Upaya Hukum
UPAYA-UPAYA
HUKUM
1. PENGERTIAN UPAYA HUKUM
Adapun pengertian upaya
hukum itu ialah suatu upaya yang diberikan kepada seseorang untuk sesuatu hal
tertentu yang melawan keputusan Hakim. Bahwa keputusan Hakim tersebut tidak
luput dari kekeliruan ataupun kekhilafan dan bahkan sudah barang tentu bersifat
memihak, maka dari itu demi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan setiap
keputusan hakim tersebut perlu dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang
sehingga kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dalam keputusan itu dapat
diperbaiki menurut semesti-nya. Jadi pada setiap keputusan Hakim pada umumnya
dapat diberikan upaya hukum, yakni upaya atau alat untuk mencegah atau
mem-perbaiki kekeliruan dalam suatu keputusaf? tersebut.
2. DALAM HUKUM ACARA PERDATA DIKENAL ADANYA 2
MACAM UPAYA HUKUM
a. Upaya hukum biasa ialah perlawanan terhadap
putusan perstele, banding, dan kasasi upaya hukum ini pada umumnya adalah
61
MitMiiHiHUtilikfln
pelaksanaan putusan, kecuali apabila putusan terwluil dljatuhkan dengan
ketentuan didasarkan Pasal 180 HIR. |i. llpityn hnkum luar biasa adalah terjadi
perlawanan pada pihak i. »• r ■» dan dalam peninjauan
kembali (raquest civil). Adapun ■ i| '.m .1
hukum luar biasa ini tidak menangguhkan eksekusi.
1)1 antaranya upaya
hukum luar biasa adalah perlawanan dari pihak ketiga, yaitu orang yang semula
bukan pihak yang bersangkutan tlalam berperkara dan hanya karena ia merasa
berkepentingan, oleh karena ia merasa mengenai barang yang dipersengketakan
atau barang yang sedang disita dalam perkara itu sebenarnya bukan kepunyaan
dari tergugat, tetapi adalah milik ketiga.
Dari kenyataan tersebut
di atas terdapat 2 (dua) macam perlawanan dari pihak ketiga yaitu:
a. Perlawanan pihak ketiga mengenai
eksekutorial.
b. Perlawanan pihak ketiga mengenai sita
jaminan.
Selain ini pula
perlawanan yang lain, yaitu perlawanan dari orang yang kena sita terhadap
penyitaan, umpamanya karena terlalu banyak barang yang disita atau karena
adanya penyitaan yang keliru. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita
eksekutorial dicantumkan dalam Pasal 208 HIR jo. Pasal 207 HIR sedangkan
perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan tidak diatur dalam HIR tetapi
biasa diterima dalam praktek. Selanjutnya, bahwa perlawanan pihak ketiga
terhadap sita conservatoir harus diperkenankan, karena dibutuhkan dalam
praktek.
Bahwa dengan adanya
kemungkinan sita revindicatoir, maka pihak ketiga merasa haknya/kepentingannya
dirugikan dan karenanya ia mohon supaya sita revindicatoir itu diangkat.
Pada prinsipnya semua
perlawanan pihak ketiga pada umumnya didasarkan pada hak milik, yakni bahwa
barang yang disita itu sebenarnya ialah milik orang lain (pihak ketiga).
Bahwa yang harus
dibuktikan dalam perkara tersebut ialah bahwa pihak ketiga itu ialah benar
pemilik dari salah satu barang yang disita itu atau seluruh barang-barang itu.
Jika ia adalah benar
pemilik barang tersebut, maka terhadap ba-
62
rang itu, akan
diperintahkan untuk diangkat. Bila ia dapat membuk* tikan bahwa semua
barang-barang yang telah disita itu adalah milik* nya maka sita keseluruhannya
akan diperintahkan untuk diangkat.
Demikian pula
sebaliknya, bila pelawan tidak dapat membuk-tikan hak miliknya itu, maka sita
dipertahankan.
Kemudian perlawanan
pihak ketiga yang diajukan oleh istri tergugat semula atas dasar bahwa barang
yang disita atas dasar bahwa barang yang disita untuk pembayaran utang
suaminya, adalah barang gono gini antara pelawan dan terlawan tersita tidak
dapat dibenarkan dan ditolak karena harta gono gini bisa dipertanggung-jawabkan
untuk utang keluarganya (suami/istri).
Bahwa apabila barang
tersebut adalah harta asal istrinya ia dapat membuktikan, barang tersebut
adalah benar barang asalnya maka perlawanan yang diajukannya akan berhasil.
Seterusnya dapat pula
dikemukakan di sini, seluruh barang yang diperoleh dalam perkawinan, siapa pun
yang membelinya, adalah harta gono gini. Juga umpamanya jika suami hanya pandai
tukang urut saja dan istri yang senantiasa mencari nafkah dengan berjualan
kecil-kecilan, maka harta tersebut merupakan harta gono gini keluarga yang
bersangkutan.
Dalam masyarakat Jawa
Barat sering terjadi utang piutang dengan jaminan tanah atau sawah. Jika pihak
kedua tidak membayar utang terhadap pihak pertama pada waktunya yang
ditentukan, maka rumah atau tanah tersebut di atas menjadi milik pihak pertama.
Bagaimana pula halnya
jika pihak yang berutang ini pada waktunya tidak membayar utangnya, rumah atau
tanah tersebut menjadi milik dari orang yang mempunyai uang bahwa rumah atau
tanah tersebut masih berstatus sebagai jaminan (borg).
Untuk menjadikan rumah
atau tanah itu hak milik pertama, maka masih diperlukan suatu perjanjian lagi,
umpamanya kedua belah pihak pergi ke pejabat pembuat akta tanah untuk melakukan
jual beli rumah atau tanah yang dimaksud.
Bila sudah dilakukan tindakan
demikian, barulah rumah atau tanah tersebut dapat dikatakan adalah hak miliknya
yang mempunyai uang.
Dalam perbuatan demikian
memang sudah sesuai menurul keten-
63
tUUtt hltMitit ppi'ilala
dan Hakim dalam melakukan tugasnya di Penga-iIUnii
Nugfil (tenantiasa memberikan keadilan pada para pihak yang
|
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
|
|
|||
BAB
IX
|
|
|
||
BANDING
|
|
|
||
1. PROSES DAN TATA CARA BANDING (APED
Salah satu daripada
upaya hukum ialah Banding (Apel). Oleh karena lembaga banding tersebut diadakan
oleh pembuat undang-undang (Wet gever) disangsikan bahwa Hakim adalah manusia
biasa, sudah barang tentu kemungkinan membuat kesalahan dalam menja-tuhkan
suatu putusan perkara. Oleh karenanya dapat dibuka kesem-patan bagi yang kalah
untuk melakukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi setempat.
Apabila dilakukannya
permohonan banding itu, maka perkara tersebut akan menjadi mudah lagi
seolah-olah belum ada putusannya sama sekali dengan kata lain belum mempunyai
keputusan yang tepat dan pasti (In kracht van gewysde).
Bahwa berkas perkara
yang bersangkutan berikut salinan resmi keputusan tersebut beserta surat-surat
yang berhubungan dengan perkara itu dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi
setempat untuk diadakan pemeriksaan dan untuk diputus kembali.
2. PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING
Adapun pemeriksaan itu
dilakukan terhadap surat-surat yang
65
Rdl
huhuHRrtitnyn dengan berkas perkara tersebut dan jarang
sekali itrjftdi, linhwii orang yang bersangkutan diperiksa, yaitu yang
{MfMIHrtktMt (H-nggugat dan tergugat selanjutnya diperiksa,lagi oleh
Pwigfldilnn Tinggi. Hal tersebut hanya dilakukan jika Pengadilan Tinggi
menganggap, bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dpngan menjatuhkan
putusan sela dengan tujuan untuk menyempur-nukrtn pemeriksaan perkara
tersebut._
I'ada umumnya apabila
dilakukan pemeriksaan tambahan berda-mirkan putusan sela Pengadilan Tinggi
tersebut, maka pemeriksaan dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pengadilan Tinggi dalam tahap banding ini akan meneliti apakah pemeriksaan
perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh
undang-undang dengan cukup teliti dan selanjutnya akan diperiksa kembali apakah
putusan sudah dijatuhkan oleh Hakim pertama dalam Pengadilan Negeri yang
bersangkutan telah tepat dan benar atau putusan itu adalah salah sama sekali
atau kurang tepat.
—Apabila putusan tersebut dianggap sudah benar, maka putusan
Pengadilan itu akan dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Jika putusan Pengadilan
Negeri tersebut dianggap salah maka keputusan Pengadilan Negeri itu dianggap
salah, maka putusan Pengadilan Negeri itu akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi dengan memberikan keputusan sendiri, karena dianggap putusan tersebut
kurang tepat, sehingga putusan itu harus diperbaiki sebagaimana mestinya.
Sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, bahwa adakalanya pemeriksaan perkara dianggap kurang lengkap
sehingga perlu dilengkapi. Dalam hal ini berkas perkara akan dikirim kembali
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk dilengkapi dengan tambahan
bukti baru atau Pengadilan Tinggi akan melakukan pemeriksaan tambahan sendiri.
Untuk dapat
memerintahkan hal itu dibuat suatu putusan sela dengan menjelaskan hal-hal yang
dianggap kurang tepat dalam keputusan Pengadilan Negeri dan perlu mengadakan
tambahan pemeriksaannya serta selanjutnya disampaikan kembali kepada Pengadilan
Tinggi yang bersangkutan guna untuk
dilakukan
M.
pembuatan keputusan
dengan keputusan sendiri.
Oleh karena pada saat
ini tidak ada dilakukan gugatan yang menyangkut nilai uang yang kurang dari 100
rupiah, maka dnpnt dikatakan bahwa hampir semua keputusan Pengadilan Negeri
dapat diajukan permohonan banding.
Terhadap perkataan
keputusan: yang diartikan hanya terhadap keputusan Pengadilan Negeri dapat
diajukan permohonan banding dan perkataan ini meliputi penetapan berupa
keputusan declaratoir yang ditetapkan Hakim Pengadilan Negeri atas suatu surat
permohonan seperti penetapan wali, penetapan ahli waris. Bahwa terhadap
penetapan ini tidak dapat diajukan permohonan banding melainkan yang bersangkutan
harus langsung mengajukan permohonan kasasi.
Bila seseorang hendak
mengajukan permohonan untuk diangkal menjadi wali atau memohon kepada
Pengadilan Negeri supaya seseorang dapat ditetapkan sebagai anak angkatnya, di
mana permohonan yang dimaksud ditolak oleh Pengadilan Negeri makn yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan kasasi dan bukan mengajukan permohonan
banding.
Permohonan banding dapat
diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara dan ini berarti bahwa pihak yang
kalah dengan keputusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan permohonan banding.
Dalam hal gugatan dikabulkan sebagian dan untuk bagian yang lain atau
selebihnya ditolak atau dalam hal sudah diajukan gugatan balasan, baik gugatan
asal maupun penggugat balik. Apabila kedua gugatan tersebut dikabulkan atau
ditolak maka kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan banding dengan kata
lain permohonan banding diajukan oleh salah satu pihak dan tidak menutup
kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan banding pula.
*T3ahwa yang dapat
mengajukan permohoiian banding ialah para pihak yang berperkara sesuai dengan
Pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947, Pasal 199 R.Bg. dan Pasal 19 UU No. 14 Tahun
1970. Bantling merupakan upaya hukum untuk memperoleh perbaikan pilhlMn yang
lebih menguntungkan dan bahwa banding tidak (U'laynknya diadakan bagi pihak
yang menang melainkan banding hanya
67
dlpffUlHukkrtii bagi
pihak yang kalah atau para pihak yang merasa dlltiglkau di Pengadilan Negeri.
Sesuai pula dengan keputusan Mrthkritnah Agung tanggal 2 Desember 1975, yang
menyatakan bahwa pyriiuiluuuin banding itu terbatas pada Pengadilan Negeri yang
ttjpmglkan pihak yang menyatakan banding. Jadi pada hakikatnya bahwa keputusan
Pengadilan Negeri tidak menguntungkan bagi pihak yang mengaju banding.
Menurut Yurisprudensi
Mahkamah Agung bahwa keputusan banding hanya dapat menguntungkan bagi pihak
yang mengajukan banding.
I3ila
penggugat/terbanding tidak mengajukan permohonan banding, maka dianggap sudah
menerima keputusan Pengadilan Negeri sehingga dalam pemeriksaan tingkat banding
bagian gugatan penggugat/terbanding yang tidak dikabulkan tidak ditinjau
kembali, sesuai dengan surat Mahkamah Agung tanggal 24 Desember 1973 dan
Mahkamah Agung tanggal 22 November 1974 dalam rangkuman II Tahun 1977 hal. 250 -
251. Dengan demikian berarti baik penggugat maupun tergugat dapat memohon
supaya perkara mereka itu yang sudah diputus di Pengadilan Negeri diulang
kembali dalam pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi.
Jika keputusan itu
dijatuhkan di luar hadir tergugat, maka tergugat tidak dapat mengajukan
banding, melainkan ia hanya dapat mengajukan perlawanan saja kepada Hakim yang
mengadili dalam tingkat pertama. Akan tetapi penggugat tidak menerima keputusan
dari Hakim karena tidak hadirnya tergugat dalam persidangan, maka penggugat
dapat mengajukan permohonan banding. Dalam hal ini tergugat tidak dapat
mempergunakan hak perlawanannya dalam pemeriksaan pada sidang tingkat pertama
tetapi tergugat hanya dapat memohon pemeriksaan ulang sesuai dengan Pasal 8 UU
No. 20 Tahun 1947 dan Pasal 200 R.Bg.
Bagaimana proses
pengajuan banding itu dilakukan oleh pihak yang kalah dalam Pengadilan Negeri
setempat?
Bahwa permohonan banding
itu diajukan oleh pihak yang kalah kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan keputusan, dengan tenggang waktu 14 hari terhitung mulai hari dan
tanggal di-umumkan putusan perkara tersebut kepada para pihak yang berseng-
f.M
keta sesuai dengan Pasal
7 UU No. 20 Tahun 1947 dan Pasal 199 RJBg.
Biasanya yang menyatakan
banding adalah yang berada di pihak" yang kalah pergi kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang bersangkut-an untuk meminta banding selanjutnya Panitera
membuat pernyataan banding itu dan diberitahukan pada pihak lawan wlumbat
lambatnya 14 hari sesudah permintaan banding dlterima. Dalam hal Ini kedua
belah pihak diberi kesempatan untuk mi'lihal aural-aural aerla berkas perkara
itu di Pengadilan Negeri yang bersangkutan aelamo 14 hari sesuai dengan Pasal
11 ayat 1 UU No. 20 Tahun l«47 dun 202 R.Bg.
Terhadap kedua belah
pihak diperbolehkan memaatikkan surat keterangan dan bukti-bukti baru
sebagaimana telah diuraikan yang merupakan alasan permohonan banding dan dengan
kata lain mpmori banding yang dialamatkan atau ditujukan melalui Panitera
Pengadilan Negeri yang dimaksud/kepada Pengadilan Tinggi yang beraangkutan,
Bahwa pihak terbanding
dapat pula menjawab memori itu dengan kontra memori banding. Kemudian
Pengadilan Negeri tersebut mcngi-rimkan salinan keputusan serta surat-surat
pemeriksaan kepada Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dengan
tenggang waktu 1 bulan lamanya sudah diterima permohonan memori banding itu.
Menurut Yurisprudensi
Mahkamah Agung tanggal 6 Agustus 1973 Reg. No. 663 K/Sip/1971, UU mewajibkan
pembanding untuk mengajukan masalah banding.
Apabila lewat batas
waktu 14 hari yang bersangkutan banding dan kemudian diajukan permohonan
banding oleh satu pihak maka Pengadilan Negeri yang menerimanya tidak boleh
menolaknya melainkan wajib meneruskannya kepada Pengadilan Tinggi, karena yang
berwenang untuk menolak atau menerima permohonan banding hanyalah Pengadilan
Tinggi saja. Kalau kita menanyakan apa sajakah yang dapat dimohon dalam
pemeriksaan banding itu? Hal ini dapat dijawab bahwa pada prinsipnya semua
keputusan akhir Pengadilan Tingkat Pertama dapat dimintakan pemeriksaan ulang
pada Pengadilan Tinggi setempat masalah sengketa para pihak yang bersangkutan,
kecuali jika UU menentukan lain sesuai dengan Pasal 19 UU No. 20 Tahun 1947 dan
Pasal 201 R.Bg. Bahwa dalam pemeriksaan banding itu adalah merupakan
pemeriksaan yang diulangi lagi, maka pada dasarnya perubahan dan penambahan
tuntutan dibolehkan.
69
|i«hwa
bwdasarkan
Pasal 15 UU No. 20 Tahun 1947 Pengadilan I iiin-1 mpiiieriksa banding dengan
Majelis terdiri dari 3 orang Hakim drill |lkii |>««rlu dengan mendengar sendiri
para pihak berperkara. I'.i.l.. IWl II ayat 1 UU Dar. No. 11 Tahun 1955
memberikan l>t'iijjtH*iirtlian dalam pemeriksaan perkara perdata dalam
tingkat Hiding yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan 3 orang 11.il iin,
kecuali jika Ketua Pengadilan Tinggi menentukan lain, bahwa Miitttii perkara
tertentu akan diputus oleh seorang Hakim yang telah tlilunjuk oleh Ketua
Pengadilan Tinggi setempat. Dalam kesempatan mi dalam praktek sering
dimanfaatkan oleh Pengadilan Tinggi.
3. KEPUTUSAN TINGKAT BANDING
Selanjutnya bahwa dalam
tingkat banding Hakim diperbolehkan mengabulkan lebih daripada yang ditunjuk
oleh pihak yang memban-ding atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut.
Dalam hal ini Hakim
tingkat banding harus membiarkan putusan Pengadilan tingkat pertama sepanjang
tidak dibantah oleh pihak pembanding. /
Menurut Yurisprudensi
Mahkamah Agung tanggal 21 Februari
1970, mengatakan bahwa amar putusan Pengadilan
Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri hanya memutus, bahwa
penggugat berwenang atas tanah sengketa hanya sebagian saja dari tuntutan,
padahal tuntutan penggugat sebenarnya lebih banyak lagi, karenanya keputusan
Pengadilan Tinggi harus dibatalkan (Yur. MA. No. 389 K/Sip/1969,
J.I.Pen.I/1970. Hal. 13). Begitu pula halnya dalam putusan Mahkamah Agung
tanggal 19 Juni 1971 menetapkan bahwa keputusan Pengadilan Tinggi salah, karena
memutuskan masalah yang tidak dituntut (Yur. MA. No. 46 K/Sip/1969,
J.I.Pen.III/
1971. Hal. 54).
Bahwa dalam kedudukan
Pengadilan Tinggi sebagai Judexpactie dan berdasarkan asas perkara muda
kembali, dapat juga terjadi, bahwa Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat, bahwa
suatu sumpah penambah, sumpah supletoir sudah keliru dibebankan kepada
penggugat yang seharusnya tergugatlah yang harus disumpah. Jika terjadi hal
yang demikian, karena masalah sumpah adalah persoalan bukti, yang
merupakan wewenang Pengadilan
Tinggi untuk
70
menilainya.
Pengadilan Tinggi dapat
membebankan sumpah menambah pull kepada tergugat dan dalam keputusannya
nanti menolak gugatan atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima
dengan mengenyam-pingkan sumpah penambah yang sudah dilakukan oleh penggugat.
Komentar
Posting Komentar