MADZHAB DAN GERAKAN SOSIAL KONTEKS MASA LALU DAN MASA KINI
MADZHAB DAN GERAKAN
SOSIAL
KONTEKS MASA LALU DAN
MASA KINI
Islam
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sebagai ajaran yang mengandung
kepercayaan, aturan dan etika Namun demikian, perbedaan pemahaman terhadap
ajaran itu segera muncul bahkan sejak Nabi masih hidup, lebih-lebih ketika
wilayah Islam semakin meluass dan umat Islam semakin mengenal berbagai
institusi, peniikiran dan kebudayan di mana Islam berkembang, Ketika miasing-masing
pemahaman itu mendapatkan pengikut, maka lahirlah madzhab-madzhab. Sungguhpun
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam telah ada sejak awal Islam, terutama
pada akhir masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, ketika umat Islam menentukan sikap
terhadap fitnah di zaman 'Ali, sesungguhnya madzhab seperti yang dikenal
sekarang itu merupakan fenomena abad ke~2 hijriyah. Dengan kata lain, pada
zaman al-Khulafa al-Rasyidun dan apalagi Nabi madzhab-madzhab itu belum muncul
karena pemahaman agama masih sangat simpel dan sekaligus liberal.
Madzhab-madzhab itu muncul dan berkembang dalam perjalanan sejarah Islam ketika
kondisi ssosial, politik dan ekonomi menuntut eksistensinya.
Dalam sejarah Islam, dikenal dengan jelas madzhab fiqh,
ketika umat Islam dihadapkan pada persoalan-pensoalan praktis dalam kehidupan
sehari-hari yang memerlukan pemacahan. Maka ulama-ulama Islam berusaha
menentukan hukumnya dengan melihat nash-nash al-Qur'an, ajaran dan perilaku
Nabi, dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat lokal. Dengan demikian,
timbullah madzhab-madzhab fiqh. Selain itu, dalam Islam dikenal juga
madzhab-madzhab teologi sebagai akibat timbulnya pelbagai persoalan politik
yang menuntut umat Islam untuk menentukan sikapnya dan lebih-lebih setelah umat
Islam memiliki semakin banyak alternatif pemecahan problem teologi karena
perkenalannya yang semakin intens dengan Hellenisme Yunani. Sekalipun faktor
munculnya madzhab itu dapat diidentifikasi, sangat sulit untuk menentukan kapan
sesuatu madzhab itu muncul. Sebab, ia tumbuh secara perlahan-lahan dalam arus
yang kontinum dan tak pernah ada seorang pun dari imam madzhab yang secara
sengaja membentuk madzhab, Masing-masing berjalan mengikuti evolusi pemikiran
dan realitas sosial. Pada masa kini terjadi perubahan kondisi sosial dan
politik yang menyebabkan perubahan karakter dan relevansi madzhab dalam
kehidupan masyarakat Islam.
Selama ini banyak sekali tulisan yang membahas tentang
madzhab-madzhab yang berkembang dikalangan umat Islam, tetapi tulisan itu
sangat menekankan pendekatan normatif, yakni melihat materi perbedaan pendapat.
Pendekatan seperti itu mengandung kelemahan karena tidak bisa menjelaskan
konteks internal dan implikasi eksternalnya, karena itu, pendekatan sosial
menajdi sangat penting untuk melihat latar belakang perbedaan itu, hubungan
antar madzhab dan implikasi sosial dan politik yang melatarbelakangi
forraiilasi ajarannya Tulisan ini mencoba melihat evolusi pembentukan madzhab
dan perubahan-perabahan karakter dan sikap umat terhadap madzhab. Penglihatan
non-nonnatif seperti itu diharapkan bisa mengisi tempet kosong yang hiasanya
ditinggalkan orang ketika membicarakan madzhab.
Konteks
Masa Lalu
Meluasnya
wilayah Islam dan terpencaraya para sahabat dari kola Madinah menyebabkan
masuknya pengaruh tradisi (sunnah) lokal terhadap pemikiran fiqh. Karena itu
dalam lileratur Islam yang dikenal pertama kali ialah madzhab fiqh yang
diidentifikasi dengan kota-kota di mana para ulama' itu tinggal. Dengan
demikian, maka dikenallah madzhab Kufah, Madinah dan Syria Sejak awai abad
ke-2/ke-8 kelompok-kelompok dalam madzhab geografis itu rnengikatkan diri pada
guru-guru mereka secara individual. Madzhab tidak iagi diidentifikasi dengan
nama tempat tetapi dengan nama kelompok, Maka lahirlah madzhab ashhab (pengikut)
al-Awza'i di kalangan penduduk Syria, ashhab Abu Hanifah di kalangan
penduduk Kufah dan ashhab Malik ibn Anas di kalangan penduduk Madinah.
Sekitar pertengahan abad ke-3/ke-9, madzhab-madzhab ini berubah
menjadi madzhab personal, dan diidentifikasi dengan nama seseorang, Akhirnya,
lahir madzhab Abu Hanifah (w. 150/767), madzhab Malik ibn Anas (w. 179/795),
madzhab al-Syafi'i (w. 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855).
Pada tahap perkembangan
terakhir itu sebenarnya banyak madzhab lainnya yang muncul, tetapi pada
akhirnya empat madzhab itulah yang tetap bertahan sedang lainnya menghilang.
Setidak-tidaknya pada abad ke-7/ke-13 empat madzhab itu berhasil
menyisihkan lainnya di pusat-pusat kebudayaan Islam. Di Baghdad Khalifah
Abbasiyyah al-Nashir (w. 622/1225) telah membatasi penunjukan qadli-qadli pada
empat madzhab itu saja. Setelah itu fiqh empat madzhab tersebut diajarkan di
Madrasah al-Mustanshiriyyah, yang didirikan di Baghdad pada tahun 631/1237 oleh
khalifah al-Mustanshir. Namun demikian, tampaknya tidak ada jawaban tunggal
terhadap misteri hilangnya madzhab-madzhab lain. Sebab utama bisa jadi
berkaitan dengan kondisi geografis, perkembangan politik, persaingan inteketual
atau ada-tidaknya pendeking yang bersemangat dan mumpuni untuk mengembangkan
madzhabnya.
Berbeda
dengan fiqh, madzhab teologi lahir dari pertentangan politik yang tidak saja
melibatkan elit tetapi massa umat Islam. Para ulama (teolog) pada saat itu
berusaha mencari penjelasan teologis terhadap konflik itu. Mereka kemudian
menulis buku-buku, dan akhirnya mendapatkan pengikut intelektual. Dengan
demikian, tidak ada proses pembentukan awal yang bersifat geografis, tetapi
hanya bersifat faksionalis. Dengan kata lain, massa yang berperang untuk
mendukung salah satu faksi politik lebih didorong oleh lain, massa yang
berperang untuk rnendukung salah satu faksi politik lebih didorong oleh
ikatan-ikatan politik daripada dasar-dasar teologis. Ketika para teolog merumuskan
dasar-dasar teologi mereka, pendukung faksi itu kemudian rmenyerapnya dengan
semangat tanpa kompromi. Pada tahap berikutnya, corak faksionalis-politik itu
ditambah dengan pengaruh al-'ulum al-awa'il (warisan Filsafat Yunani)
yang berkembang menjadi teologi rasional. Madzhah-madzhab teologi ini menjadi
subyek penulisan yang amat penting pada abad pertengahan di dalam kitab-kitab
heresiografi, seperti Maqalat al-lslamiyyin oleh al-Asy'ari, al-Milal
wa al-Mhal oleh al-Syahrastani dan Kitab al~ Fished fi al-Milal oleh
Ibn Hazm
.
Pada
masa generasi pertama dari para pengikut imam-imam fiqh itu, madzhab sebenarnya
hanyalah menjadi urusan para ulama', sedangkan massa Islam belum memiliki
kesadaran tentang adanya madzhab. Baru pada abad ke-4/ke-10 (generasi kedua
dari pengikut madzhab), terjadi popularisasi madzhab. Massa Islam mulai
mengidentifikasikan dirinya dengan madzhab tertentu, sehingga hampir tak
seorang Muslim pun yang tidak memiliki madzhab fiqh.
Popularisasi
madzhab itu disertai dengan berbagai perubahan karakter sosial dan politik di
sekitarnya Perubahan-perabahan itu ialah terjalinnya asosiasi madzhab fiqh dan
teologi, patronage, terbentuknya distrik madzhab di kota-kota Islam, mihnah dan
partisipasi massa.
Asosiasi
Madzhab Fiqh dan Teologi
Adalah sesuatu yang normal bahwa massa Islam harus
menganut salah satu madzhab fiqh dan pada saat yang sama mengikuti satu madzhab
teologi. Ini menunjukkan adanya asosiasi antara kedua jenis madzhab itu.
Menurut George Makdisi, asosiasi ini tampaknya tidak terjadi secara kebetulan
tetapi disengaja untuk mendapatkan perlindungan karena perselisihan yang tajam
dalam teologi. Ketika terjadi saling mengecam antar madzhab teologi bahkan saling
mengkafirkan, maka madzhab-madzhab itu mencari perlindungan ke dalam madzhab
fiqh agar tetap aman dan keanggotaannya dalam ahl al-sunnah waal jama
'ah tidak
dipersoalkan. Para imam madzhab fiqh yang ada pada saat itu sesungguhnya
berbicara juga tentang teologi dan teologi mereka adalah ahl al-hadiis, yang
kemudian menjadi komponen penting dalam ahl -sunnah. Oleh karena itu,
banyak orang-orang Asy'ari (teologi) masuk madzhab Syafi (fiqh) dan Maiiki
(fiqh) , orang-orang Mu'tazilah (teologi) masuk Hanafi (fiqh), orang-orang
Hanbali (teologi) masuk Hanbali (fiqh). Dengan kata lain, sebagian orang-orang
Syafi’i adalah Asy'ari dan sebagian lagi Hanbali (teologi), sedangkan
orang-orang Hanbali (fiqh) semuanya masuk Hanbali (teologi). Dengan demikian madzhab
Hanbali menjadi madzhab yang sangat solid, yang hanya bisa dibandingkan dengan
Syi'ah (memiliki sistem hukum dan teologi sekaligus).
Patronage
Segera
setelah madzhab fiqh mendapatkan pengikut massa, pemerintah mulai tertarik
untnk memanfaatkannya baik karena kepentingan tertentu maupun karena komitmen
ideologi. Memang. tidak jelas apakah patronage pemerintah terhadap madzhab itu
dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang semata-mata agama atau
pragmatisme politik. Narnun demikian, adalah menjadi kenyataan umum bahwa pemerintah
terkadang mendukung atau menindas sesuatu madzhab tertentu. Salah satu bentuk
dukungan yang diberikan oleh pemerintah penunjukan ulama dari madzhab tertentu
untuk menjabat qadli (hakim) atau qadli al-qudlat (hakim kepala), yang sering
bermaksa patronage terhadap madzhab ulama yang bersangkutan. Lebih dari itu,
patronage juga dimanifestasikan dalam pendirian instituasi pendidikan, seperti
masjid dan madrasah.
Apa
yang terjadi di Baghdad pada abad ke-4/ke-10 memberikan contoh patronage itu.
Pengikut Hanafi tampaknya didukung oleh Dinasti Abbasiyyah. Tetapi, ketika
hubungan mereka dengan khalifah al-Muqtadir kurang serasi, wazir Ali ibn Isa
menunjuk Abu Ali ibn Khayran, seorang Syafi’i, sebagai qadli al-qudlat. Namun
demikian, ulama tersebut menolak jabatan tersebut, sambil menyatakan bahwa
orang-orang Hanafi lebih layak daripada Syafi’i seperti dirinya untuk memegang
jabatan tersebut. Kemudian, pada tahun 338/949, jabatan qadli al-qudlat diisi
oleh seorang Syafi’i 'Utbah ibn 'Ubayd Allah (w. 350/961). Namim demikian,
setelah surutaya Dinasti Buwayhiyyah, orang-orang Hanafi diberi tempat oleh
Syaraf al~Muik salah seorang menteri dari Sultan Saljuk Alp Arselan. la
membangun madrasah Abu Hanifah pada tahun 457/1065. Sementara itu, orang-orang
Syafi’i didukung oleh wazir Nidzam al~Mulk, yang mendirikan madrasah-madrasah
Nidhamiyyah pada tahun 459/1067. Pada zaman yang sama orang-orang Hanbali
mendapatkan dukungan dari Khalifah Abbasiyyah, khususnya pada zaman al-Mutawakkil
dan al-Qadir. Jadi, nasib sebuah madzhab bisa tergantung pada dukungan
penguasa, dan dengan demikian penguasa juga mengambil dukungan dari madzhab
tertentu.
Pembentukan
Distrik di Kota-Kota Islam
Bersamaan dengan popularisasi madzhab itu, sistem
penataan kampung juga dibagi atas dasar madzhab. Ada kecenderungan bahwa
pengikut-pengikut madzhab tertentu mengelompok di perkampungan tertentu, atau
ada juga kemungkinan bahwa kehidupan di perkampungan mendorong penghuninya
memilih madzhab yang dominan di daerah itu. Baghdad mungkin bisa menjadi contoh
pembentukan kampung berdasarkan afiliasi madzhab, Kampung Karkh dihuni
sepenuhnya oleh orang-orang Sypah, sedangkan kampung di sekitarnya, seperti Bab
al-Muhawwal dan Nahr al-Sarat dihuni oleh orang-orang Hanbali. Demikian juga,
al-Mukharrimi, Bab al-Muhawwal, dan Bab al~Bashrah menjadi basis kaum Hanbali.
Keadaan seperti ini berlaku juga di kota-kota lain pada abad pertengahan,
seperti Kufah dan Bashrah.
Popularisasi
madzhab itu juga terlihat dengan adanya dominasi madzhab tertentu dibeberapa
kota atau wilayah Islam. Misalnya, pada abad ke-4/ke-10 dan ke-5/ke-ll, Kufah
dari Qumm memiliki jumlah pengikut Syi'ah yang sangat besar. Yaman dan wilayah
di selatan Laut Kaspia dikenal sebagai benteng kaum Syi'ah Zaydiyyah. Afrika
Utara, Khurasan, Transoksania dan Multan merupakan pendukung dakwah Syi'ah Isma'iliyyah.
Khawarij Ibadliyyah mendapatkan pengikut yang sangat besar di Afrika Utara dan
Uman, sementara Asy'ariyyah di Nisabur dan Rayy, Maturidiyyah di Samarqand dan
Nisabur, Mu'tazilah di Bashrah dan Nisabur, Syafi’iyyah di Nisabur dan
Qayrawan. Di Spanyoi madzhab Maliki dan Dhahiri berkembang pesat. Pengaruh
Hanafi sangat terasa di daerah-daerah Khurasan dan Transoksania dan kota-kota Rayy,
Nisabur dan Isfahan.
Mihnah
dan Partisipasi Massa
Popularisasi
madzhab juga berbarengan dengan keterlibatannya dalam persoalan politik. Di
luar madzhab teologi yang memang sejak awalnya didorong oleh konflik politik,
madzhab fiqh juga mengalami keadaan yang sama. Pada abad ke-5/ke-ll, ada tiga
kekuatan politik yang sama-sama berjuang untuk saling mendominasi dan dalam
rangka itu masing-masing memanfaatkan kekuatan madzhab sebagai pendukung
kepentingan politiknya. Maka, Khalifah Abbasiyyah yang mendukung madzhab
Hanbali dengan memberikan posisi penting dalam jabatan pengadilan, Sultan
Saljuk mendukung madzhab Hanafi dengan membangun masyhad Abu Hanifah, dan wazir
mendukung madzhab Syafi’i dengan membangun beberapa madrasah Nidzamiyyah.
Sebaliknya, ketidaksenangan seorang penguasa terhadap suatu madzhab tertentu
bisa menyebabkan penindasan terhadap madzhab tersebut Pada zaman al~Ma’mun,
mihnah diberlakukan bagi siapa saja yang tidak menyetujui teologi Mu'tazilah.
Demikian juga di berbagai kota Islam, seorang imam yang bermadzhab Asy'ari
dilarang berkhutbah dan mengimami shalat di masjid-masjid. Teologi Mu'tazilah
dan Asya'riyah dikutuk habis-habisan pada zaman khalifah al-Qadir dan al-Qa'im.
Pada
gilirannya, ketika konflik antar kekuatan politik itu terjadi, maka
pengikut-pengikut madzhab itu memainkan perannya Sebagai contoh, ketika terjadi
percobaan kudeta yang dilakukan oleh Ibn al~Mu’tazz untuk mengambil
kekuasaan dari khalifah al~ Muqtadir pada tahun 296/908, maka pengikut Hanbali
menjadi pasukan pendukung bagi Ibn al-Mu'tazz. Dalam kesempatan lain, pernah
terjadi bahwa 3000 pengikut Hanbali berkumpul untuk mempertahankan posisi
khalifah Abbasiyah ketika mendapatkan serangan dari Buwayhiyyah. Sehingga,
Wazir Ibn Shahib al-Nu'man pada tahun 440/1048 mengatakan bahwa, "khilafah
Sunni itu seperti telur, dan orang-orang Hanbali itu adalah tempurungnya, jika
tempurung itu pecah, maka kuning telurnya akan rusak; khilafah itu diibaratkan
tenda, dan orang-orang Hanbali itu menjadi tali ikatnya, jika tali ikat itu
putus, maka ambruklah kemah itu. Kata-kata tersebut menggambarkan
bagaimana pentingnya peran sosial-politik dari madzhab Hanbali.
Konflik
Sosial
Salah
satu dampak dari popularisasi madzhab ialah munculnya konflik sosial di
kalangan pengikut madzhab. Untuk menggambarkan hal akan diambil apa yang
terjadi di Baghdad sebagai kota metropolitan yang tipikal pada abad
pertengahan. Di Baghdad berkali-kali terjadi perkelahian massal antara
orang-orang Hanbali dengan orang-orang Syi’ah, karena penghinaan terhadap sebagian
sahabat Nabi. Ketika orang-orang Syi'ah menulis kutukan terhadap Mu'awiyah dan
Yazid di tembok-tembok masjid, orang-orang Sunni merasa tersinggung sehingga
terjadi kekerasan yang menimbulkan banyak korban. Pada tahun 450/1058, orang-orang
Hanbali mengadakan protes terhadap masuknya al~ Basasiri, komandan militer yang
pro-Faihimiyyah, ke Baghdad. Protes itu berkembang menjadi huru-hara yang
memporak-porandakan kota Setelah itu, ketika Syi'ah mengadakan peringatan
peristiwa Ghadir Khumm, yang diyakini oleh pengikut Syi'ah sebagai tempat
penunjukan Ali ibn Abi Thalib untuk menjadi khalifah setelah Nabi, maka
orang-orang Sunni di bawah pimpinan orang-orang Hanbali, mengadakan peringatan
Yawm al-Ghar, di mana Abu Bakar bersamaNabi berada di Qua Hira. Pada waktu
hijrah. Konflik antara Hanbali dan Syi'ah didorong oleh perbedaan yang sangat
mendasar. Sementara Hanbali sangat menghormati semua sahabat tanpa kecuali,
Syi'ah merendahkan sebagian sahabat yang dipandang menghianati wasiat Nabi untuk
menunjuk Ali sebagai penggantinya.
Konflik sejenis juga terjadi antara Hanbaliyyah (Hanabilah)
dan Mu’tazilah. Misalnya, pada tahun 360/970, Hanabilah menyerang al-Muthahhar
ibn Sulayman karena dalam ceramah-ceramahaya membenarkan ajaran Mu'tazilah yang
menyatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk. Para Hanabilah atau Sunni
pada umumnya menyatakan bahwa al-Qur'an itu adalah Kalam Allah bukan makhluq
dan barang siapa yang menyatakan sebaliknya (al-Qur'an itu makhluq) maka ia
telah kafir. Serangan yang sama terjadi pada tahun 456/1063 terhadap seorang
tokoh Mu'tazilah Abu 'Ali ibn al-Walid karena dituduh menyebarkan ajaran-ajaran
bid'ah. Kejadian seperti ini sering terjadi sepanjang abad pertengahan. Dalam
hal ini para Hanabilah (fiqh dan teologi) didukung oleh orang-orang Syafi’iyyah
(fiqh) maupun Malikiyyah (fiqh) yang bennadzhab Hanbali (teologi). Konflik ini
didorong oleh pertentangan aqidah, di mana Mu'tazilah meyakini kemakhluqan
al-Qur'an, pemahaman takwil ayat-ayat sifat Tuhan dan penggunaan ilmu kalam. Hanbali
yang menyebut dirinya ahlu al-hadits menolak semuanya itu dan balikan menuduh
mereka yang mempercayainya sebagai ahl al-bid’ah.
Konflik
sosial juga terjadi antara Hanabilah dan Asy'ariyyah. Pertentangan ini
sesungguhnya sudah dimulai oleh al-Asy'ari sendiri dan pengikut-pengikut
Hanbali yang sezaman di bawah pimpinan Abu Muhammad al-Barbahari (w.329/941).
Sekalipun faktor yang menyebabkan pertentangan itu tidak begitu jelas disebut
dalam sejarah, tidak diragukan baliwa perbedaan pendapat antara Hanbaliyyah dan
Asya'riyyah itu jelas ada Berdasar laporan Abu 'Abd Allah al-Hamrani, Ibn Abi
Ya'la mengatakan bahwa ketika al-Asy'ari masuk Baghdad dan datang kepada
al-Barbahari, ia (al-Asy'ari) menyatakan bahwa ia telah membantah semua lawannya,
seperti Abu 'Ali al~Jubba’i dan Abu Hasyim. Tentang ini,
al-Barbahari menjawab bahwa ia tidak peduli terhadap ajaran siapa saja kecuali
apa yang diajarkan oleh Ahmad ibn Hanbal. Kejadian ini menyebabkan al-Asy'ari
menyusun bukunya ai-Ihanah, yang sangat pro-Hanbali. Sekalipun demikian,
al-Barbahari masih menolak buku itu dengan alasan yang tidak jelas. Abu Ya'la
menambahkan bahwa karena peristiwa ini, al-Asy'ari tidak pernah tampil di depan
umum di kota Baghdad. Di luar itu pertentangan antara kedua kelompok tersebut sering
terjadi dan bahkan mirip dengan apa yang terjadi dengan Mu'tazilah. Orang-orang
Hanbali didukung oleh pengikut madzhab lain yang sama-sama memiliki kesamaan
aqidah, yakni Hanbaliyyah. Misalnya, pada tahun 461/1068, seorang tokoh Hanbali
Ibn Sukkara menyeret seorang tokoh Asy'ari Kiya' al~Harasi (w. 504/1110) dari
mimbar ketika sedang menjelaskan hadis-hadis tentang sifat Tuhan. Ia dituduh
membuat pernyataan yang menunjukkan keunggulan Asy'ariyyah di atas Ahl al~
Hadits, dan bahkan menuduh Hanbaliyyah sebagai musyabbihak. Konflik
Hanbali-Asya'ri dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa Asy'ariyyah telah
mewarisi dari Mu'tazilah metode ilmu kalam dan takwil terhadap ayat-ayat sifat
Tuhan. Dengan demikian, ketika Mu'tazilah mengalami kemunduran sejak abad
ke-11, maka Asy'ariyyah mewarisi konflik dengan Hanbaliyyah
.
Pemicu:
Teologi bukan Fiqh
Jika konflik-konffik di abad pertengahan itu
diperhatikan, seperti yang dicontohkan di Baghdad, tampaknya ada sualu pola
bahwa perbedaan atau pertentangan teologis, dan bukan fiqh, ternyata menjadi
penyebab utama bagi konlik-konflik itu. Teori ini didasarkan atas tiga
kenyataan. Pertama, perbedaan fiqih antara Hanabilah dan Syafi’iyyah tidak
menghalangi adanya gerakan bersama (joint action) untuk menentang pengikut
Asy'ariyyah yang sekalipun juga bermadzhab Syafi'i. Dengan kata lain, bentrokan
sering terjadi antar sesama Syafi'i karena perbedaan teologi. Kedua, adalah
merupakan hal yang biasa bahwa seorang murid belajar dari seorang guru yang
bermadzhab lain. Abu Yaia ibn al-Farra' (w. 458/1066) lahir di kalangan
keluarga yang bermadzhab Hanafi, dan kemudian belajar fiqh dari seorang guru
yang bermadzhab Hanafi, yakni Abu Bakr al-Razi. Tetapi, sejak masih muda ia
sudah bermadzhab Hanbali. Ketiga, Pindah
dari satu madzhab fiqh ke yang lainnya tidak menimbulkan persoalan yang serius.
Hal ini berbeda dangan perpindahan madzhab teologi, seperti yang terjadi pada
al-Khatib al-Baghdadi, penulis kitab Tarikh Baghdad. Ketika pindah dari
Hanbaliyyah (teologi) ke Asy'ariyyah ia dimusuhi oleh teman-temannya, dan
bahkan ia haras pindah juga ke madzhab Syafi'i karena di dalam Hanbali tidak
ada tempat bagi Asy'ariyyah. Semua ini menunjukkan bahwa perbedaan teologi
menjadi sumber konflik pada abad pertengahan.
Persoalait
73 Golongan
Adalalah
menarik untuk melihat bagaimana perbedaan dan pertentangan pemahaman di
kalangan madzhab-madzhab umat Islam itu diberikan justifikasi normatif dalam
literatur Islam. Al-Asy'ari menulis Maqalat al Islamiyyin, al-Baghdadi
menulis al-Farq hayn al-Firaq, al-Syahrastani menulis al Milal wa
al-Nihal dan Ibn Hazm menulis Kitab al-Fishal. Karya-karya itu
menjelaskan perbedaan pendapat dari berbagai golongan, yang tampaknya berjumlah
73 golongan. Pembagian itu diambil dari hadis yang menyatakan bahwa umat
Muhammad nanti akan terpecah menjadi 73 golongan, yang semuanya masuk neraka
kecuali satu. Penelitian sementara ini menunjukkan bahwa kesahehan hadis itu
ternyata diragukan, dan bahkan sebaliknya ada yang mengatakan bahwa 73 golongan
itu nanti semuanya akan masuk surga kecuali satu. Dengan demikian, apa yang
dilakukan oleh penulis-penulis karya di atas ialah meyakini terlebih dahulu
adanya 73 golongan dan setelah itu melakukan pembagian atas dasar jumlah
tersebut. Tetapi, jika benar hadis itu tidak saheh, maka tentu ada latar
belakang sosial dan politik yang mendorong lahirnya hadis itu. Sangat mungkin
bahwa pertentangan teologis yang terjadi pasca Usman mendorong salah satu
kelompok untuk menciptakan hadis tersebut. Semangan polemik sangat menonjol
dalam karya-karya itu, dan ini menggambarkan bagaimana tajamnya situasi
pertentangan teologis di kalangan umat Islam pada abad pertengahan
Konteks Masa Kini
Pada zaman modern muncul pemikiran-pemikiran baru di
dunia Islam yang mempertanyakan beberapa hal yang sebelumnya dipandang mapan,
seperti tasawuf, tarekat, ijtihad, taqlid dan madzhab. Khusus dalam masalah
fiqh, jika madzhab telah mendominasi kehidupan sosial-keagamaan sejak abad
ke~9, maka pada abad ke-19
mulai mucul gerakan yang menggugat
relevansi sistem madzhab itu. Gerakan itu berpandangan bahwa bermadzhab itu
identik dengan taqlid dan taqlid dipandang sebagai sumber kebekuan dan
keterbelakangan umat Islam. Karena itu, mereka berseru untuk menggunakan
ijtihad, atau setidak-tidaknya ittiba agar umat Islam kembali meraih kejayaan.
Gerakan ini dikenal dengan gerakan al-lamadzhabiyyah (non-madzhabisme).
Namun demikian, berkembang juga gerakan yang membela sistem madzhab, karena
sistem itu dipandang satu-satunya jalan beragama yang paling selamat. Oleh
gerakan ini, bermadzhab bukan saja berarti mengikuti hasil ijtihad yang
bersifat furu'iyyah tetapi bahkan yang lebih penting bersifat ushuliyyah.
Sebagai contoh, bermadzhab tidak lagi sekedar mengikuti cara berwudlu yang
diajarkan oleh ulama' Syafi’'iyyah tetapi mengikuti metode berfikirnya yang
tertuang dalam Ushul al-Fiqh atau qa 'idah fiqhiyyak yang dipakai oleh
imam Syafi'i. Perdebatan tentang madzhab teologi mengikuti argumentasi yang
kurang lebih sama.
Terlepas dari perdebatan
normatif tentang madzhab seperti yang disebutkan di atas, pada masa sekarang
ini terjadi berbagai bentuk perubahan yang membedakannya dari abad-abad
pertengahan. Perubahan pertama ialah hilangnya administrasi hukum Islam
berdasarkan sistem madzhab. Di hampir seluruh dunia Islam berlaku hukum positif
yang tidak lagi berdasar semata-mata pada satu madzhab tertentu dan bahkan
mengambil sebagian hukum Barat. Demikian juga dalam teologi, tidak lagi terjadi
mihnah {inquisition) terhadap madzhab yang memiliki sejarah panjang di
dunia Islam. Perubahan kedua ialah hilangnya fanatisme madzhab akibat kehidupan
yang semakin pragmatis akibat tantangan modernisasi dan globalisasi. Ketiga
ialah hilangnya patronase yang dulu selalu tercermin dalam pengembangan
institusi pendidikan, pengangkatan pejahat negara dan politisasi madzhab.
Keempat ialah kesulitan (atau ketidakmungkinan) untuk membuat tipologi,
terutama dalam teologi, seperti apa yang dilakukan oleh penulis-penulis klasik
tentang 73 golongan. Saat ini muncul sekian banyak aliran yang tidak mungkin
dimasukkan ke dalam salah satu dari 73 golongan itu. Dengan perubahan-perubahan
tersebut maka paradigma madzhab abad pertengahan tidak lagi bisa bertahan pada
masa sekarang.
Perubahan-perahahan tersebut di ataas menunjukkan bahwa secara
real madzhab sekarang ini masih ada tetapi dalam pengertian yang lebih luas dan
fleksibel. Orang tidak lagi bisakonsisten mengikuti satu madzhab baik dalam
fiqh maupun dalam teologi. Demikian juga orang yang tidak bermadzhab pada
hakekatnya mengikuti madzhab al- lamadzhabiyyah. Perbedaan ini
sebenarnya hanya menyangkut pemahaman semantik, dan karena. itu jelas sekali
bahwa arah keberagamaan umat Islam menunjukkan proses semakin plural (jarnak)
seiring dengan meningkatnya pendidikan masyarakat Pluralisme pemahaman agama
sesungguhnya merupakan sesuatu yang sah dalam Islam asal lahir dari hasil
ijtihad, betapapun bervariasinya, seperti yang dikatakan Nabi, "Barang
siapa yang berijtihad kemudian ternyata benar, maka ia mendapatkan dua pahala
dan barang siapa berijtihad kemudian ternyata salah, maka ia
masih mendapatkan satu pahala’. Yang tidak mendapatkan pahala adalah mereka
yang tidak berijtihad.
Komentar
Posting Komentar