Antara Struktur dan Proses, Kelas dan Budaya
Antara
Struktur dan Proses, Kelas dan Budaya
Jika
kita melihat pada ketegangan-ketegangan antara struktur dan proses dalam
memahami cendekiawan, maka ada baiknya bila kita menengok pada bagian awal abad
ini, pada refleksi dari Antonio Gramsci dan Karl Mannheim. Dalam konsepsinya
mengenai cendekiawan, Gramsci bergerak dengan cara yang kurang tepat di antara
perspektif struktural dan prosesual. Ini mungkin lebih disebabkan karena
tujuan-tujuan politis dari pemikirannya dibandingkan dengan
kepentingan-kepentingan atau inkonsistensi yang termotivasi secara teoretis,
dalam ia berteori, seperti yang dikemukakan Perry Anderson (1977). Gramsci
(1971:5-14), menu-lis bahwa aktivitas intelektual adalah hal yang umum bagi
semua orang, tetapi bahwa realisasi dan pengembangan dari potensi manusia itu
merupakan suatu fungsi kemungkinan (contingency) historis dari relasi-relasi
sosial yang khusus. Di pihak lain, ia berbicara tentangpara cendekiawan sebagai
suatu kategori sosial, sebagai suatu fungsi dari struktur kelas. Namun,
pandangan Gramsci mengenai kelas adalah dinamis, bukan statis, yang lebih
memfokuskan diri pada relasi-relasi sosial yang dibentuk secara historis dan
bukan struktur sosial yang sudah mapan tanpa perubahan. Sama seperti pengertian
"para buruh" ala Marxis, pengertian "para cendekiawan" ala
Gramsci terbentuk secara historis dalam relasi-relasi sosial yang spesifik,
karena itu tidak digolongkan atas dasar generik atau kriteria empiris semata.
Jadi seperti halnya seorang "buruh" tidak semata-mata seorang yang melaksanakan
pekerjaan manual, tetapi lebih seorang manusia yang berpikir dan bertindak,
yang kebetulan bekerja untuk atau bersama orang lain di bawah kondisi-kondisi
subordinasi yang mempengaruhi seluruh cara hidupnya, dan yang dalam keadaan
khusus memben tuk dasar bagi tindakan politis kolekti£
maka "para cendekiawan" bukanlah kelompokyang didefinisikan oleh
suatu ben tuk khusus aktivitas mental. Demikianjuga, para cendekiawan tidak
dapat didefinisikan melalui suatu bentuk khusus aktivitas produktif.
Saya
ingin membedakan, betapapun kurang memadainya, antara penampilan pekerja
intelektual dan cendekiawan. Ekspansi pekerja intelektual menjadi tantangan
serius begitu mereka tumbuh mereka dalam masyarakat industri modern. Semakin
bertambahnya kelompok inilah yang menjadi latar belakang teori "kelas
baru" yangdisebut di depan. Apakah kita mau menyebutnya sektor jasa atau
"sektor publik", atau "sektor negara", masyarakat modern
sekarang ini ditandai dengan ekspansi posisi atau jenis kerja non-manual, baik
dalam jumlah maupun perhitungan dalam signifikansi politik maupun ekonomi.
Tingkat atas posisi atau jenis kerja yang nonmanual ini sering digolongkan
sebagai "pekerja intelektual", oleh karena kualifikasi-kualifikasi
pendidikan yang dituntut, serta karena penghasilan didasarkan pada jasa yang
mereka hasilkan yang dibentuk di seputar pengetahuan, kompetensi, dan
keterampilan khusus mereka.
Di
sini, pekerja intelektual dituntut (tidak dapat disangkal kesulitan untuk
mendemarkasinya) keseimbangan antara aspek-aspek mental dan fisik tugas yang
jelas ditentukan oleh aspek mentalnya. Aktivitas pekerja intelektual dibayar
atas dasar kinerjanya, dan menuntut "keterampilan" yang sering
disebut modal "manusia" atau "kultural", seperti yang
terlihat dalam pelbagai formulasi Gouldner, Szelenyi, dan Bourdieu. Maka
tekanan pada jenis kerja ini lebih ditekankan pada kemampuan berpikir
konseptual, menulis, berbicara, penampilan intelektual dibandingkan pekerjaan
yang didasarkan pada gerakan-gerakan fisik. Dari ekspansi kerja tipe ini dan pekerja
intelektual inilah, para teoretikus "kelas baru" mengembangkan paham
mereka.
Ide
kelas baru yang didasarkan pada modal kultural, atau modal manusia itu, boleh
saja dipersoalkan dalam beberapa cara, terma-suk menyangkal bahwa ekspansi
pekerja intelektual serta akibat menurunnya jumlah pekerja manual —
kelas pekerja — kenyata-annya telah terjadi. Saya mendasarkan keberatan ini
dalam bidang-bidang lainnya. Menurut pendapat saya, mereka yang menger-jakan
jenis kerja "pekerja intelektual", adalah bukan "para cendekiawan".
Para cendekiawan bukan merupakan suatu kelas dalam arti ini (ekonomi), tetapi
merupakan suatu kategori sosial di luar relasi-relasi kelas, yang didefinisikan
secara keras, sebab identitas kolektif mereka membentuk di sekitar jenis-jenis kepentingan
daripada yang berkaitan dengan posisi atau status sosial. Para cendekiawan,
yang sering secara kolektif saya sebut "inteligensia", membentuk
suatu kategori sosial yang mengambil bentuk dalam pelbagai konteks sosial dan
kultural dalam kaitan dengan norma-norma dan tradisi-tradisi yang telah ada
pada masyarakat pra-industri (Gella 1976; Bauman 1987). Para cendekiawan,
perta-ma-tama adalah kategori sosial yang membuat konsep-konsep dasar secara
sadar dan jelas dalam suatu masyarakat. Dengan demikian merupakan suatu
kategori terbuka, yakni keanggota-annya tidak ditentukan oleh kelas masyarakat
seperti apa pun, meskipun latar belakang kelas dan latar belakang kedudukan
dapat dan memang memberikan pengaruh pada seorang yang menjadi cendekiawan dan
apa yang cendekiawan itu rumuskan sebagai "dasar" dan apa yang ia
akan jelaskan.
Satu pertanyaan yang
menarik yang akan kita kaji secara rinci, khususnya padabab akhir buku ini
adalah: apa arti kategori sosial
cendekiawan
itu dalam masyarakat industrial yang modern (dan dalam masyarakat
pasca-industrial), dan siapa yang akan me-mainkan peran kategori itu? Jadi yang
akan menjadi tugas utama kita di sini akan melihat pada peran dari para
cendekiawan dalam masyarakat modern, apakah arti dan tugas dari kategori sosial
ini telah berubah secara signifikan (Bauman 1987), dan juga melihat dari
kelompok sosial mana para cendekiawan itu akan sangat mungkin muncul.
Mengikuti
saran Gramsci, saya bermaksud untuk melihat pada relasi-relasi sosial spesifik
secara historis yang membentuk cendekiawan kontemporer. Cendikiawan dengan
demikian dipahami sebagai suatu praktek sosial lokal, bukan sebagai suatu
kualitas yang tetap, dan para cendekiawan melalui relasi-relasi sosial spesifik
yang menyusun praktek itu. Seperti Gramsci, saya memandang relasi-relasi sosial
ini, dan dengan demikian me-mandang para cendekiawan dalam kaitan dengan
gerakan-gerakan sosial, sebagai kekuatan atau daya kolektif bagi perubahan
sosial. Namun berbeda dengan Gramsci, saya lebih suka berbicara mengenai
gerakan-gerakan sosial daripada kelas-kelas sosial, sebab dalam masyarakat
modern sekarang ini gerakan-gerakan sosial — dibanding kelas-kelas sosial —
lebih kelihatan sebagai aktor kolektif dinamis yang baru dan bentuk identitas
kolektif yang paling mungkin melahirkan perubahan-perubahan sosial mendasar.
Maka dari perspektif perubahan sosial dalam masyarakat Barat kontemporer,
adalah lebih menarik melihat keterkaitan para cendekiawan pada gerakan-gerakan
masyarakat dibanding pada kelas-kelas.
Relasi-relasi
sosial apa yang hendak dilihatpada saat mengkaji para cendekiawan? Apabila kita
kembali pada Max Weber — bukan Gramsci —- maka kita akan
menemukan empat relasi sosial yakni: relasi-relasi produksi, relasi-relasi
pasar, relasi-relasi status, dan relasi-relasi politis. Saya ingin
mengemukakan di sini bahwa
setiap relasi ini telah mengalami perubahan dalam periode sejak Gramsci menulis
bukunya, dan betapa relasi-relasi ini (sebagaimana dia tegaskan) telah
melahirkan pembagian kerja yang spesifik dan suatu hierarki status di kalangan
para cendekiawan, sehingga semakin sulit melihat mereka sebagai suatu kelas
tersendiri dengan kepentingan dasar yang secara struktural sama. Perkenankan
saya secara skematis menggambarkan relasi-relasi itu satu per satu.
Relasi-relasi
Produksi
Pendekatan ini mengambil
titik berangkat yang terlalu umum bahwa para cendekiawan adalah mereka yang di
masyarakat memperoleh nafkahnya melalui ide-ide mereka (apakah yang berasal
dari atau yang teruntuk bagi mereka, demikian Coser), dan bahwa di dalam
kondisi-kondisi sosial yang stabil mereka itu lebih mungkin ditarik ke kalangan
cendekiawan daripada kalangan pekerja manual. Adalah penting melihat kondisi
kerja dari para pekerja intelektual itu. Kondisi-kondisi kerja telah
banyakberubah sejak karya Gramsci. Seperti para pekerja manual, pekerja
intelektual juga tidak memiliki alat-alat produksinya sendiri; mereka bekerja
bagi orang lain dalam kondisi-kondisi yang agak sedikit dikontrol. Juga,
seperti pekerja manual, para pekerja intelektual dapat sewaktu-waktu
diberhentikan, dan dari sudut pandang teoretis, tidaklah penting apakah itu
disebabkan karena tidak dipenuhinya kualifikasi, atau kurangnya keterampilan
pada
tingkat empiris.
Yang hendak saya katakan
di sini adalah bahwa para pekerja intelektual, seperti halnya para pekerja
manual, tunduk pada kekuatan di luar dirinya yang tidak bisa ia kontrol dan
pengaruhi. Pekerja intelektual, termasuk yang bekerja di universitas, atau akademi, lebih terspesialisasi dan
terbirokratisasi dibanding saat Gramsci menulis bukunya. Ini akan dijelaskan
lagi secara rinci pada bab berikut. Para cendekiawan telah membiarkan diri
mereka dipermainkan dalam proses rasionalisasi atau pemberhentian, dan
karenanya sukarlah melihat mereka sebagai semata-mata korban saja. Melalui
aktivitas-aktivitas "rasionalisasi", mereka memformulasi teori-teori
dan model-model yang memungkinkan pemisahan dimensi-dimensi dan
kepentingan-kepentingan. Para cendekiawan telah menjadi partisipan yang aktif
dalam menciptakan kondisi-kondisi alienasinya sendiri, sebagaimana terjadi pada
orang lain juga.
Relasi-relasi
Pasar
Baik
bagi para pekerja intelektual yang bekerja di sektor negara dan
organisasi-organisasi birokrasi swasta maupun mereka yang relasinya pada pasar
terjadi lebih langsung— seperti para seni-man, pekerja
profesional, penulis, dan pembuat film dan Iain-lain — pasar-pasar bagi para
pekerja intelektual telah banyak mengalami perubahan sejak Gramsci menulis
bukunya. Pasar lebih didominasi oleh kekuatan-kekuatan komersial berskala
besar, oleh perusahaan penerbitan raksasa, oleh perusahan pembuat film, dan
oleh media massa yang terstruktur secara canggih. Pekerja yang bebas dan tidak
terikat (freelancing) baik dalam bidang profesi ataupun seni, semakin mengalami
kesulitan, dan lapangan kerja yang bisa diperoleh juga semakin sedikit. Pada
saat yang sama, rasionalitas pasar mulai lebih merembes pada bidang pekerja
intelektual, khususnya di bidang yang teroganisir secara terbuka. Terdapat
pasar yang semakin bertumbuh bagi beraneka barang-barang intelektual, yang
dicari dan digunakan sendiri.
Cara
memperoleh pengakuan untuk pekerja intelektual telah pula berubah. Regis Debray
bahkan mengatakan bahwa kita mungkin bisa berbicara mengenai "abaci"
yang berbeda mengenai kinerja keberhasilan seorang cendekiawan. (Debray, 1981).
Sekarangini, seorang cendekiawan yang bercita-cita tinggi untuk mendapat
pengakuan publik harus menggunakan dan digunakan oleh media massa. Pengakuan
publik merupakan salah satu nilai sentral yang dianut cendekiawan-cendekiawan
kontemporer. Memperoleh pengakuan luas di kalangan publik atas apayang telah
ditemukan atau diciptakan oleh seorang cendekiawan, merupakan bagian dan paket
pekerja intelektual. Jadi seorang pekerja intelektual berjuang untuk
mendapatkan pengakuan melalui sarana — media—yang secara historis telah
terkondisikan secara struktural. Rasionalisasi pekerja intelektual, sama
seperti halnya pekerja manual, sering mengurangi kesempatan bagi pengakuan
individu. Seperti halnya upaya individual adalah lebih sulit untuk diakui dan
dihargai oleh kelompok kerja di lini produksi, demikian juga sukarnya memperoleh
pengakuan atas prestasi individu dalam penelitian yang dila-kukan oleh suatu
organisasi tim Rasionalisasi dan kolektivisasi upaya cendekiawan menjadi suatu
beban spesifik pada norma-norma tradisional yang mengitari peran intelektual,
persis seperti pekerja-tukang di periode historis sebelumnya. Menjadi seorang
cendekiawan berarti memperoleh pengakuan dan reputasi individual, sesuatu yang
menjadi lebih sulit pada saat ini. Tentu saja keingihan untuk memperoleh
pengakuan itu memiliki pula sisi materialnya (yang sangat mendapat tekanan
dalam paham teoretisi cultural capital). Hadiah Nobel, dan perhatian media
massa menghasilkan banyak uang bagi individu-individu dan institusi-institusi,
tetapi status dan pengakuan dari sesama koleganya tidak bisa diremehkan,
khususnya kalau bidang kerja cendekiawan menjadi pokok perhatian.
Relasi-relasi
Politis: negara, partai, gerakan-gerakan
Sejak
Gramsci menulis karyanya, relasi antara cendekiawan dan negara mengalami
perubahan besar. Ekspansi birokrasi negara dan "negara kesejahteraan"
telah membuka bidang-bidang baru bagi para pekerja intelektual, menciptakan
sederetan jasa sipil dan jasa semi-profesi. Pada waktu yang bersamaan telah
terjadi ekspansi besar dalam hal perhatian negara terhadap pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi, yang dengan sendirinya menghasilkan makin banyak
sarjana, yang merupakan calon cendekiawan, yang bekerja dalam sistem negara
bersangkutan. Kesetiaan politis dari mereka yang bekerja di dalam dan bagi
negara selalu menjadi bahan pembicaraan menarik.
Isu ini menjadi lebih
menarik ketika semakin banyak jumlah mereka dan semakin meningkat pula jumlah
"klien" mereka. Di sinilah, dan tentu saja juga dalam relasi-relasi pasar,
bahwa teori-teori mengenai kelas baru atau lapisan elite mendapatkan
relevansinya. Para cendekiawan dan pekerja intelektual dengan demikian menjadi
menarik bukan saja dalam kaitan dengan kelompok lain, kelas lain atau
sebaliknya (seperti yang dipahami Gramsci), melainkan juga karena pandangan
mereka sendiri. Dengan pekerja intelektual semakin menjadi sumber pusat
kesempatan kerja, suatu kekuatan produksi dan sumber serta bentuk kontrol
sosial dalam masyarakat modern, para cendekiawan lalu menjadi kolompok orang
yang pikiran, dan kepentingannya harus diperhitungkan, sekalipun oleh negara
yang mempekerjakan maupun memanjakan mereka. Pentingnya lapisan ini tercermin
dalam fakta bahwa para pekerja intelektual juga telah mengorganisir diri,
membentuk serikat dan asosiasi seperti "pekerja-pekerja" lainnya, dan
pengaruh mereka sangat dirasakan oleh partai politik, dan secara langsung lebih
terasa dalam bentuk dan isi pekerjaan mereka. Bagi mereka yang bekerja di
sektor pemerintah, secara khusus menjadi penting Pada tingkat sistem pendidikan
yang lebih rendah, misalnya: di mana sosialisasi dari yang muda sangat
mencolok, maka kesetiaan pada negara dan $ada nilai-nilai sosial dominan hampir
selalu menjadi kondisi pekerjaan. Dan ini sangat spesifik bagi pekerja intelektual.
Hal ini juga semakin merata pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Para
pekerja intelektual mungkin terlalu penting untuk dikatakan sebagai
cendekiawan.
Pada
mulanya Gramsci memformulasikan partai-partai politik sebagai yang
mengorganisir dan mengartikulasikan mekanisme-mekanisme di dalam masyarakat
sipil (Gramsci 1971). Peranan partai politik adalah membantu kelas-kelas sosial
yang dinamis guna membentuk "para cendekiawan organis" mereka sendiri
dan menggabungkannya dengan para cendekiawan "tradisional" yang
bersimpati. Apabila kita menerima pendapat ini, untuk sementara kita dapat
melihat sifat ketergantungannya pada sejarah. Dalam masyarakat modern,
partai-partai politik yang oleh Gramsci diasosiasikan sebagai suatu kelas
sosial yang sedang tumbuh (yang dimaksud adalah kelas buruh pada waktu dia
hidup, tempat dan keyakinan) saat ini di Eropa Barat telah dengan baik menyatu
dalam struktur kelembagaan negara yang man tap. Inilah prestasi gemilang yang
dicapai demokrasi sosial Eropa. Apabila seseorang cemas atas kemunculan dan
pembentukan para cendekiawan dalam masyarakat sipil sekarang ini, maka
hendaknya ia bukan melihat pada partai-partai politik yang sudah mapan atau
keterkaitan kelas-kelas sosial mereka, melainkan hendaknya pada gerakan-gerakan
sosial seperti yang akan dikupas dalam bab kemudian. Di dalam gerakan-gerakan
sosial yang baru itulah sekarang ini terjadi organisasi dan interaksi antara
para cendekiawan "organik" dan para cendekiawan
"tradisional"; dari beberapa sudut (menurut Gouldner, misalnya), hal
ini juga dilihat dalam kaitan dengan pembentukan suatu kelas baru atas dasar relasi dan ketegangan antara modal
kultural dan modal ekonomi. Partai-partai politik akan tetap menjadi
lembaga-lembaga di mana para profesional memainkan peran utama, meskipun lebih
berfungsi sebagai "tenaga ahli". Dalam struktur partai politik
kontemporer yang terorganisir secara hierarkis, pekerja intelektual mendapatkan
arena yang tidak seperti pada jabatan yang lain —
birokrasi-birokrasi partai sering menjadi tempat kerjanya — di mana para
cendekiawan dapat menerapkan keterampilan yang sama dalam relasi-relasi
antarpersonal, pernyataan diri, dan kecenderungan untuk manipulasi dan juga
menciptakan aturan, yang memberikan baik pengakuan maupun kekuasaan personal.
Pekerja intelektual yang terprofesionalisasi tidak merasa canggung dalam
organisasi keiompok-kelompok penekan (pressure groups) yang tidak
jarangberelasi dengan gerakan-gerakan sosial kontemporer. Pada aspek-aspek gerakan
sosial yang kurang terorganisir, terlihat lebih banyak peran cendekiawan
tradisional, peran juru bicara, peran wartawan, dan Iain-lain, peran yang
secara tidak langsung atau tidak perlu dikaitkan pada kualitas yang diperkuat
secara okupasional guna meraih posisi kepemimpinan, atau memperoleh ketenaran
dalam arti negatif.
Akan tetapi,
keterlibatan media massa dalam politik kontemporer pada umumnya telah mengubah
kondisi-kondisi bagi pengembangan kualitas semacam itu, dan ini mempengaruhi
gerakan-gerakan sosial juga. Namun, keterampilan-keterampilan intelektual yang
dituntut secara formal, nampaknya kurang memainkan peran —
paling tidak pada tahap-tahap awal — dalam gerakan-gerakan sosial yang secara
relatif terjadi secara spontan dan tidak-terstruktur. Ruang-ruang politik baru
sekarang ini, dan juga bidang-bidang baru yang dipolitikkan karena gerakan
sosial — dalam arti bahwa gerakan-gerakan sosial itu dibedakan dan dapat
dibedakan dari partai-partai dan kelompok penekan yang
teorganisir-—memungkinkan individu-individu tanpa k ikasi cendekiawan yang memperoleh legitimitas meneri Ian
melaksanakan tugas-tugas dan keterampilan-keterampilan yang normalnya
diasosiasikan dengan para cendekiawan. Dengan demikian, gerakan-gerakan spsial
adalah tempat di mana pekerja intelektual tidak saja logis dan sah mencari dan
memperoleh pengakuan dalam bidang-bidang dan arena-arena baru, tetapi juga
merupakan tempat di mana "para cendekiawan" dapat diciptakan.
(Eyerman dan Jamison 1991). "Cendekiawan-cendekiawan pergerakan" ini,
dan pelbagai peran serta fungsi yang mereka emban akan menjadi pokok bahasan
berikut.
Setiap gerakan sosial
kontemporer, hampir selalu dihadapkan dengan tugas-tugas organisasi dan secara
strategis berelasi dengan media massa di dalam politik masyarakat modern yang
terstruktur mapan dan profesional. Tugas-tugas semacam itu cocok bagi para
profesional dan pekerja intelektual pada umumnya. Suatu "gerakan"
harus memberikan pelatihan untuk para "spesialis"nya, memakai mereka
yang sudah terlatih dalam konteks lain atau menyewa para profesional,
yangbiasanya dengan sedikit atau tanpa komitmen yang berarti terhadap tujuan
dan cita-cita gerakan itu. Ini bukanlah problem baru: gerakan-gerakan kelas
buruh menghadapi dilemayangsama, dan banyak waktu, bahkan sampai tahunan telah
dihabiskan untuk mengkaji pro-kontra terhadap usulan alternatif. Soalnya bukan
pada kebaruan isu, melainkan bahwagerakan-gerakan sosial, baikyangbaru maupun
yang lama, membuka ruang-ruang baru yang sarat dengan kesempatan. Bagi sahnya
pekerja intelektual untuk menemukan kembali peran intelektualitasnya, dan bagi
yang tidak memiliki legitimasi untuk mendapatkannya. Ketegangan antara yang
memenuhi kualifikasi dan yang tidak, antara cendekiawan tradisional dan
cendekiawan gerakan organik, sering tampak sangat jelas pada gerakan-gerakan
sosial baru, tercermin dalam pelbagai pergumulan mengenai strategi-strategi dan
taktik-taktik serta
kadang-kadang dalam fragmentasi kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi.
Relasi-relasi
sosial yang diilustrasikan di sini merupakan suatu hierarki dari dan untuk para
pekerja intelektual, yang juga mempengaruhi peran dan pendirian cendekiawan.
Tempat seseorang di dalam pembagian kerja teknis, yang merupakan relasi
produktif, berpengaruh terhadap pendiriannya dan pemahaman dirinya sebagai
seorang cendekiawan. Suatu hipotesis yang hati-hati dalam hal ini mungkin akan
mengatakan seperti ini: semakin pekerja intelektual dikontrol oleh
kekuatan-kekuatan dari luar dirinya, seperti peraturan-peraturan dan
prosedur-prosedur, supervisor dan sebagainya, semakin ia merasa diri kurang
intelektual. Kalau hipotesis ini benar, maka dapatlah dikatakan itu berasal
dari norma-norma dan tradisi-tradisi yang mengitari pikiran mengenai
cendekiawan, bahwa seorang cendekiawan itu menjalankan kegiatannya secara
bebas, kognitif dan kreatif. Semakin dia terdesak oleh relasi-relasi produksi,
semakin kurang pula ia berpikir mengenai dirinya dan tidak lagi bereaksi
sebagai seorang cendekiawan, kecuali bila identitas dirinya secara keseluruhan
terletak di luar relasi-relasi produktif Sebaliknya juga demikian: semakin
besar kontrol yang dimiliki seseorang atas relasi-relasi itu, semakin
kuatpulapredikat kecendekiawananyang melekat pada dirinya. Hal yang sama terjadi
juga pada relasi-relasi pasan semakin bebasnya dari kekuatan-kekuatan pasar,
semakin mungkin munculnya
tugas atau kedudukan "cendekiawan". Jadi,
menurut kriteria ini, para cendekiawan adalah mereka yang mengontrol kerjanya
sendiri, dan menentukan serta menilai sendiri kualitas bentuk dan isi kegiatan
mereka. Semakin tunduk pada kekuatan pasar maka semakin komersial dan semakin
kurang cendekiawan mereka. Dan semakin mereka — yang memegang nilai-nilai ini,
yakni para cendekiawan itu - merasakan tekanan-tekanan, semakin mungkin mereka
memberontak. Relasi-relasi pasar erat
terkait dengan relasi-relasi status dalam formasi ruang cendekiawan dan juga
dengan norma-norma yang membentuk peran mereka. Cendekiawan adalah orang-orang
yang dipandang mampu mengontrol sendiri kuantitas dan kualitas kegiatan mereka
berikut hasilnya; bebas dari tekanan pasar, dan diakui sebagai orang yang
berada "di atas pasarw atau setidaknya di tempat yang terpuji.
Itulah ukuran-ukuran bagi tindakan cendekiawan. Para cendekiawan bisa atau
boleh saja menghentikan pemikiran-pemikirannya, tetapi mereka juga harus hidup
untuk ide-idenya. Apabila kita bicara mengenai "pasar", makabiasanya
orang memahaminya sebagai pasar komersial, dan di sinilah terletak perubahan
penting sejak era Gramsci. Pasar bagi pekerja intelektual dan semua produknya,
mungkin selalu dibatasi dan dikontrol oleh penguasa, tetapi tidak begitu
terstruktur, impersonal, dan begitu beragam serta dilakukan dengan kesadaran
diri seperti yang terjadi dalam masyarakat modern. Pasar telah menjadi suatu
profesi intelektual sendiri, bahkan para cendekiawan radikal berpendapat bahwa
perlu bagi mereka untuk membayar agen-agen literer khusus untuk menjajakan
karya-karya mereka. Bagaimanapun juga, pasar-pasar komersial hanyalah salah
satu sumber bagi pengakuan dan status intelektual.
Patut
dicatat bahwa Regis Debray telah menunjukkan bagaimana pasar bagi produk-produk
intelektual mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu, baik dalam
kualitas maupun bentuk. Pada masa Gramsci, sumber utama pengakuan adalah
melalui berbagai media tulis, jurnal, surat kabar berbobot, partai politik dan
tentu saja gerakan-gerakan sosial. Sekarang negara dan media elektronik
memainkan peran sen tral, tetapi yang tidak kalah berperannya adalah sistem
budaya yang terstruktur dan terintegrasi dengan baik yang mencakup berbagai
perusahaan penerbitan, galeri, kritik, museum, dan surat kabar-surat kabar
ringan, seperti yang telah ditunjukkan Bourdieu. Pasar-pasar publik ini mungkin
hanya komersial secara tidak langsung, namun demikian itu tetaplah pasar.
Cara-cara memperoleh pengakuan intelektual, dengan itu mendapatkan pula
pengakuan publik sebagai cendekiawan, justru terjadi melalui pasar itu, dan
karenanya "cendekiawan" membentuk relasi-relasi strategis ke arah dan
terhadap pasar.
Namun, bagaimana
seseorang diakui sebagai seorang cendekiawan bukan merupakan tema buku ini.
Tema ini telah dikaji dengan baik oleh Debray dan Bourdieu, dan di Amerika
Serikat oleh Russell Jacoby Di sini saya lebih tertarikpada kondisi-kondisi
aktual pekerja intelektual kontemporer, pada formasi identitas kelompok, serta
kemungkinan munculnya suatu kelompok inteligensia baru di bawah kondisi-kondisi
itu. Dengan demikian seperangkat relasi-relasi sosial yang telah diuraikan di
atas hanyalah menarik dalam hal bagaimana mereka menerangi pokok-pokok ini.
Pelajaran yang hendak saya tarik dari Gramsci, di samping menggunakannya
sebagai acuan historis, menyusul penemuan kembali. Baik konsep intelektual
maupun relasi-relasi sosial yang menyebabkan terjadinya rekonstruksi dan peran
cendekiawan itu, tidaklah pasti. Relasi-relasi sosial, meskipun terstruktur,
berfluktuasi sebagaimana norma-norma yang terbentuk melaluinya. Peran-peran
tradisional dan model-model cendekiawan diwujudkan melalui relasi-relasi sosial
yang secara historis terkondisikan dan relasi-relasi sosial, mengalami
perubahan di mana "para cendekiawan" berinteraksi dengan
kelompok-kelompok lain yang terbentuk di dalam relasi-relasi sosial yang
terkondisikan dalam historisitas yang sama. (Untuk rumusan yang sedikit berbeda
dari ini, lihat Brym 1980:60).
Satu
pelajaran lebih lanjut yang diperoleh dari Gramsci: para cendekiawan itu
menghayati bahkan mempertahankan pelbagai tradisi; peran dan kategori bukan
saja hasil dari sejarah melainkan juga mempertahankan dan melanjutkannya. Para
pekerja intelektual, termasuk mereka yang menekuni pelbagai profesi dan Cendekiawan:
Antara Budaya dan Politik
kedudukan baru yang
diciptakan, menyadari makna yang ada pada istilah "cendekiawan".
(Gouldner, mengikuti Merton, meletakkan hal ini dan reproduksinya dalam
"culture of critical discourse" (GCD) yang ditemukan di
universitas-universitas). Ini ditampak-kan dalam pemahaman diri yang merupakan
dasar bagi hierarki status di kalangan mereka yang melaksanakan kerja
intelektual: "para cendekiawan yang benar" adalah mereka yang paling
bebas berpikir dan berkreasi di atas term-term yang mereka tentukan sendiri.
Pandangan kolektif mengenai cendekiawan juga memiliki sejarah yang hidup,
khususnya di Eropa.
Menurut
tradisi, menjadi seorang cendekiawan tidak saja menuntut keterlibatan dalam
aktivitas mental yang kreatif, tetapi juga tanggung-jawab sosial dan pendirian
politik. Justru karena tradisi inilah, maka Benda, Sartre, Karl Mannheim, dan
yang paling belakangan Jacoby telah menghimbau agar para cendekiawan
berkegiatan secara khusus. Tradisi yang hidup ini dengan demikian mempengaruhi
cara pekerja intelektual kontemporer berpikir mengenai dirinya dan perannya
serta posisinya di dalam masyarakat. Ada tradisi-tradisi intelektual lainnya dan
kita akan bahas dalam bagian lain buku ini dan yang akan kita telusuri
keterkaitannya satu sama lain.
Dari perspektif warisan intelektual
ini, serta kondisi aktual pekerja intelektual masa kini, saya ingin membahas
hubungan antara para cendekiawan, kelas-kelas sosial dan gerakan-gerakan sosial.
Ini pada dirinya dapat disebut suatu isu "tradisional" di kalangan
dan untuk para cendekiawan. Bagi Gramsci, tradisi itu merupakan daya motivasi
utama di belakang refleksinya mengenai para cendekiawan, dan ia tidak sendiri.
Itu juga merupakan titik sentral teori Lenin mengenai revolusi, teori
birokrasinya Mich-els, teori kesadaran kelasnya Luk&cs, dan yang paling
akhir ini bahkan menjadi dasar bagi "tesis" Gouldner mengenai kelas
baru. Akhirnya, dengan menarik garis antara cendekiawan dengan tradisi, pada
tingkat bagaimana pandangan itu sendiri dan konotasi-konotasi normatif yang dikandungnya
mempengaruhi para cendekiawan kontemporer, dan bagaimana pula praktek politik mereka
terpengaruhi, saya akan mengembangkan konsep "gerakan".
Seperti yang akan dikaji
secara rinci nanti, maka yang saya maksudkan dengan para cendekiawan pergerakan
adalah mereka yang merhperoleh status dan persepsi diri sebagai cendekiawan
dalam konteks partisipasi mereka pada gerakan-gerakan politik, bukan melalui
lembaga-lembaga budaya yang mapan. Melalui aktivitas politiknya, bukannya
melalui kedudukan legitimasinya, dan justru atas dasar keabsahan cendekiawan
itulah, orang-orang yang tidak memiliki legitimasi mulai melihat dirinya
sendiri dan bertindak sebagai cendekiawan, yakni menerima identitas dan
berkeinginan untuk hidup menurut norma-norma serta tradisi-tradisi yang
memberikan batasan apa dan siapa seorang cendekiawan itu.
Sekalipun ia tidak
menggunakan term itu, dalam Against Fragmentation yang diterbitkan setelah
meninggalnya, Alvin Gouldner menganalisis konflik antara "cendekiawan
tradisional" seperti Marx dan Engels dengan tokoh "cendekiawan
pergerakan" yang otodidak seperti Wilhelm Weitling, seorang pemuda,
pemurung, dan pemagang tukangjahit yang sangat berbakat yang hidup pada masa awal
bangkitnya gerakan Komunis (dikutip dalam buku Gouldner, 1985: 93). Akan
tetapi, lagi-lagi Antonio Gramscilah yang pertama sekali menunjuk ketegangan
ini dan memberikannya dasar teoretis.
Dalam membedakan antara
cendekiawan "organik" dan "tradisional", antara mereka yang
"memegang monopoli atas sejumlah jasa penting: ideologi agama yang
merupakan filsafat dan ilmu selama satu abad, bersama dengan sekolah-sekolah,
pcndidikan, moralitas, keadilan, karitas, perbuatan-perbuatan baik, dan
sebagainya" (Gramsci, 1971:7), dan para cendekiawan organik
Komentar
Posting Komentar