Ariyah dan Ijarah
‘ARIYAH
A. Pengertian
Pinjaman atau
ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada
orang lain dengan tanpa ganti.
Jadi, yang
dimaksud dengan ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang
kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau
ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum Ariyah
Menurut Sayyid
Sabiq, tolong-menolong (ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal
Islam.
C. Rukun dan Syarat Ariyah
Menurut
Hanafiyah, rukun ariyah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.
Menurut
Syafi’iyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut.
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya
utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku
berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat
benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir
yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
·
Baligh, maka batal ariyah
yang dilakukan anak kecil atau shabiy;
·
Berakal, maka batal ariyah
yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
·
Orang tersebut tidak
dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ariyah yang dilakukan oleh orang
yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua
hal, yaitu:
·
Materi yang dipinjamkan dapat
dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang materinya tidak dapat digunakan,
seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimpan padi;
·
Pemanfaatan itu dibolehkan,
maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’,
seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang
yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjaman memiliki utang
kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga
termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa.
E. MeminjamPinjaman dan menyewakannya
Abu Hanifah dan
Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada
orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk
hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab
Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam
suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian
rusak di tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang
diantara keduanya.dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang meminta
jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam
telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena
yang lainnya.
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa
hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang
nilai-nilai sopan santun yang terkait didalamnya, ialah sebagai berikut.
a. Sesuai dengan QS Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan
dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki
atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang
mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/ mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada
pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang
berpiutanghendaknya membebaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman,
hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman
berarti berbuat zalim.
IJARAH
A. Pengertian
Idris berpendapat bahwa ijarah erarti upah
–mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat
upah-mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang
menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebaai penerjemah fiqih sunnah
karya sayyid sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Antara sewa dan
upah jugaada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,
seperti ‘seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”,
sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti, “ para karyawan bekerja
dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa arab
upah dan sewa disebut ijarah.
Al-ijarah
berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti
menurut bahasanya ialah al-iwadhnyang arti dalam bahasa indonesianya ialah
ganti dan upah.
B. Dasar Hukum Ijarah
Dasar hukum
atau rujukan ijarah adalah Al Quran, Al-Sunnah dan Al ijma.
Landasan
ijmanya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah
kesepakatan (ijma’) ini, sekalipunada beberapa orang diantara mereka yang
berbeda pendapat,tetapi hal itu tidak dianggap.
C. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa
menyewa atau upah mengupah.
2. Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’ir, ijab Kabul sewa
menyewa dan upah-mengupah.
3. Ijrah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak,
baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
4. Barang yang disewakan atau sesuayu yang dikerjakan dalam upah
mengupah memiliki syarat.
D. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah
jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah
satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati
hal-hal yang mewajibkan fasakh.
E. Pengembalian Sewaan
Kata ijarah
telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang
itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika
bentuk barang sewaan adalah benda tetap (iqar), ia wajib menyerahkan kembali
dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada
pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman. Kecuali bila ada kesulitan untuk
menghilangkannya.
Mazhab Hanbali
berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang
sewaaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerah terimakannya,
seperti barang titipan.[1]
Daftar
Pustaka
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat,PT
Raja Grafindo, hal .91-121
PINJAMAN(ARIYAH)
A.Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
- baligh
- berakal
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
- Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasul bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.[2]
A.Pengertian
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:
“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. menurut malikiyah, ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:
“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”
(Riwayat Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
- baligh
- berakal
orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
- Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasul bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”
(Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulullah Saw. Bersabda:
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”
(Dikeluarkan ai-Daruquthin)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.[2]
Tanggal 25-09-2011 23:59:08
Ijarah (Sewa Menyewa dan Upah Mengupah)
A. Pengertian
1. Menurut
bahasa (etimologi)
Ijarah adalah 丕賱賲賳賮毓丞 亘賷毓 (menjual manfaat).
2. Menurut
syara’ (terminologi)
a. Ulama Hanafiyah :
‘aqdun
‘alal manaafi’i bi ‘audhin, artinya “akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti”.
(Alauddin
al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 174)
b. Ulama Syafi’iyah :
“Akad
atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.
(Muhammad
asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)
c. Ulama Malikiyah (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4,
hal. 2) dan Hanabilah (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 398):
“Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, ijarah adalah
menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa menyewa dan
upah mengupah.
Sewa menyewa adalah 丕賱賲賳賮毓丞 亘賷毓 (menjual manfaat) dan upah mengupah adalah 亘賷毓
丕賱賯賵 賴 (menjual tenaga
atau kekuatan).
Sewa
digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal”.
Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja di toko
dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah.
B. Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman,
兀َ賴ُ賲ْ 賷َ賯ْ爻ِ賲ُ賵賳َ 乇َ丨ْ賲َ丞َ 乇َ亘ِّ賰َ
賳َ丨ْ賳ُ 賯َ爻َ賲ْ賳َ丕 亘َ賷ْ賳َ賴ُ賲 賲َّ毓ِ賷卮َ鬲َ賴ُ賲ْ 賮ِ賷 丕賱ْ丨َ賷َ丕丞ِ 丕賱丿ُّ賳ْ賷َ丕 賵َ乇َ賮َ毓ْ賳َ丕
亘َ毓ْ囟َ賴ُ賲ْ 賮َ賵ْ賯َ 亘َ毓ْ囟ٍ 丿َ乇َ噩َ丕鬲ٍ 賱ِ賷َ鬲َّ禺ِ匕َ 亘َ毓ْ囟ُ賴ُ賲 亘َ毓ْ囟ً丕 爻ُ禺ْ乇ِ賷ًّ丕
賵َ乇َ丨ْ賲َ鬲ُ 乇َ亘ِّ賰َ 禺َ賷ْ乇ٌ 賲ِّ賲َّ丕 賷َ噩ْ賲َ毓ُ賵賳َ
“Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf 43 : 32)
2. As-Sunnah
Dahulu
kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya
dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
3. Ijma
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam
Islam.
C. Rukun
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.
Adapun
menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu :
1. ‘Aqid (orang
yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau memberikan upah)
dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu
ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih
(Manfaat/barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)
D. Syarat
Syarat ijarah adalah sebagai berikut :
1. Mu’jir dan musta’jir
Menurut
ulama Hanafiyah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz (sudah bisa membedakan antara haq dan bathil/minimal 7 tahun),
tidak disyaratkan harus baligh.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian akad mumayyiz adalah
sah tetapi harus ada keridhaan walinya. (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal.
3)
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan aqid harus mukallaf yaitu baligh dan
berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad.
(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)
Syarat
yang lain adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan
adanya keridhaan dari kedua belah pihak (aqid) karena ijarah
dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. (Alauddin
al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syura’i, Juz 4, hal. 179)
Allah
Swt berfirman,
賷َ丕 兀َ賷ُّ賴َ丕 丕賱َّ匕ِ賷賳َ 丌賲َ賳ُ賵丕ْ 賱丕َ
鬲َ兀ْ賰ُ賱ُ賵丕ْ 兀َ賲ْ賵َ丕賱َ賰ُ賲ْ 亘َ賷ْ賳َ賰ُ賲ْ 亘ِ丕賱ْ亘َ丕胤ِ賱ِ 廿ِ賱丕َّ 兀َ賳 鬲َ賰ُ賵賳َ 鬲ِ噩َ丕乇َ丞ً
毓َ賳 鬲َ乇َ丕囟ٍ 賲ِّ賳賰ُ賲ْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An
Nisaa' 4 : 29)
Bagi
aqid juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna
sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2. Shighat ijab kabul
Shighat
ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir. Ijab kabul sewa menyewa atau upah
mengupah. Ijab kabul sewa menyewa misalnya mu’jir berkata, “Aku sewakan motor
ini kepadamu 1 dirham per hari” maka musta’jir menjawab, “Aku terima sewa motor
tersebut dengan harga 1 dirham per hari”.
Ijab
kabul upah mengupah misalnya mu’jir berkata, “Kuserahkan kebun ini untuk
dicangkuli dengan upah 1 dirham per hari” kemudian musta’jir menjawab, “Aku
akan lakukan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
3. Ujrah (upah)
Para
ulama telah menetapkan syarat upah :
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh
kedua belah pihak
b. Tidak boleh sejenis dengan barang
manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut
Dahulu
kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya
dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sebaiknya
upah diberikan per hari sesuai dengan hadits Rasulullah Saw bersabda,
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu
Majah)
4. Ma’qud ‘alaih (barang/manfaat)
- Syarat barang dalam sewa menyewa :
a. Barang harus dimiliki oleh aqid atau ia
memiliki kekuasaan penuh untuk akad
Dengan
demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan
adanya ijarah.
b. Adanya penjelasan manfaat
Penjelasan
dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah dengan berkata,
“Saya sewakan salah satu dari rumah ini” karena tidak jelas.
c. Adanya penjelasan waktu
Jumhur
ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan
selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang
mengharuskan untuk membatasinya. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,
Juz 2, hal. 349)
E. Pembagian Jenis
Ijarah terbagi 2 yaitu :
1. Ijarah terhadap benda atau
sewa menyewa
2. Ijarah atas pekerjaan atau
upah mengupah
F. Hukum
Ijarah
1. Hukum
sewa menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar dan
lain-lain tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah
(sewa menyewa) :
a. Barang
sewa diberikan setelah akad
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang
sewaan) harus diberikan setelah akad.
b. Cara
memanfaatkan barang sewaan
- Sewa
rumah
Jika
seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya,
baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain bahkan boleh disewakan lagi
atau dipinjamkan pada orang lain.
- Sewa
tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang
akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak
dijelaskan, ijarah dipandang rusak.
- Sewa
kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus dijelaskan salah satu diantara 2 hal yaitu waktu dan tempat. Juga harus
dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c. Perbaikan
barang sewaan
Menurut
ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau
dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya
tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk memperbaiki barangnya sendiri.
Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan
upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah
atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d. Kewajiban
penyewa setelah masa sewa habis
Di
antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah : (Alauddin al-Kasani, Badai’
ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 209)
- Menyerahkan
kunci, jika yang disewa rumah
- Jika
yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya
2. Hukum
upah mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal yakni jual
beli jasa. Contohnya seperti jasa menjahit pakaian, membangun rumah dan
lain-lain.
Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Ijarah
khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya,
orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah
memberinya upah
b. Ijarah
Musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui
kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan
pada 3 perkara :
- Mensyaratkan
upah untuk dipercepat dalam zat akad
- Mempercepat
tanpa adanya syarat
Paguyuban Pedagang Pasar
Islam
Daftar Pustaka
Www.Blog Pasar Islam Open Market With Fair Trade.Com
Www.Blog.Edy Santoso.html.Com
PINJAMAN THERESA
BalasHapusKami saat ini menyediakan pinjaman untuk taruhan Asia Tengah, Amerika, dunia liar
negara, dll. @ 2% Suku Bunga tanpa PENGENDALIAN KREDIT dari USD5000, hingga miliaran dolar selama 12-144 Bulan.
Remunerasi Pinjaman kami dimulai dalam 3 bulan setelah penerima menerima pinjaman pada hari persetujuan dan kami menawarkan variasi
pinjaman, termasuk:
* Konsolidasi hutang
* Pinjaman Bisnis
* Pinjaman pribadi
* Kredit Pemilikan Rumah
* Kredit Pembiayaan Mobil
✔. Daftar hitam bisa berlaku
✔. TANPA CHECK KREDIT
✔. Tinjauan hutang atau perintah pengadilan mungkin berlaku
✔.ETC dapat diterapkan.
Pinjaman Tunai Theresa Perusahaan ini adalah a
film pinjaman terdaftar dan resmi dan kami menawarkan pinjaman kepada semua warga yang masuk daftar hitam, TANPA PERIKSA KREDIT.
Ajukan sekarang dengan nomor ponsel Anda, nomor ID, nama lengkap, jumlah pinjaman dan periode pinjaman ke Email
: Theresaloancompany@gmail.com nomor kantor ++ 12817208403
Untuk kejelasan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami atau WhatsApp (+12817208403).
Salam Hormat,
Ada
Pengiklan Pinjaman (Pr),
Pinjaman theresa 馃摡