Ilmu Kalam Ulama Modern


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka dapat menciptakan senjata-senjata modern. Secara cepat mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam, di pihak lain ummat Muslim sendiri masih tenggelam dalam kebodohan. Akhirnya Inggris dapat merampas India.      
Dibawah kekuasaan Inggris, intelektual kaum Muslim India telah tenggelam sampai ke tingkat yang paling bawah, Sehingga pertarungan antar sesama kelompok Muslim, karena perbedaan paham yang kecil saja telah dipandang sebagai pengabdian yang paling besar.
Mirza Ghulam Ahmad merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim, maka lahirlah Ahmadiyah sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya. Untuk lebih jelasnya kita akan sedikit mengkaji tentang aliran yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi rumusan permasalahan hanya mengenai: Sejarah lahirnya aliran Ahmadiyah yang mencakup latar belakang lahirnya aliran Ahmadiyah, pertumbuhan dan perkembangan sekte Ahmadiyah. Beberapa ajaran pokok dari aliran Ahmadiyah yang meliputi masalah wahyu, nubuwwah, dan masalah jihad.

B. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana sejarah dan pemikiran-pemikiran Aliran Ahmadiyah yang masih ada di Indonesia pada saat ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ahmadiyah

Ahmadiyah adalah sebuah gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India.
Kata ‘Ahmadiyah’ berasal dari kata ‘Ahmad’. Kata ini berbentuk isim alam yang searti dengan kata ‘mahmud’, artinya orang yang terpuji. Menurut Mirza Ghulam Ahmad, kata ‘Ahmad’, lebih berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi SAW itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan kekerasan), sifat ini menurutnya, lebih dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah. Sedang kata ‘Muhammad’ berkaitan dengan sifat jalal atau kebesaran, karena itu Rasulullah dalam menghadapi musuh-musuh beliau dengan cara berperang.
Apabila kata ‘Ahmad’ ditambah dengan “ya” nisbah, maka jadilah kata احمدية . Kata inilah yang dijadikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir abad ke-19.[1] Nama Ahmadiyah dipakai secara resmi sejak 4 November 1900, Ahmadiyah tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran tersebut, akan tetapi menurut Mirza nama itu diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah, tentunya nama tersebut diambil dari Surah As Shaf:6
øŒÎ)ur tA$s% Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒótB ûÓÍ_t6»tƒ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ÎoTÎ) ãAqßu «!$# /ä3øs9Î) $]%Ïd|ÁB $yJÏj9 tû÷üt/ £ytƒ z`ÏB Ïp1uöq­G9$# #MŽÅe³t6ãBur 5AqßtÎ/ ÎAù'tƒ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿôœ$# ßuH÷qr& ( $¬Hs>sù Nèduä!%y` ÏM»oYÉit6ø9$$Î/ (#qä9$s% #x»yd ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÏÈ  
Ayat ini memuat informasi Nabi Isa kepada Bani Israil, bahwa sesudahnya akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya Mirza sendiri kemudian mengklaim nama yang disebutkan dalam As Shaf: 6 tersebut adalah dirinya sendiri yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.

B.  Sejarah Lahirnya Ahmadiyah
1.   Latar Belakang Lahirnya Ahmadiyah
           
Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu.
            Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak barat mulai bangkit menyerang kerajaan tersebut, di abad berikutnya bangsa Eropa didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai penemuan baru, mereka dapat menciptakan senjata-senjata modern. Secara cepat mereka dapat menjarah daerah-daerah Islam, akhirnya Inggris dapat merampas India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa yang lain dapat menjarah daerah-daerah Islam lainnya.
            Maulana Muhammad Ali menggambarkan, Intelektual kaum ulama Islam pada saat itu telah tenggelam sampai ke tingkat yang paling bawah, Sehingga pertarungan antar sesama kelompok Muslim, saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan (bid’ah) karena perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal-hal kecil (furu) dibidang hukum (fiqh), serta penggunaan kata kufr secara sembarangan agak umum terjadi pada saat itu.[2] Demikianlah situasi ummat Muslim dibawah kekuasaan Inggris yang melatarbelakangi munculnya aliran Ahmadiyah. Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai Al Mahdi dan Al Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dan ummat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan tuntutan zamannya.

2.  Pertumbuhan dan Perkembangan Sekte Ahmadiyah

Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab-India. Disitu mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh keluarganya di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Dengan demikian tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris agar mendapat perlindungan, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.
Dalam perjalanan hidupnya, pendiri aliran ini pernah mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian ia meneruskan pendidikannya di kota Batala dekat kota Qadian. Sewaktu mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, Kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868. Disamping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu yang ada ia pergunakan untuk membaca Al Qur’an, ia lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan. Kematian ayahnya merupakan babak baru dalam hidupnya, kini ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap Islam.
Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat, akan tetapi setelah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai Al Masih dan Al mahdi, masyarakat berbalik memusuhinya dan menghinanya.
Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa Al Masih dan Al Mahdi yang dijanjikan kemunculannya pada akhir zaman, keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka.[3]
  Menurut paham pengikut Ahmadiyah, Al Mahdi yang dimaksud dalam Hadits-hadits Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Mekkah atau Madinah, kalau pun Al Mahdi itu berasal dari Ahlul Bait, maka tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah dengan Nabi,  akan tetapi boleh jadi ia seorang yang shaleh, taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh Salman Al Farisi sebagaimana diisyaratkan Hadits Nabi dalam Al Jami’us Sagir:
سلمان منااهل البيت  Salman termasuk (keluarga) kami Ahlul Bait”.
            Ahmadiyah cenderung menolak Hadits-hadits  Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Syi’ah.
Pertumbuhan dan perkembangan  Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase menghadapi ujian, dan fase perpecahan dan pengembangan.
a.Fase Kebangkitan (1880-1900)
Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu ia juga mulai berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan dikalangan masyarakat. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam hubungan ini, Al Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka, ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasan akan kebenaran apa yang diyakininya itu.
Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan  menyatakan dirinya dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai’at dari jamaatnya. Dengan cara ini rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Sesudah diadakan pembai’atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.[4]
Pengakuan sebagai Al Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan Al Masih  yang menerima wahyu secara berkesinambungan oleh Mirza membuat ummat Islam gelisah, sehingga ia dan pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid’ah dan mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.
Dari kenyataan di atas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum Misionaris Kristen dan para propagandis Hindu.
b.Fase Menghadapi Ujian (1900-1908)
Aliran ini secara terang-terangan mulai mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan menghormatinya layaknya seorang rasul Tuhan, al Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi Abd al Karim menyatakan dalam khutbah Jum’atnya sebagai berikut:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada  Al Masihul-Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah.”
Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi seperti yang didakwahkan oleh Muballignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak tentang “nabi” yang dimaksud.
Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai Al Masih dan Al Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Khrisna.[5]
Disamping keberhasilan yang diraih juga tidak ringan ujian yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan yang datang dari intern ummat Islam dikarenakan pembaharuan yang dilakukan oleh Mirza sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit untuk dapat diterima oleh mayoritas ummat Muslim. Akibat perbedaaan tersebut timbullah permusuhan dan fitnah, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non Ahmadiyah. Kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu nampaknya tidak mendapat pembelaan dari siapa pun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dituntut pengadilan. Akan tetapi mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang melanda.
c. Fase Perpecahan dan Pengembangan (1908-1924)
Sebelum Mirza meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1908, ia berwasiat supaya kepemimpinan Jemaah Ahmadiyah diserahkan kepada sebuah majelis Ahmadiyah, dan majelis itulah yang akan memilih penggantinya untuk menjadi pemimpin spiritual. Khalifah pertama sepeninggalnya adalah Maula Nuruddin.[6] Selama kepemimpinannya, Ahmadiyah telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal dalam ummat Islam secara luas. Akan tetapi bibit perpecahan dikalangan pengikutnya mulai tampak, yaitu munculnya dua golongan yang pemikirannya bertolak belakang.
Golongan pertama adalah golongan yang mempertahankan keyakinannya, yaitu barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai Al Masih dan Al Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu dihukumi kafir dan keluar dari Islam.
Golongan kedua adalah golongan yang berpendapat bahwa setiap orang yang telah mengucap dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia mengingkari kerasulan Nabi Muhammad.
Sejak munculnya dua pendapat yang kontroversial dari intern Ahmadiyah ini, maka di tahun 1914 sesudah Maulawi Nuruddin wafat, dan digantikan oleh Basyiruddin Mahmud, terpecahlah Aliran ini menjadi dua sekte, sekte Ahmadiyah Qadiani dan Lahore.
1. Ahmadiyah Qadiani
Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud, dalam ajarannya sekte Ahmadiyah Qadiyani ini mencela Muslim lain sebagai kafir jika tidak mempercayai kenabian Mirza, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah SAW wafat, kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi ajarannya.
2. Ahmadiyah Lahore
Ahmadiyah Lahore disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad Ali, lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore. Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah, sebab golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai Al Masih dan Al Mahdi serta sebagai Mujaddid.
Ahmadiyah telah menghadapi perpecahan yang tak mungkin lagi dihindarkan dan sulit dipersatukan kembali, akan tetapi sekte-sekte Ahmadiyah yang telah terpecah, baik Qadiani maupun Lahore sangat aktif dan insentif merealisasikan ide-ide mereka, terutama dikalangan masyarakat Kristen Barat. Mereka mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan Al Qur’an kedalam bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore dibawah pimpinan Maulawi Muhammad Ali menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or  The True Islam.[7]
Disamping itu, Gerakan Ahmadiyah juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kegiatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang muballignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadiani menyusul, dibawa oleh seorang muballignya Rahmad Ali H. A. O. T. Dan mulai berdakwah di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat.

C. Ajaran Pokok Ahmadiyah
1. Masalah Wahyu
Munculnya Ahmadiyah tidak saja membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan pengikut Ahmadiyah sendiri, menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wahyu tasyri atau wahyu syariat bukan wahyu mutlaq, mereka beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad diangkat Tuhan sebagai Al Masih atau Al Mahdi melalui ilham yang diterimanya
Al Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran anggapan tersebut, lalu digunakanlah Istilah wahyu gair tasyri, wahyu walayah, dan lain sebagainya.
Wahyu-wahyu yang diterima oleh Al Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah rusak, telah dihimpunkannya sendiri menjadi 80 buah kitab lebih, yang kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah, isi kandungannya adalah merupakan penjelasan maksud Al Qur’an yang mencakup bidang ibadah, muamalah, dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan pedoman oleh  jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap telah menyimpang dari prinsip Islam.[8]
Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa petunjuk yang diterimanya itu ilham, artinya tidak tenggelam dalam anggapan pengikutnya yang menilai petunjuknya tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu ajaran Mirza yang menyatakan bahwa Isa AS benar-benar disalib di tiang salib, sekalipun Nabi Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat dengan kepercayaan orang Nasrani daripada pernyataan Al Qur’an yang menegaskan bahwa Nabi Isa tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib itu adalah seseorang yang diserupakan dengan Nabi Isa. Sebagaimana dalam firman Allah:
NÎgÏ9öqs%ur $¯RÎ) $uZù=tGs% yxÅ¡pRùQ$# Ó|¤ŠÏã tûøó$# zNtƒótB tAqßu «!$# $tBur çnqè=tFs% $tBur çnqç7n=|¹ `Å3»s9ur tmÎm7ä© öNçlm; 4 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Å"s9 7e7x© çm÷ZÏiB 4 $tB Mçlm; ¾ÏmÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ žwÎ) tí$t7Ïo?$# Çd`©à9$# 4 $tBur çnqè=tFs% $KZŠÉ)tƒ ÇÊÎÐÈ
Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai makam Nabi Isa, telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan, dan pendirian Mirza tentang penyaliban Nabi Isa yang berlawanan dengan pernyataan Al Qur’an tampaknya didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk menyatukan antara paham Islam dengan paham Nasrani, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima wahyu kemahdiannya.

2. Masalah Nubuwwat atau Kenabian dan Khatamul Anbiya

Dalam masalah yang kedua ini, terjadi perbedaan yang mendasar antara sekte Qadiani dan Lahore. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri’iyah (kenabian yang membawa syariat), dan kedua adalah Nubuwwah Gair Tasyri’iyyah (kenabian tanpa membawa syariat). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian yang mandiri) dan Nubuwwah Gair Mustaqillah (kenabian yang tidak mandiri).[9]
Sekte Qadiani memandang Al Mahdi al Mau’ud (yang dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Menurut sekte ini, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan nabi yang lain. Sedangkan sekte Lahore memandangnya sebagai Al Mahdi, Al Masih dan Mujaddid, mereka menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya hanyalah wahyu walayah (kewalian),  wahyu inilah yang masih terbuka menurut paham mereka. Meskipun berbeda, paham kedua aliran tersebut terdapat persamaan yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri’i dan nabi mustaqil sesudah nabi Muhammad SAW.
Adapun mengenai Khatamul Anbiya atau penutup para nabi, golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan paham Sunni, mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup sekalian nabi, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab: 40
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ  
Sekte Qadiani meyakini bahwa Mirza adalah nabi yang harus ditaati ajarannya-ajarannya. Oleh sebab itu, kata “Khatam an-Nabiyyin” mereka artikan sebagai nabi yang paling mulia dan paling sempurna dari sekalian para nabi, tetapi bukan sebagai penutup para nabi. Selanjutnya mereka memajukan argumen bahwa kata  النبيين  خاتم  , menurut bahasa Arab, apabila kata خاتم dirangkai dengan kata berikutnya yang berbentuk jamak adalah mempunyai arti pujian seperti mulia, utama, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, mereka mengemukakan sabda Nabi yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib:
أنا خاتم الأنبياء وأنت يا علي خاتم الأولياء
“Aku Muhammad adalah Khatam (semulia-mulia) para nabi dan engkau Ali adalah Khatam  (semulia-mulia) para wali.”
3. Masalah Jihad
Sebagaimana diketahui, jihad dalam Islam yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya adalah berperang di jalan Allah untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam, sebagai suatu alternatif untuk membela atau mempertahankan diri. Akan tetapi para Orientalis Barat menyelewengkan pengertian jihad tersebut untuk merusak citra Islam. Dua macam jihad dalam Islam dikenal dengan Jihadul Asgar (جهاد الأصغر) atau jihad kecil yaitu berperang melawan musuh, dan Jihadul Akbar (  جهاد الأكبر  ) atau Jihad paling besar, yaitu berperang melawan hawa nafsu.[10]
Selain dua macam diatas, menurut Ahmadiyah masih ada satu lagi jihad yang diistilahkan dengan Jihadul Kabir (جهاد الكبير )   atau jihad besar, seperti tablig dan dakwah, pendiri aliran ini menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kemahdian serta dalam mencapai tujuan yakni menghidupkan ajaran Islam dan mengembangkannya guna meraih kejayaan dan wibawa Islam di seantero dunia harus ditempuh dengan jalan damai, bukan dengan jalan kekerasan atau dengan mengangkat senjata. Cara-cara seperti ini menurut Ahmadiyah adalah mencontoh cara-cara Nabi Isa.
Kehadiran Al Mahdi ke dunia untuk menyebarkan Islam dengan pedang, dalam pandangan Ahmadiyah adalah sangat keliru bahkan harus diberantas. Sebab cara demikian tidak cocok dengan nama Islam itu sendiri sebagai agama perdamaian. Islam tidak pernah  menggunakan kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan kemenangan spiritualnya,dan oleh karena itu, Mirza merasa telah menerima keterangan dari Tuhan, bahwa kehadiran Al Mahdi yang menghunus pedang untuk memerangi kaum kafir dan memaksa mereka untuk masuk Islam, sama sekali tidak pernah disebutkan dalam wahyu yang diterimanya.
Pembaharuan dengan makna jihad dalam misi kemahdian Mirza, tampanya justru menambah keyakinan Muslim non Ahmadiyah, bahwa kaum Qadiani telah menjadi alat pemerintah Inggris untuk memecah belah kesatuan ummat Islam. Oleh karena itu, pemerintah Inggris di India tetap memberi hak hidup sekte ini untuk berkiprah dan memberikan jaminan keamanan mereka.
Akhirnya tiga persoalan yakni  masalah wahyu, kenabian, dan masalah jihad merupakan identitas misi Ahmadiyah, juga merupakan salah satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan yang hebat antar sesama ummat Muslim. Sehingga tidak mustahil dampak negatif ini dimanfaaatkan oleh pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India. [11]






BAB III

KESIMPULAN

Ahmadiyah adalah sebuah gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India.
Kata ‘Ahmadiyah’ berasal dari kata ‘Ahmad‘. Kata ini berbentuk isim alam yang searti dengan kata ‘mahmud’, artinya orang yang terpuji. Namun menurut Mirza Ghulam Ahmad, kata ‘Ahmad’, lebih berkonotasi dengan sifat jamal atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi SAW itu menyebarkan kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan kekerasan).
Kemunculan Ahmadiyah tidak terlepas dari situasi dan kondisi ummat Muslim sendiri pada saat itu. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat, akan tetapi setelah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai Al Masih dan Al mahdi, masyarakat berbalik memusuhinya dan menghinanya.
Secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah Aliran ini menjadi dua sekte, sekte Ahmadiyah Qadiani dan Lahore.
Ahmadiyah Qadiani berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi ajarannya, sedangkan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai Al Masih dan Al Mahdi serta sebagai Mujaddid.
Tiga persoalan yakni masalah wahyu, kenabian, dan masalah jihad merupakan identitas misi Ahmadiyah, juga merupakan salah satu faktor timbulnya perselisihan dan permusuhan yang hebat antar sesama ummat Muslim. Sehingga tidak mustahil dampak negatif ini dimanfaaatkan oleh pemerintah Inggris untuk mengokohkan kekuasaannya di India.


Daftar Pustaka

Fathoni, Muslih, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1996.
Iqbal, Sir Muhammad, Islam dan Ahmadiyah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991.




[1] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) hal. 16

[2] Sir Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyah ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991 ) hal. 10
[3] Muslih Fathoni, Op.Cit, hal. 56
[4] Ibid, hal. 60
[5] Ibid, hal. 63
[6] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1996), hal. 272

[7] Muslih Fathoni, Op.Cit, hal. 69
[8] Ibid, hal. 72
[9] Ibid, hal. 75
[10] Ibid, hal. 80
[11] Ibid, hal. 82

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah