asas-asas dalam undang-undang perkawinan


 ASAS-ASAS DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
1.   Asas Sukarela
Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk. membentuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami istri dapat mem­bentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud di sini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria atau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia miliknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan him agama yang mereka peluk. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa -nar dilarang Undang-Undang Perkawinan ini. Batas umur dikehendaki Undang-Undang Perkawinan ini yaitu minimal 16 bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan ijturn dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari mempelai yang belum mencapai batas umur minimal sebagai tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ad n Inaii yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka |l H ipkim. Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan  secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum inn il.in kepercayaannya.
3.   perceraian Dipersulit
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ber-usaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Pem-buat undang-undang ini menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami istri tersebut, tetapi juga kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai hayat dikandung badaii- Banyak sosiolog mengemukakan bahwa berhasil atau tidaknya membina suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah per­kawinan yang merupakan salah satu faktor di antara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan saja membahaya-kan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Hampir separuh dari kenakalan remaja yang terjadi beberapa negara diakibatkan oleh keluarga yang berantakan. Di suatu masyarakat yang banyak terjadinya perceraian merupakan ukuran kondisi dari masyarakat tersebut.
penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran
8                                                                                                       ,*
Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia
tang keliru ini harus segera diperbaiki dan dihilangkan dalam masya-inkat. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri pun dapat inciiggugat suami untuk meminta cerai apabila ada hal-hal yang Blenurut keyakinannya rumah tangga yang dibina itu tidak mungkin diteruskan. Untuk itu, undang-undang ini merumuskan bahwa per­ceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar sidang pengadilan dianggap tidak mepunyai luidasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya.
I lengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan agar rukun kembali, hal ini dilakukan pada setiap sidang dilaksanakan.
II in lang-Undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya diper-lulil pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya per-■ i i iian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindar-I hi, itu pun harus dilaksanakan dengan secara baik di hadapan
Idling pengadilan. Perceraian yang demikian ini merupakan hal baru • I 11. iin masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya |)i i .i< la di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara
.....innya. Pelaksanaan yang seperti ini sungguh sangat memprihatin-
I in pihak istri, biasanya pihak suami setelah menceraikan istrinya
mitt sekali tidak memerhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya.
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri men-dapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.
Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah ter-* penuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) per-setujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang ber-maksud menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan beiiaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan per-kawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 45 Undang-Undang Perkawinan ini.
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh per-aturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka Undang-Undang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat ter­tentu. Undang-Undang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa
in
Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia
iwinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat I < 11.111.1 inerekayang melaksanakannya.
|    kc-matangan Calon Mempelai
Un< lang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mem-ii  hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan i pcmbatasan umur pernikahan baik bagi wanita maupun bagi 11 i liaru] »kan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, ni demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat ber-|| in   ciring dan sejalan dengan undang-undang ini. Sehubungan in hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan ilicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata di­ll hi agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari " 11 i wiiian yang mereka langsungkan itu dari perkawinan yang telah 11' ii I Kilas umur maupun rohani. Sebagaimana telah dikemuka-II 11 hIi | mill terdahulu, bahwa Undang-Undang Perkawinan mem-iiiiiiii' untuk melaksanakan perkawinan yaitu 19 tahun bagi I <hill 16 tahun bagi wanita. Penyimpangan dari batas umur mini-ninu perkawinan ini harus mendapat dispensasi pengadilan fll hill dahulu, setelah itu baru perkawinan dapat dilaksanakan. 1  ||   I'di.ik I>crkepentingan dilarang keras membantu melaksanakan us iii;iu di bawah umur. Pelanggaran terhadap ketentuan yang !  Ii ililclapkan itu dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang ii Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga ■ i dan sejahlera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai rumah langga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari i ni", Mahakuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka ke-ni calon mempelai sangat diharapkan, kematangan dimaksud ii la I ah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam ber-1  i 11 hi I mi I indaksehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut il ipal lerlaksana dengan baik.
memperbaiki Derajat Kaum Wanita
I nh wliran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-iliharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat

I I

Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri men-dapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim.
Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah ter-* penuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) per-setujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang ber-maksud menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan beiiaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan per-kawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 45 Undang-Undang Perkawinan ini.
Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan istri muda (madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi kalau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka Undang-Undang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat ter­tentu. Undang-Undang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa ini Beberapa Catatan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia
perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat I < 11.111.1 mereka yang melaksanakannya.
|    kematangan Calon Mempelai
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mem-ii  hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan i pcmbatasan umur pernikahan baik bagi wanita maupun bagi 11 i liaru] »kan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, ni demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat ber-|| in   ciring dan sejalan dengan undang-undang ini. Sehubungan in hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan ilicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata di­ll hi agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari " 11 i wiiian yang mereka langsungkan itu dari perkawinan yang telah 11' ii I Kilas umur maupun rohani. Sebagaimana telah dikemuka-II 11 hIi | mill terdahulu, bahwa Undang-Undang Perkawinan mem-iiiiiiii' untuk melaksanakan perkawinan yaitu 19 tahun bagi I <hill 16 tahun bagi wanita. Penyimpangan dari batas umur mini-ninu perkawinan ini harus mendapat dispensasi pengadilan fll hill dahulu, setelah itu baru perkawinan dapat dilaksanakan. 1  ||   I'di.ik I>crkepentingan dilarang keras membantu melaksanakan us iii;iu di bawah umur. Pelanggaran terhadap ketentuan yang !  Ii ililclapkan itu dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang ii Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga ■ i dan sejahlera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai rumah langga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari i ni", Mahakuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka ke-ni calon mempelai sangat diharapkan, kematangan dimaksud ii la I ah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam ber-1  i 11 hi I mi I indaksehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut il ipal lerlaksana dengan baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lafadz ‘amm dan Khash

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Dzahir Dalalah dan Khafi Dalalah