Makalah Fiqih Siyasah
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adakah sistem politik dalam Islam? pertayaan
ini barang kali menarik dikemukakan, kerena hingga saat ini di kalangan umat
Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menjawabpermasalahanini. Disisi
lain, dalam pekembangan sejarah Islam, keanekaragaman aliran pokitik ini
melahirkan pula berbagai praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam
disatu tempat dan masa dengan di tempat dan masa yang lain. Perbedaan ini
semakin mengental ketika Islam menghadapi kolonialisme barat pada abad ke-19M.
barat, di samping menguasai daerah-daerah Islam, juga melakukan ekspor terhadap
pemikiran dan idiologi-idiologi politik mereka. Hal ini mendapat respon dari
umat Islam, baik dengan cara menerima bulat-bulat, menolak mentah-mentah maupun
mengapresiasikannya dengan kritis dalam arti mengambil nilai-nilainya yang
positif dan membuang nilai-nilainya yang negatif.
Dalam soal ketatanegaraan dan pemerintahan, Nabi Muhammad tidak memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sedangkan formulasinya dan hal-hal lain yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada umat islam. Merekalah yang merumuskannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang mereka hadapi. Inilah pula sebabnya kenapa Nabi tidak menunjuk secara tegas siapa yang kelak menggantikan beliau setelah meninggal dunia, karena masalah suksesi kepeminpinan ini juga termasuk hal-hal yang bersipat teknis.
Dalam hal ini, penulis ingin mencoba mengulas sedikit tentang sistem ketatanegaraan Islam yang menyangkut istilah–istilah politik ketatanegaraan dalam Islam, yang mana dalam pemakaiannya para ahli banyak sekali yang kontra antara yang satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan banyak persepsi dan pemakaian kata yang berbeda-beda.
Dan juga penulis mohon maaf apabila didalam makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan, baik dari susunan redaksi kata, maupun dalam hal materinya yang tidak menyentuh keinti permasalahan, karena keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
Politik Negara dan Hukum
Islam (Syari'ah)
Kalau dilihat agama dari
sudut pandang intrinsik dan maka agama
menurut definisi Edward B (1874), adalah "keyakinan akan adanya entitas
spiritual". Memahmi agama dalam definisi yang lebih kompleks, agama
adalah "suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan
motivasi yang kuat, mendalam, dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan
konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan
motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada," bagaimana
diformulasikan oleh Clifford Geertz (1966).
Dalam kehidupan manusia, agama menjadi seperangkat pedoman hidup, yakni
satu-satunya pedoman yang dapat menjelaskan keberadaan manusia kini, asal
usulnya, dan masa depannya setelah mati. Tidak ada pedoman lain dalam
kebudayaan manusia yang mampu memberikan penjelasan mengenai eksistensi manusia
selengkap yang dilakukan agama. Sebagai kompleks ajaran, agama bersifat netral.
Dalam ayat-ayat Kitab Suci.
Manusialah yang kemudian menjadikannya faktual sebagai bagian integral dari
kehidupan dan kebudayaannya, yang menyelimutinya dengan sebuah selubung duniawi
sehingga ajaran-ajaran abstrak itu seolah-olah konkret, dan dapat digunakan
untuk bertindak terhadap manusia lain atas nama agama. Dengan konkretisasi,
interpretasi, dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia
memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrumen kekuasaan.
Pertentangan antar penganut agama di mana-mana adalah contoh instrumentalisasi
agama tersebut.
Selain dimensi intrinsik
agama dan dinamikanya itu, instrumentalisasi agama kerapkali ditempeli oleh
muatan potensi integratif maupun disintegratif. Ketimbang menanggapi agama
dari potensinya yang pertama, banyak orang justru lebih cenderung melihat aspek
disintegratif karena perpecahan dan perbedaan agama jauh lebih buruk dan mengerikan daripada aspek
integratifnya. Maka dari titik ini agama mulai diawasi ruang geraknya, apakah
ajaran-ajaran doktrinernya sudah menjurus kepada pemecahbelahan umat atau masih
pada batas-batas aman. Dalam konteks
ini tidak lagi jelas batas-batas antara "kenetralan agama sebagai kompleks
doktrin ajaran dan penggunaan doktrin agama dalam bentuk
penerjemahan menjadi faktual
atau menggunakan sebagian ajaran
yang relevan dengan kepentingan duniawi pada suatu saat."
Agama secara kesatuan dapat
menjadi ancaman atau sahabat, yang keduanya patut dicermati secara
sungguh-sungguh agar diketahui ke arah mana kecenderungan itu bergerak. Dinamika hubungan antara agama dan negara
berlangsung dalam konteks
instrumentalisasi itu.
Ada tiga kemungkinan
skenario politik keagamaan. Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain.
Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan
masyarakat, yang berwadahkan keorganisasian didalam mesjid, gereja, kuil,
klenteng, dan sebagainya. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama
diselesaikan dalam institusi keagamaan tersebut, dan konsep keselamatan (salvation)
menjadi sentral dalam agama, karena dalam
dudukan ini agama adalah penganjur perdamaian, kebajikan, kasih sayang,
dan persaudaraan. Kekacauan
Kedua,
agama dan negara terikat
satu sama lain dalam pengertian bahwa agama memberi corak
dominan atas negara. Dalam konteks ini
agama bermain penuh sebagai instrumen,
yakni aktualisasi agama di dalam sebagian
besar institusi negara, seperti
institusi politik,ekonomi, hukum, dan lainnya.
Apabila perangkat doktrin agama sudah
mengalami internalisasi dalam pikiran manusia, menjadi bagian dari
kebudayaannya, maka ajaran-ajaran tersebut menjadi luwes untuk diinterpretasi
sesuai dengan kepentingan dan lingkungannya. Adanya aneka ragam variasi praktek
keagamaan di muka bumi adalah hasil interpreters kebudayaan itu. Interpretasi
itulah, misalnya, yang membuahkan sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam,
sistem hukum Islam, sistem pemerintahan Islam, dan seterusnya. Oleh karena
setiap agama diyakini secara mutlak oleh penganutnya. maka dalam kehidupan yang
nyata sukar bagi segolongan penganut agama tertentu menerima praktek kenegaraan
yang berasas sepenuhnya pada agama lain yang tidak diyakininya. Akibatnya,
perbedaan agama yang pada dasarnya netral berubah menjadi rasionalisasi perang
ideologi.
Akhimya, yang ketiga, agama ditempatkan
dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama
direduksi menjadi salah satu unsur saja dari sistem yang dipandang saling
tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan-kebijakan yang merupakan
konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas
terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama, agar selalu terwujud keteraturan
yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apa pun,
langsung diredam oleh negara (pemerintah), sehingga keseimbangan tercapai
kembali. Pendekatan sistem ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam
kedudukan sentral, yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem, dan
bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat,
karena sistem, yang posisinya telah merosot menjadi sub ordinat, kehilangan
kekuatan untuk mengontrol negara.[1]
Prinsip-prinsip syiasyah dalam kehidupan bernegara
Di kalangan umat Islam ada
pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Didalamnya terdapat sistem
politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya.
Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa "Islam
adalah agama yang serba lengkap." Didalam ajarannya antara lain terdapat
sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu atau
bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau
politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin. Sayyid Quthb,
penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, juga berpendapat bahwa Islam adalah
agama yang sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak
saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga sistem politik
termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem ma-syarakat, sistem ekonomi dan
sebagainya.
Paradigma pemikiran bahwa
Islam (dalam pengertian pertama) adalah agama yang serba lengkap dan
didalamnya terdapat berbagai sistem kehidupan seperti sistem
ketatanegaraan, secara sepintas dibenarkan oleh al-Qur'an sendiri sebagai
dinyatakan pada tiga ayat berikut:
Pada hari ini (masa haji
wadd , hajiyang terakhir dilaksana-kan
oleh Nabi) telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Kucukupkan kepadamu
nikmatKu dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.(Q.S.M-Mdidah/5:3)
Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitah (al-Qur'an) (Q.S.Al-An'am/6:38)
Dan Kami turunkan
kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserahdiri.(Q.S.Al-Nahl/16:89)
Namun ayat-ayat ini harus
diapresiasi apakah maknanya mendukung pendapat di atas. Ayat pertama mengandung
maksud bahwa Islam sebagai agama (din), yang diwahyukan kepada
para Nabi mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir, menjadi sempurna ajarannya
dan menjadi sempuma wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Tafsir Al-Thabari
menyebutkan bahwa takwil ayat tersebut adalah Allah menyempurnakan
kewajiban-kewajiban, hukum-hu-kum, perintah dan larangan, yang halal dan yang
haram, dan berbagai ibadah yang berhubungan dengan urusan agama bagi manusia
serta wahyu diturunkan kepada Rasul-Nya.
Sedangkan pernyataan ayat kedua
dan ketiga tidak berarti al-Qur'an mengandung sistem politik, sistem ekonomi,
sistem sosial dan sebagainya. Tapi yang dimaksud dengan "al-Qur'an sebagai
penjelasan bagi segala sesuatu dan didalamnya tak luput "sesuatu apa
pun" adalah berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan pokok-pokok
kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Qur'an memang menekankan bahwa antara urusan
kepentingan dunia dan urusan kepentingan akhirat adalah dua kutub yang tidak
dapat dipisahkan melainkan harus dilaksanakan secara integral dan seimbang.
Seperti pernyataan: Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia (maka ia
merugi), karena di sisi Allah adapahala dunia dan akhirat. (QS.
al-Nisa'/4:134) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, danjanganlah kamu melupakan bahagiamu dari
(kenik-matan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagai-mana Allah
berbuat baik kepadamu dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi. (Q.S.Al-Qashash
/28:77) Jadi kebahagiaan manusia di akhirat kelak berpangkal pada kuantitas
dan kualitas karya dan amal perbuatannya di dunia, baik amal yang berhubungan
dengan Tuhan maupun amal yang berhubungan dengan sesama manusia dan
lingkungannya.
Bagaimana mewujudkan dua
tujuan tersebut al-Qur'an tidak menjelaskan rincian teknis pelaksanaannya,
melainkan hanya dalam bentuk pernyataan global atau dasar-dasar saja. Masalah
ibadah umpamanya (salat, haji, zakat). Al-Qur'an tidak menjelaskan rincian tata
cara pelaksanaannya. Nabilah yang menjelaskan melalui SunnahNya. Demikian pula
masalah muamalah (politik dan kemasyarakatan) al-Qur'an tidak mematok teknis
pelaksanaannya. Ia hanya menjelaskan pokok-pokok saja sebagai basis spiritual
dan moralitas dalam mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara. Artinya al-Qur'an
tidak menetapkan sistem politik dan pemerintahan, sistem sosial dan sebagainya
secara absolut dan tertentu yang harus diikuti oleh umat Islam. Ia hanya
menetapkan dasar-dasar dan prinsip-prinsipnya saja. Tapi dengan berpedoman
kepada prinsip-prinsip tersebut, dapat dirumuskan sistem politik dan
pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam dan sebagainya
sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat.
Dengan demikian pernyataan
tiga ayat yang dikemukakan di atas tidak dapat disimpulkan bahwa sekalipun
al-Qur'an memuat mengenai banyak hal, namun tidak berarti ia mengandung
segala-galanya, dan al-Qur'an dapat memberi jawaban secara langsung terhadap
segala masalah yang dihadapi manusia. Tapi dengan kajian yang luas dan intensif
terhadap ayat-ayatnya, ia dapat difiingsikan menjawab berbagai masalah.
Karena itu dapat dipahami
usaha ulama fikih menerapkan metode qiyas di dalam menetapkan hukum
sesuatu hal yang tidak ada penjelasan nash hukumnya dengan cara
mengaitkannya dengan sesuatu hal yang ada nash hukumnya dalam al-Qur'an
dan Sunnah karena ada analogi Mat hukum pada kedua hal tersebut.
Demikian pula terapannya kepada kaidah fikih lain. Sebagai upaya untuk
mengembangkan hukum Islam. Ini menjadi bukti bahwa al-Qur'an dan bahkan Sunnah
tidak mengandung segala-galanya dan mampu secara langsung menjawab seluruh
masalah.
Permasalahan tersebut
menjadi lebih jelas dengan memper-hatikan ayat dan hadits-hadits di bawah ini,
yang dikategorikan sebagai dasar dan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang hidup
bermasyarakat dan bernegara.[2]
Khilafah, Imamah, Imarah,
dan Sulthaniyah
1. Khilafah
Pembahasan Khilafah secara
bahasa berkaitan erat dengan bentukan kata tersebut. Kata "khilafah" seakar
dengan kata "khalifah" (mufrad), khaldif (Jama1),
Adan Khuldfa (Jama1)". Semua padanan kata tersebut
berasal dari kata dasar (fi'il madi), kholafa.
Kata ''khalifah", dengan segala
padanannya, telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum.
Dalam First Encyclopedia of Islam, khalifah berarti Vakil" (deputy),
"pengganti" (successor), "penguasa" {vicegerent),
"gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim" (title
of the supreme head of the muslim community)} dan bermakna. "pengganti
Rasulullah". Makna terakhir senada dengan Al-Maududi bahwa khalifah adalah
pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
Secara istilah, Al-Raghib
Al-Isfahani dalam kitabnya Mufraddtfigharib Al-Quran y menjelaskan
bahwa "menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang
digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Penggantian
tersebut dapat terlaksana, baik akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan dan dapat juga akibat penghormatan yang
diberikan kepada yang menggantikan"
Makna khalifah digunakan
oleh Al~Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas
maupun terbatas. Dalam hal ini Daud [947-1000 SM] mengelola wilayah Palestina,
sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Mufassir lain,
misalnya Al-Maraghi, mengartikan khalifah sebagai "sesuatu jenis
lain dari makhluk sebelumnya, namun dapat pula diartikan, sebagai pengganti
(waktu) Allah SWT. dengan misi untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya
terhadap manusia". Terhadap arti pertama, Al-Maraghi hampir senada dengan
kebanyakan mufassir, dan terhadap arti yang kedua, ia menyandarkan
kepada firman Allah kepada Nabi Daud agar menjadi pemimpin atas kaumnya, yaitu:
Artinya: "Hat Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi. (Q.S. Shad: 26).
Abdur Raziq berpandangan bahwa "agama Islam
tidak mengenal lembaga kekhalifahan. Lembaga ini tidak ada kaitannya dengan
tugas-tugas keagamaan, melainkan tugas-tugas peradilan dan lain-lain dari
pelaksanaan kekuasaan dan negara. Agama tidak mengakui dan tidak mengingkati,
tidak memerintah dan tidak melarang. Agama menyerahkan semua itu kepada pilihan
yang bebas dan rasional. Pandangan senada diungkapkan Qamaruddin Khan, bahwa
kata-kata khalifah di bumi ini bermakna memerintah di bumi ini adalah
sesuatu yang dipaksakan terhadap Al-Quran
Politik dan tidak
menunjukkan adanya teori ketatanegaraan apa pun. Demikian pula, ayat-ayat lain,
tidak bisa dimanfaatkan untuk memolakan teori politik tata pemerintahan. Lebih
lanjut, Qamarudiin Khan me-ngatakan bahwa, tidak ada satu ayat pun yang
mengisyaratkan teori politik pemerintahan.Berbeda dengan yang lain, Ibnu
Khaldun, berpandangan bahwa khalifah adalah "tuntutan syariah dalam
menegakkan agama dan mengatur urusan dunia (sosial politik), guna mewujudkan
kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirat lebih utama,
menurut Ibnu Khaldun, semua kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum
syariat agama. Di samping itu, khilafah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai
pengganti pembuat undang-undang (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan
mengatur urusan keduniawian".
As-Suyuti mengutip pendapat
Al-Farusi dan Muawiyyah, bahwa khilafah adalah "kepala pemerintahan umat
Islam. Pendapat ini di-kemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Al-Wahidi dan Asy-Syaukani. Keduanya
membatasi masalah tersebut pada pergantian kepemimpinan Nabi secara bergantian
menegakkan hukum Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh
Al-Fairuzzabadi dari Ibnu Abbas, A2-Zamakhsyari, dan An-Nawawi. Mereka melihat
kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai
pemerintah". Batasan ini sarat dengan muatan politis.
Begitu pula, yang
diungkapkan Al-Maududi, bahwa "khilafah pada hakikatnya merupakan
manifestasi dari anugerah Allah, Sang Penguasa Tertinggi, Sang Hakim Agung yang
sebenarnya kepada manusia yang men-jadi wakilnya dalam menegakkan
kekuasaanrxlan hukum Allah di antara manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak,
dan berlaku menegakkan hukum, selain Allah, adalah merupakan pemberontakan atau
kudeta melawan Sang Penguasa, Sang Hakim Agung yang hakiki. Dengan kata lain,
perilaku tersebut sama dengan mengubah anugerah menjadi musibah".
2. Imamah
Kata "Imamah" dakm
Al~Quran diulang tujuh kali dengan kandungan arti yang beragam,21 yakni:
Kepemimpinan
Dalam pandangan Thabathaba'i, imam atau
pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang memegang kepemimpinan masyarakat
dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik atau pula suatu aliran
pemikiran, keilmuan, juga keagamaan. Otoritas imamah juga memiliki dua sisi
yang menyatu: pertama bersifat syar'i dan kedua bersifat siyasi.4
Kata "Imamah" merupakan
turunan dari kata amama-amm. Menurut Louis Ma'luf, kata "amama"
bermakna di depan, yang senantiasa diteladani. Orangnya disebut Imam^ sedangkan
imamahnya menurutnya bermakna kepemimpinan umat. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian khilafah. Lebih jelas tentang definisi imamah yang
hampir sulk dibedakan dengan khalifah, sebagaimana dikutip Suyuti
Pulungan (1994:45), bahwa, kebanyakan imamah didefinisikan sebagai
"kepemimpinan menyeluruh yang meliputi urusan keagamaan dan keduniaan,
sebagai pengganti fungsi Rasul SAW. Begitu pun At-Taftzani seperti yang
dikemukakan Rasyid Ridha, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama
dan dunia, yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi SAW. Senada pula dengan
ini, pendapat Al-Mawardi yang menyatakan bahwa, "Imamah dibentuk untuk mengganti
fungsi ke-Nabian memelihara agama dan mengatur dunia. (Munawir SadzaH,
1991:63).
Deretan definisi imamah sebagaimana
disebut di atas, sulit untuk membedakannya dengan kata "khilafah".
Hal ini diakui oleh Qamaruddin Khan, bahwasanya penggunaan terma imamah dan
khilaj"yang senantiasa dicampuradukkan sehingga membuat kebingungan
tersendki. la sendiri mengusulkan agar hanya diartikan sebagai negara atau
pemerintahan, lain tidak.
Adapun dari kalangan tokoh
Syi'i yang banyak menggunakan terma imam ketimbang terma lainnya, antara
lain Ali Syariati, menyatakan, "Imamah merupakan doktrin keagamaan yang
mesti diterima dan diimani oleh seluruh umat. Imamah bukan saja pengelola dan
pemelihara
masyarakat dalam bentuk yang mandeg,
tanggung jawab imamah yang paling utama dalam arti politik (siyasah)".
3. Imarah
Kata "imarah" merupakan
bentuk turunan dari kata "Amira" yang berarti keamiran atau
pemerintahan. Menurut Lois Maluf (1973:192), "Imarah merupakan
sebutan jabatan untuk Amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat, yang
bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan'5. Sementara menurut Ensiklopedi
Islam (t.t:l:128), "Amir memiliki makna beragam, yakni penguasa,
pemimpin, komandan, dan raja".
Kata "Amir" yang
bermakna konotatif kepemimpinan politis tidak digunakan dalam Al-Quran, yang
ada adalah Ulil Amri (Q.S. 4:59), yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam
mengemban suatu urusan> baik yang bersifat politik pemerintahan maupun yang
bersifat profesi, ataupun urusan yang bersifat ilmiah, juga termasuk syariah.
Dalam sejarah periode Islam,
yakni zaman Rasul SAW. khulafa ar rasyidin, istilah Amir (pemerintahan
atau gubernur yang sinonim dengan arti yang sering dipakai untuk menyebut penguasa di
daerah, atau sebagai Gubernur atau juga sebagai komandan milker Amir
al-Jaisy atau Amir al-Jund. Adapun makna Amir yang berkonotasi
sosio-politik, yakni sebagai pemimpin kaum muslimin, muncul di dalam pertemuan
di bala Saqifa sebagaimana diulas dalam Ensiklopedi Islam (t.t:
138-139). Pertemuan itu dilakukan antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk
memusyawarahkan pemimpin pengganti Rasul SAW. yang telah wafat. Ketika keduanya
herkumpul, kaum Anshar berkata: "Kami adalah Umara dan kamu .cbagai
Wuzara". Akhirnya, Abu Bakr disepakati untuk menjabat jabatan khalifah
dengan gelar Khalifa al-Rasul, sedangkan gelar Amir Al-Mukmin
iliscmatkan pertama kali oleh khalifah Umar bin Khaththak Akan tetapi kata
Amir kebanyakan digunakan untuk jabatan di bawah umum (khalifah dan Imam) atau
jabatan milker.
4. Sulthaniyah
Kata "Sulthan" yang
berakar dari huruf sin-iam dan tha bermakna leksikal kekuatan dan
paksaan. Formula kata yang termaktub dalam A1-Quran berupa kata verbal sallatha
- yusallithu" dan kata nominal "Sulthan" dengan
makna-makna yang beragam di antaranya:
1.
Bukti nyata, yaitu dalam surat Ibrahim ayat 10,11 dan 22.
2.
Kekuatan milker, yakni dalam surat An-Nisa ayat 90.
3.
Kekuatan ilmu, yaitu dalam surat Ar-Rahman ayat 33.
4.
Kekuasaan: mendistribusikan aset ekonomi (fa'i), yaitu dalam surat Al-Hasyr
ayat 6.
5.
Kekuasaan hukum: meminta diyat Yaitu dalam surat Al-Isra ayat 33
6.
Kekuasaan kepemimpinan, yaitu dalam surat Saba' ayat 21 dan An-Nahl ayat
99,
7.
Kekuasaan secara umum, yaitu dalam surat Al-Haqaq ayat 20, Al-Isra ayat
80.
Dari beragam makna di atas,
dapat dipahami bahwa makna-makna itu tetap bermuara pada makna pokok, yakni
kekuatan dan kekuasaan. Sampel ayat-ayat yang paling relevan dengan bahasan,
antara lain surat An-Nisa ayat 90 yang berkenaan dengan kekuatan milker: dan Al-A'raf:
142 dan bentuk lain adalah istakhlafa-yasiakhlifu-istakhlif, antara lain
tercantum dalam Al-A'raf: 129.[3]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian Imamah, khilafah, ahl al-hall wal al-aqd dan wizarah adalah istilah – istilah penting dalam sistem kepemerintahan baik itu sebuah negara, maupun sebuah suku atau kelompok. Yang mana istilah - istilah itu harus ada dan berwujud untuk menjalankan roda kepemerintahan yang ada agar tercipta tatanan masyarakat yang diinginkan.
Istilah – istilah ini bukan hanya ada dan berlaku untuk negara dan agama Islam saja, tetapi untuk negara dan agama lainpun baik dan bagus untuk diterapkan dalam tatanan kepemerintahan.
Saran
Sebelum penulis akhiri, sekali lagi penulis mohon maaf apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan, dan dengan mengharap ridha dari Allah SWT, mudah-mudahan karya yang tidak seberapa ini menjadi amal dan berguna bagi kita semua. Amin.
Komentar
Posting Komentar