Tafsir Lughawi dan Tafsir Fiqhy



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat inayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini .Shalawat dan salam tak lupa penulis hatvurkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju kecerahan, pun juga kepada sahabat, keluarga dan pengikut beliau yang setia dari dulu  sekarang hingga akhir zaman .
Dalam kesempatan ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini, kepada  Bapak Drs.Ruslan.M.Ag selaku dosen pengajar mata pelajaran Metode Study Tafsir yang telah bersedia membimbing penulis demi kelancaran dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan semoga menjadi amal bagi penulis sendiri . Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Banjarmasin , 16 April 2012



Penulis

BAB I
                                            PENDAHULUAN
Al-Qur’an al-Karim merupakan hidangan ilahi yang berfungsi sebagai hudan dalam memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita yang dapat menerangi berbagai persoalan hidup. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksi dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung telah meluluhkan kalbu masyarakat yang ditemuinya dan membuat mereka berdecak kagum. Namun dewasa ini, penulis melihat masyarakat hanya berhenti dalam pesona bacaan seakan-akan kitab suci diturunkan hanya untuk dibaca.
Sebagai intelektual muslim, ulama berkewajiban memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan di balik setiap untaian mutiara kata dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk menyampikan nilai-nilai tersebut, ulama menempuh beberapa metode, baik metode penyajian maupun metode pembahasan. Di samping itu, metode pendekatan juga diperlukan. Salah satu metode pendekatan yang sangat signifikan dalam memahami al-Qur’an adalah pendekatan linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir lughawi dan tafsir fiqhy
Tafsir merupakan ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjabarkan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW. Kecenderungan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an juga difokuskan pada tafsiran ayat-ayat tertentu saja. Berdasarkan berbagai fokus tafsiran yang dilaksanakan oleh para mufassir, maka telah berkembang berbagai tafsir lughawi dan tafsir fiqih yang akan kami jabarkan didalam makalah ini.



















BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR LUGHAWI DAN TAFSIR FIQHY

  1. Pengertian Tafsir Lughawi
Tafsir lughawi terdiri dua kata yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yang akar katanya berasal dariفسر bermakna keterangan atau penjelasan.Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل yang berarti menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir adalah membuka dan menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi berasal dari akar kata لغي yang berarti gemar atau menetapi sesuatu. Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih simpelnya tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui interpretasi semiotik dan  semantik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal.[1]
Pada abad XIV Hijriah lahir tafsir dengan corak baru yang tidak memberi perhatian kepada segi nahwu, bahasa, istilah-istilah dalam balaghah dan perbedaan-perbedaan madzhab. [2]
  1. Jenis-jenis Tafsir Lughawi
Sebelum menjelaskan jenis-jenis, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
-       Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
-       Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
  1. Jenis-jenis Tafsir Lughawi
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkalaborasikan bersama corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:
Ø  Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
Ø  Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik, dan semantik yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
Ø  Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antarayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
Ø  Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
Ø  Tafsir Balaghah yang meliputi tiga aspek yaitu:
-        Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
-        Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
-        Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)[3]
  1. Kelebihan dan Limitasi Tafsir Lughawi
Tafsir al-Qur’an melalui pendeketan bahasa tentu tidak akan lepas dari nilai positif atau negatif. Di antara nilai positifnya adalah:
  1. Mengukuhkan signifikansi linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an  karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh dengan makna.
  2. Menyajikan kecermatan redaksi teks dan mengetahui makna berbagai ekspresi teks sehingga tidak terjebak dalam kekakuan berekspresi pendapat.
  3. Memberikan gambaran tentang bahasa arab, baik dari aspek penyusunannya,  indikasi huruf, berbagai kata benda dan kata kerja dan semua hal yang terkait dengan linguistik.
  4. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an sehingga membatasinya dari terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
  5. Mengetahui makna-makna sulit dengan pengatahuan uslub (gaya) bahasa arab.
  6. Melestarikan keselamatan, kehidupan dan kontinuitas bahasa arab dalam sejarah, melestarikan bahasa al-Qur’an dengan bahasa arab yang jelas, bukan dengan bahasa pasaran.
  7. Mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an sehingga akan melahirkan dimensi psikologis dan signifikansi interaksi dalam jiwa.
Namun demikian, sebagai salah satu metode penafsiran yang bersifat ijtihadi, tafsir lughawi juga memiliki beberapa nilai negatif, antara lain:
  1. Terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele sehingga terkadang melupakan makna dan tujuan utama al-Qur’an.
  2. Mengabaikan realitas sosial dan asbab al-Nuzul serta nasikh mansukh sehingga akan mengantarkan kepada kehampaan ruang dan waktu yang akibatnya pengabaian ayat Makkiyah dan Madaniyah
  3. Menjadikan bahasa sebagai objek dan tujuan dengan melupakan manusia sebagai objeknya.
  4. Peniruan lafzhiah (kata), otoritas historis yang berseberangan dan keragaman pendapat pakar bahasa arab akan menguras pikiran sehingga melupakan tujuan utama tafsir yaitu pemahaman al-Quran.[4]
B. Pengertian Tafsir Fiqhy
Tafsir Fiqhy sering disebut dengan tafsir ahkam atau tafsir ayatil ahkam yaitu tafsir Al Qur’an yang beraliran Fiqih atau hukum atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang hukum kadang-kadang dalam hal ini yang ditafsirkan hanya ayat-ayat Al Qur’an yang menyangkut soal hukum saja, sedangkan pada ayat yang lain tidak memuat hukum fiqih tidak ditafsirkan atau tidak dimuat.[5]



 Sejarah Munculnya Tafsir fiqhy
 Dapat di pahami bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW terhadap al-Qur'an sudah jelas beliau ditugaskan menafsiran al-Qur'an kepada para sahabatnya di samping menyampaikan seluruh informasi kewahyuan kepada mereka[6]. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam salah satu firmannya :
Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Tidak dapat di ragukan bahwa ayat tersebut di atas menunjukan adanya penjelasan Rasulullah di satu sisi itu merupakan tafsir. Ketika para sahabat kesulitan memahami suatu ayat mereka langsung menanyakannya kepada Nabi. Dengan demikian sebenarnya Tafsir al- Qur'an telah tumbuh di masa Nabi SAW sendiri dan beliaulah permulaan pentafsir ( Al-Mufassir Awwal ) bagi kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang di turunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasulullah tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur'an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur'an.[7]
Al-Qur'an meliputi hukum-hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan manusia di dunia dan di ahirat. Kaum muslimin memahami  ayat-ayat hukum sesuai dengan bahasa arab yang mereka fahami. Jika menghadapi kesulitan, mereka dengan mudah menanyakan dan mengkompromokan penafsiran yang benar kepada Rasulullah SAW.
Penafsiran al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat perlu ketika terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul. Maka segera diperlukan istimbath hukum dari al-Qur'an, jika tidak ada penjelasan hukumnya dalam al-Qur'an segerahlah dicari penjelasanya dalam hadits. Jika dalam hadits pun tidak ada ada penjelasan hukumnya, segera dilakukan ijtihad. Para sahabat tidak selamanya sepakat atas hasil istimbath hukum dikalangan mereka, mereka pun kadang-kadang berbeda pendapat, walaupun dalam kasus yang sama. Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga lahirnya mazhab-mazhab hukum. Pada masa ini banyak kasus-kasus hukum yang timbul dan tidak pernah di jumpai sebelumnya. maka lahirlah tafsir yang di tulis oleh masing –masing madzah hukum .
Ketika tiba masa empat imam Fiqih dan setiap imam membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam mazhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek aspek perbedan pendapat dalam memahami ayat , hal ini di sebabkan perbedaan dari segi dalalahnya, bukan karena fanatisme suatu mazhab melainkan karena setiap ahli Fiqhi berpegang kepada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.[8]
Di dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut mempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini ada yang sangat fanatik, yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang obyektif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan kepentingan mazhab, mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.[9]
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhy
1. Kelebihan Tafsir Fiqhy
Kendatipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
a.  Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syari’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syari’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqaha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun sosial.
b.  Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhabi dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c.  Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri’ al-Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudia kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri’ ats-Tsany ba’da Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
d.  Tafsir fiqhy berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
e.  Tafsir fiqhy kendatipun bergam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelemahan Tafsir Fiqhy
Hasil olah fikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan penafsiran al-Qur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia, maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan fiqhi adalah :
  1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini.
  2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an (penafsiran parsial) padahal al-Qur’an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek  yang membutuhkan pemhaman dan penafsiran secara universal.
  3. Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an (rahmatan li al-’alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhaby.[10]
 Jenis-Jenis Tafsir Al-Qur’an Lewat Pendekatan Fiqhi
Tafsir fiqhy merupakan salah satu corak penafsiran yang sangat dikenal dikalangan umat Islam baik salaf maupun khalaf, perkembangan penafsiran dengan menggunakan pendekatan fiqhi telah ada sejak masa Rasulullah Saw hingga masa perkembangan madzahib al-fiqhiyyah bahkan hingga saat ini.
Kendatipun keberadaan corak penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ini telah ada sejak masa wahyu di turunkan akan tetapi pada perkembangannya telah melalui beberapa tahap dalam beragam bentuk metode penyajiannya. Adapun metode penyajian yang kita kenal saat ini ada empat yaitu; metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi juga menggunakan salah satu metode dari empat metode penyajian di atas, diantaranya adalah :
1.  Tafsir Fiqhy Tahlily : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian tahlily diwakili oleh kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Muhammad bin Jarir ath-thabary yang selanjutnya dikenal dengan Tafsir ath-Thabary, kitab ini merupakan presentasi dari fiqhi asy-Syafi’iyyah meskipun dalam pembahasannya Imam ath-Thabary lebih banyak menggunakan mazhab sendiri ketimbang terkontaminasi dengan madzhab yang sudah ada pada masa itu, kemudian kitab al-Jami’ li ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar al-Qurthuby, kemudian kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibnu al-’Araby yang keduanya merupakan presentasi dari kitab tafsir fiqhy madzhab al-Malikiyyah, kemudian kitab Ahkam al-Qur’an karya Imam Abu Bakar Ahmad bin ar-Razy al-Jashshash yang kemudian dikenal dengan nama Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash yang merupakan presentasi dari kitab fiqhi madzhab al-Hanafiyyah, kemudian kitab fath al-Qadir karya Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany dan kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
2.  Tafsir Fiqhy Ijamly : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an li Asy-Syafi’i yang dikumpulkan oleh Imam al-Baihaqy.
3.  Tafsir Fiqhy Muqaran : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian Muqaran diwakili oleh kitab Tafsir ath-Thabary, Al-Qurthuby , dan Tafsir Ibnu Katsir. Kitab-kitab tafsir tersebut melakukan pendekatan muqaran dalam menguraikan ayat-ayat yang menimbulkan beberapa perselisihan utamnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
4.  Tafsir Fiqhy Maudhu’i : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian Mudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash, kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
5.  Tafsir Fiqhy Tahlily Maudhu’i : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Mudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an karya  al-Jashshash dan kitab Tafsir al-Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaily. Kitab tersebut menguraikan ayat-ayat secara tahlily dengan memberikan tema pada setiap kelompok ayat yang akan ditafsirkan.
6.  Tafsir Fiqhy Tahlily Muqaran : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian Tahlily Muqaran diwakili oleh kitab Tafsir ath-Thabary, Al-Qurthuby , dan Tafsir Ibnu Katsir. Kitab-kitab tersebut menguraikan ayat secara tahlily dengan menguraikan perbandingan-perbandingan antara pendapat para fuqaha’ lalu berusaha mentarjihkan dan atau menkompromikan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya dengan mengacu pada dalil-dalil yang shahih.
7.  Tafsir Fiqhy Tahlily Ijmali : Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan  metode penyajian Tahlily Ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibnu al-’Araby.
Seluruh kitab tafsir yang kami sebutkan di atas hanyalah sebahagian kecil dari kitab-kitab tafsir fiqhy yang menurut kami dapat mewakili seluruh bentuk ragam metode penyajian mulai dari metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i, atau penggambungkan dua metode penyajian dalam satu bagian kerangka metodologi penulisan tafsir yang dimaksudkan untuk dapat memudahkan para mujtahid dan umat Islam secara keseluruhan dalam memahami al-Qur’an secara utuh.
Selain dari jenis dan corak tafsir fiqhy di atas terdapat pula corak tafsir fiqhy yang lain yang disebut dengan istilah Tafsir al-Fqhy al-Haditsiyyah; yaitu penafsiran ayat-ayat ahkam lewat riwayat hadis-hadis Rasulullah Saw atau atsar dari sahabat beliau, corak ini diwakili oleh kitab-kitab hadis seperti Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Jami’ at-Tirmidzy, Sunan Abi Daud, Sunan An-Nasi’i, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak yang didalamnya terdapat satu kitab khusus yaitu kitab at-Tafsir, serta kitab ad-Durru al-Manstur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Imam As-Suyuthy. Tentunya diantara ayat-ayat hukum yang ditafsirkan lewat periwayatan ini jumlahnya lebih sedikit bahkan mayoritasnya lebih kepada penguraian secara khusus tentang sebab turunnya (asbab an-Nuzul) suatu ayat yang berkenaan dengan hukum.[11]





BAB III
PENUTUP
  1. Tafsir lughawi adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an melalui interpretasi semiotik, semantik dan semua hal yang terkait dengan linguistik. Keberadaan tafsir lughawi sudah ada sejak masa Rasulullah, sahabat, khususnya Abdullah bin Abbas, tabi’in dan terus berlanjut dari generasi ke generasi hingga sekarang.
  2. Jenis-jenis tafsir lughawi antara lain tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an, sharaf atau morpologi, munasabah, al-amtsal (alegori), balaghah (ma’any, bayan dan badi’), qir’ah, klasifikasi bahasa, dll. Sedangkan metode yang digunakan dalam penyajiannya hanya terpokus pada dua metode yaitu tahlily dan maudhu’i. Untuk pembahasannya, tafsir lughawi menggunakan empat metodologi yaitu tahlily, ijmaly, muqaran dan maudhu’i.
  3. Peran dan pengaruh tafsir lughawi meliputi berbagai aspek, antara lain aspek hukum (fiqh), theology, filsafat, sufistik dan ilmy (saintifik). Disamping itu, tafsir lughawi memiliki beberapa keistimewaan di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an, mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an, dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi antara lain terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan realitas sosial dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh, dll.
4.      Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan fiqhiyyah atau hukum telah ada sejak masa Rasulullah Saw dan berlanjut ke masa sahabat yang kemudian terjadi perbedaan pemahaman diantara mereka, lalu perbedaan ini terus berlanjut hingga masa tabi’in dan bahkan lebih serius lagi pada masa munculnya madzhab-madzhab fiqhi dan berjubelnya para muqalidin wa al-muntashibin ‘ala al-madzahib al-fiqhiyyah al-mu’ayyanah (para pengikut setia madzhab-madzhab fiqhi tertentu).
5.       Bahwa tafsir fiqhy memilik kelebihan dan kekurangan, diantara kelebihannya adalah; a) Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, b) mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an, c) memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Qur’an dan As-Sunnah, d) berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah, e) memberikan kekayaan khazanah intelektual muslim dunia.
6.      Adapun kelemahannya adalah : a) Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya, b) Tafsir fiqhi hanya melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an yaitu aspek hukum, c) Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkannya pada konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan sifat universal hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an.
7.       Tafsir fiqhy memiliki berbagai macam metode penyajian diantaranya menggunakan metode tahlily, ijmaly, muqaran, mudhu’i, tahlyly maudhu’i dan tahlily muqaran serta tahlily Ijamli

Daftar Pustaka
Ali Hasan Al-Ariadi.Sejarah dan Metodologi Tafsir.Rajawali Pers, Jakarta: 1992.
Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997
Hasby Ash Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
Manna Khalil al-Qattan, "Mabahits fi Ulum al-Qur'an",Mansyurat al-Ashril Hadits, Cet 3 ttp.
Rosihan Anwar, " Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
Syurbasyi, Ahmad. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999.






[1] http://fakhrualbantani.blogspot.com/2011/12/moga-manfaat-partii.html
[2]Ali Hasan Al-Ariadi.Sejarah dan Metodologi Tafsir.Rajawali Pers, Jakarta: 1992.
[3] Ibid .
[4] Syurbasyi, Ahmad. Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1999.
[5] Drs.H.Ahmad Syadali, M.A-Drs.H.Ahmad Rofi’I. Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia.Bandung:1997
[6][6][6] Rosihan Anwar, " Samudera Al-Qur'an ", Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2001
[7] Hasby Ash Shiddieqy, "Ilmu-Ilmu Al-Qur'an Media-media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur'an ",Bulan Bintang, Cet III, Jakarta 1993
[8] Manna Khalil al-Qattan, "Mabahits fi Ulum al-Qur'an",Mansyurat al-Ashril Hadits, Cet 3 ttp.
[9] Ibid
[10] Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Cet. I; Yogyakarta: Nawesea, 2007)
[11] Ibid

Komentar

  1. http://elmayanjy.blogspot.com/: sangat bermanfaat bg... izin buat tugas gan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Lafadz ‘amm dan Khash

Ketersambungan Sanad