiga, disebut sebagai Priode Pembinaan Hukum pada Masa Sahabat Kecil danTabiin.
4. Priode Keempat, disebut Priode Pembinaan Hukum pada Masa Awal Abad Kedua sampaipertengahan Abad Keempat Hijriyah.
5. Priode Kelima, disebut Priode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
6. Priode Keenam, disebut dengan Priode Keruntuhan yang ditandai dengan jatuhnya Baghdad di Tangan Holako atau disebut juga dengan Priode Taklid / Kejumudan. Hudhari Bik hanya membagai sejarah perkembangan hukum Islam ini ke dalam enam priode, sedangkan priode ketujuh ini adalah tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya, termasuk kullliah yang disampaikan oleh Dosen Mata Kulliah ini Bapak Prof. Dr. H. Helmi Karim, MA.
7. Priode Ketujuh adalah Priode Kebangkitan dan inilah yang dimaksudkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Kebangkitan Hukum Islam
Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya
dengan kebangunan kaum muslimin dan
kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangunan tersebut
sudah dimulai sejak abad-abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya
dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran
nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan dirinya
sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai kebangunan universal yang
meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
Sebagai contoh di jazirah Arabia,
Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori Gerakan Wahabi. Di Libia
muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang melancarkan dakwahnya di
negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 – 1885 M) berjuang
mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang semula dan
mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah. Di Mesir muncul
pikiran-pikiran Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan muridnya Sayid
Muhammad Rasyid Ridha, yang menyerukan umat Islam seluruh dunia supaya
melepaskan diri dari rantai taklid, kembali kepada ajaran salaf yang
berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tafsir Al-Manar banyak sekali memuat uraian dan
tafsir ayat yang menyangkut tentang kebebasan berpikir dan kecaman terhadap
taklid. Pengaruh tafsir itu dirasakan pula di berbagai Negara termasuk di
Indonesia.
Dari
sudut pembinaan dan pembangunan Hukum Islam, amatlah besarnya jasa dan
kepeloporan Turki Utsmani, terutama sejak tampuk pemerintahan imperium Islam
itu dipegang oleh Sultan Salim I (1512 – 1520 M) yang dilanjutkan oleh Sultan
Sulaiman I (1520 – 1560 M) dan sultan-sultan berikutnya.[1]
Setelah Perkembangan
Hukum Islam mengalami masa kelesuan, kemunduran dan tidak ada perkembangan
dalam bidang Ijtihad, apalagi ditandai dengan tertutupnya pintu ijtihad, dalam
beberapa abad lamanya, maka perkembangan pemikiran Islam bangkit kembali yang
itu dimulai pada bagian kedua abad ke 19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam
tersebut timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa
kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan-gerakan
para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Menurut
Harun Nasution, pada abad ke-19 merupakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi
Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, telah membuka mata dunia
Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam mulai
berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power, yang
telah pincang dan membahayakan Islam. Kontak Islam dengan Barat sekarang
berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik. Pada waktu
itu (periode klasik) Islam sedang menaik dan Barat sedang dalam kegelapan dan
sekarang sebaliknya, Islam sedang dalam kegelapan dan Barat sedang menaik. Kini
Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dalam ekpedisinya ke Mesir, Napoleon
tidak hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500
wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Napoleon juga membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin,
Arab dan Yunani. Ekpedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer,
tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut akhir ini dibentuk suatu
lembaga ilmiah bernama Institut d ’Egypte, yang mempunyai empat bahagian
Ekonomi-Politik dan Bahagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga
ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le
Courier d ‘Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang
ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang Mesir
tidak kenal pada percetakan dan majalah atau surat kabar.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperlihatkan Perancis mencengangkan umat Islam pada waktu itu,
hal ini terlihat dari komentar yang dikemukakan oleh Al-Jabarti, seorang ulama
Al-Azhar dn penulis sejarah, ia mengatakan “Saya lihat di sana (Institut d
‘Egypte) benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hak
yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada
pada diri kita.
Demikianlah kesan seorang cendikiawan
Islam pada waktu itu terhadap kemajuan yang dialami Barat. Ini menggambarkan
betapa mundurnya umat Islam di ketika itu. Keadaan menjadi berbalik seratus
delapan puluh derajat. Kalau diperiode klasik orang Barat yang terkagum-kagum
melihat perkembangan peradaban Islam, di periode modern kaum Muslim yang heran
melihat kecanggihan teknologi yang diperagakan Barat.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa olep
ekpedisi Napoleon ke Mesir, belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat
Islam. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19, seiring
dengan bertambahnya jamaah haji, ide-ide itu makin jelas dan kemudian diadopsi
dan mulai dipraktekkan. Bagaimanapun, ekspedisi yang dilakukan oleh Napoleon
telah membuka mata umat Islam akan kelemahan dan kemunduran mereka.
Dengan demikian timbullah apa yang
disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam.
Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat
umat Islam maju kembali sebagaimana di periode klasik. Usaha-usaha ke arah itu
pun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam. Tetapi dalam pada itu Barat
juga bertambah maju.[2]
Menyadari
akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan oleh kaum penjajah Barat itu,
maka pada awal abad XIII H, timbullah ide-ide, usaha-usaha dan gerakan-gerakan
pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan pengaruh barat,
merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang pendidikan,
social, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia islam.
Menurut para ulama dan fuqoha ada
empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
- Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa Hukum Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang kontekstual.
- Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqih dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
- Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Satu hasil yang menarik dari cita-cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
- Neo-survivalisme, pola terakhir ini disebut neo-survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqih pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian sosial. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan-persoalan kekinian[3]
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad
ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan
segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-1328)
dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Hanya saja barangkali
pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah
dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari
kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan
bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan
prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media massa dan elektronik
serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang
mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang
yang mendalaminya secara serius. Kemudian banyak tokoh-tokoh yang mengikuti
jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan
menolak taqlid, diantaranya :
- Jamaluddin Al Afghani
Nama
panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad,
Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar
al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang
perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan
nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia
8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun
mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu
keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh
cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil
jenius yang penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Tidak ada perbedaan diantara Al-Afghani dengan Ibnu
Taymiyyah (seperti kebanyakan ulama dari generasi awal) lebih banyak berhujjah
dengan menggunakan dalil-dalil agama dan pendekatan logika (mantiqy)
dalam menegakkan panji/bendera yang dibawanya, seperti yang kita bisa lihat
dari karya-karya beliau. Sedangkan Al Afghani lebih kepada pendekatan provokasi
(dalam term positif) atau membakar semangat, menyadarkan ummat atas realitas
keterpurukan mereka, serta menjalin komunikasi dengan para ulama dan pemimpin
kaum Muslimin.
Kontribusi Al-Afghani
Pertama;
Perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negri-negri Islam (terutama
terhadap penjajah Inggris). Beliau turut ambil bagian dalam peperangan
kemerdekaan India pada bulan Mei 1857, juga mengadakan ziarah ke negri-negri
Islam yang berada di bawah tekanan imperialis dan kolonialis barat seperti
tersebut di atas.
Kedua;
upaya melawan pemikiran naturalisme di India, yang mengingkari adanya hakikat
ketuhanan. Menurutnya, dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora
dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan
kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Hal ini
dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa
materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia
sebagai hamba Tuhan. Dari situlah Al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran
ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan
syariat dan ajaran-ajarannya.
- Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui
dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan
tanggal dan tempat tanggal lahir anak-anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum
dipakai sebagai tanggal lahirnya.
Taklid kepada ulama lama tidak perlu
dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat
Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras
mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat
umat Islam berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang
berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang berlainan betul dengan
sikap umat Islam dahulu.al-Qur’an dan Hadis, melarang umat Islam bersifat
taklid.
Pendapat
tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan
Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya al-Qur’an berbicara,
bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam memandang
akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan
larangan-laranganNya kepada akal.
Di dalam al-Qur’an terdapat
ayat-ayat:
. أفلا يعقلون ,أفلا ينظرون,أفلا يتدبرون
Dan sebagainya.Oleh sebab itu Islam
baginya adalah agama yang rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari
dasar-dasar Islam.Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada
akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal
adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan
dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan.
Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan.[4]
- Syeikh Muhammad As-Sirhindi
Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya
bersambung pada Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14
Syawal tahun 971 H bertepatan dengan tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri
India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.
Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :
a).
Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan
mereka berdakwah dalam level yang tinggi.
b).
Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf
yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa
bersatu dengan Tuhan).
c).
Dia memerangi semua bentuk syirik.
d)
Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad
Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.
e).
Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir
bin Raja Akbar dan mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.
f).
Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada
gelora cinta pada kebaikan.
g).
Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak
membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.
- Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli,
suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow.
Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
a).
Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa
upacara yang berlebih-lebihan.
b).
Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan
lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesulitannya.
c).
Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di
zaman Khalifah Yang Empat.
Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di
dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab
tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab
Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak
tertutup.[5]
- Muhammad Abdul Wahab
Salah satu
pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Pelopornya adalah Muhammad
Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari nejed, Saudi Arabia. Pemikiran yang
dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki kedudukan umat
Islam dan merupakan reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat
Islam saat itu. Paham tauhid mereka telah bercampur aduk oleh ajaran-ajaran
tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam
Disetiap
negara Islam yang dikunjunginya Muhammad Abdul Wahab melihat makam-makam syekh
tarikat yang bertebaran. Setiap kota bahkan desa-desa mempunyai makam Syekh
atau walinya masing-masing. Kemakam-makam itulah umat Islam pergi dan meminta
pertolongan dari syekh atau wali yang dimakamkan disana untuk menyelesaikan
masalah kehidupan mereka sehari-hari. Ada yang meminta diberi anak, jodoh
disembuhkan dari penyakit, dan ada pula yang minta diberi kekayaan. Syekh atau
wali yang telah meninggal. Syekh atau wali yang telah meninggal dunia itu
dipandang sebagai orang yang berkuasa untuk meyelesaikan segala macam persoalan
yang dihadapi manusia di dunia ini. Perbuatan ini menurut paham Wahabiah
termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi dipanjatkan kepada Allah
SWT
Masalah
tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya pada
persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai berikut.
- Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain dari Nya telah dinyatakan sebagai musyrik
- Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berperilaku demikian juga dinyatakan sebagai musyrik
- Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan sebagai syirik
- Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syrik
- Bernazar kepada selain Allah juga merupakan sirik
- Memperoleh pengetahuan selain dari Al Qur’an, hadis, dan qiyas merupakan kekufuran
- Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran.
- Menafsirkan Al Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk
mengembalikan kemurnian tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi
denngan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain sehingga membawa
kepada paham syirik, mereka usahakan untuk dihapuskan. Pemikiran-pemikiran
Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaruan di abad ke-19 adalah sebagai berikut.
- Hanya al-Quran dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama bukanlah sumber
- Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
- Pintu ijtihad senantiasa terbuka dan tidak tertutup
Muhammad
Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia
mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya Abdul Aziz di Nejed.
Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak
sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi mayoritas di Ryadh. Di tahun
1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dan mengambil
bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya
dengan kebangunan kaum muslimin dan
kemundurannya dalam lapangan politik Sebagai
contoh di jazirah Arabia, Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H) mempelopori
Gerakan Wahabi. Di Libia muncul Muhammad bin as- Sunusi (1791 – 1858 M) yang
melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara. Di Sudan, Al-Mahdi (1843 –
1885 M) berjuang mengembalikan Islam kepada kesederhanaan dan toleransinya yang
semula dan mengembalikan dasar hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah
ü Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang
menonjol pada saat kebangkitan Hukum Islam, yaitu :
Ø Modernisme
Ø Survivalisme
Ø Tradisionalisme
Ø Neo-survivalisme
ü Tokoh yang membangkitkan kembali semangat ijtihad
dan menolak taqlid, diantaranya :
Ø Jamaluddin
Al – Afghani
Ø Muhamma
Abduh
Ø
Syeikh
Muhammad As-Sirhindi
Ø Sayyid Ahmad Syahid
Ø Muhammad Abdul Wahab
Daftar Pustaka
v Ali, Muhammad
Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
v
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996
v Mun’im A.
Sirrry. . Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti,1995
v
Rahmat Djatnika, Dkk. . Perkembangan Ilmu Fiqih Di
Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI, 1986
[1]
Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004)
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1996)
[3]
Mun’im A. Sirrry. 1995. Sejarah
Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti
[4] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan
Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46
[5] Ibid.Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1996) hal.58
Komentar
Posting Komentar