Hukum Acara Pidana
Pengertian Hukum Acara Pidana
Bidang hukum pidana secara tradisional
dibagi atas hukum pidana material dan hukum pidana formal. Hukum pidana material
sering disebut hukum pidana dan hukum pidana formal disebut hukum acara
pidana. Dari namanya itu sendiri maka seea-ra mudah dapat dikatakan bahwa
hiikum acara pidana itu meru-pakan peraturan tentang bagaimana hukum pidana
(material) itu ditegakkan atau diacarakan.
Jika terjadi pelanggaran hukum pidana
material itu, misal-nya pencurian, maka tugas hukum acara pidana itu ialah
bagaimana pen cgak hukum mengetahui/''A;e£e«fi/-fitt''adanya pencurian itu, bagaimana
mengetahui siapa pelaku pencurian, bagaimana menungkapnya, menahannya,
menuntutnya, mengadili-nya, bagaimana hakim menjatuhkan pidana, bagaimana
terdak-wa atau penuntut umum melawan putusan yang tidak disetujui-nya itu
(upaya hukum) dan jika putusan telah
menjadi final, artinya tidak dapat diubah lagi, maka tahap terakhir acara pidana
itu, ialah bagaimana penuntut umum (jaksl) menjalankan atau mengeksekusi
putusan tersebut.
Sebelum kita menguraikan tahap-tahap
acara pidana tersebut, perlu pula ditinjau sekilas tentang hukum pidana (material).
Setiap negara atau masyarakat naempunyai hukum pidana-nya sendiri.
la bervariasi menurut sifat, watak, vested interest,
dan idiologi bangsa itu. Tetapi apa isi
hukum pidana itu, secara universal dapat dikatakan "suatu himpunan
peraturan hukum, yang berisi perbuatan-perbuatan apa yang dapat dipidana dan di
mana peraturan pidana itu terdapat. "*}
Kadang-kadang ia terdapat dalam suatu
himpunan undang-undang pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Penal
Code, Criminal Code) dan dalam suatu
perundangan pidana khusus. Seperti di Malaysia dan Indonesia misalnya, terdapat
undang-undang anti korupsi
yang bersifat khusus
(di luar KUHP). Di negeri Belanda
dan Indonesia terdapat Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Wet op de
Economische Delic-ten) secara khusus pula. Di Argentina terdapat
undang-undang pidana khusus untuk anak yang belum dewasa. Di Negara
Ba-gian Texas USA terdapat undang-undang cek kosong (Hot
Cheque Act) secara khusus juga. Pendeknya, perundang-undang-an pidana yang
diciptakan itu sesuai dengan kepentingan bangsa tersebut seperti tersebut di
muka.
Itulah hukum pidana material yang harus
ditegakkan oleh .hukum acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal.
Kalau kita meneliti secara seksama tahap-tahap hukum acara pidana sebagaimana
dikemukakan di atas, maka dapat diterima pendapat J.M. van Bemmelen2)
yang mengemukakan bahwa hukum acarn pidana mempelajuri tentang himpunan
peraturan-peraturan hukum yang jika terjadi pelanggaran pidana, negara melalui
alat-alatnya melakukan tahap-tahap:
1. Mencari kebenaran, tentang terjadinya
pelanggaran hukum pidana tersebut.
2. Menyidik siapa pelaku perbuatan
tersebut. Mencari tersang-kanya.
3. Menangkap pelaku dan kalau perlu
menahannya.
1)
W.P.J. Pompe, Handboek van het Nederlandsche Strafrecht, 1959, hi
93.
2)
J.M. van Bemmelen, Straafvordering,,
1950, hal. 7
4. Mencari bahan-bahan bukti untuk
mengajukan terdakwa ke muka si dang pengadilan.
5. Mengambil keputusan. Hakim akan
menjatuhkan putusan, apakah terdakwa dipidana Qika terbukti tentang apa
yang didakwakan kepadanya), dibebaskan (jika apa yang didak-wakan tidak
terbukti dilakukan terdakwa); dilepas dari sega-la tuntutan hukum (jika apa
yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi ada alasan penghapusan
pidana).
6.
Upaya hukum untuk melawan putusan hakim tersebut.
7. Melaksanakan putusan hakim.
Tahap yang keenam hukum acara pidana
itulah yang akan diuraikan secara khusus.
B.
Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan sarana untuk
melaksanakan hukum, yuitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak
menerima penetapan atau putusan pengadilan, karena tidak nierasii puas dengan
penetapan atau putusan tersebut. Pasal 1 butlr 12 KUHAPmenentukan: "Upaya
hukum adalahhak terdakwa id in i penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilin yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana
untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali daliim hal serta cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Upaya hukum tersebut dapat berupa upaya hukum
biasa dan upaya hukum )uar biasa.
Upaya hukum biasa
Menurut ilmu hukum, upaya hukum
biasa^dapat berupa: 1. Verzet, yaitu perlawanan terpidana atas putusan
pengadilan di luar hadirnya terdakwa atau perlawanan jaksa penuntut umum atas
penetapan pengadilan mengenai tidak diterima-nya tuntutan penuntut umum atau
pengadilan tidak berwe-nang memeriksa perkara ataupun bukan merupakan
kompe-tensi pengadilan yang bersangkutan. (lihat Pasal 214, 149, 156KUHAP).
3
2 Ending v.iiiti hak terpidana
atau jaksa penuntut umum un-luk mtHiilnta pemeriksaan ulangan kepada pengadilan
yang I0I11I1 iinggi karena tidak merasa puas atas putusan pengadilan ,mcri
(lihat Pasal 67 jo 233 KUHAP).
3. Kasasi; yaitu hak terpidana atau penuntut umum untuk meminta pembatalan
atas putusan pengadilan lain dalam ,ting-kat . peradilan yang terakhir.
penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan Iain don para hakim yang
bertentang-an dengan hukuin, (Mint Pasal 16 UU No. 1 Tahun-1950 jo Pasal 30 UP
No YA l.-ihuii 1985).
Upaya hukum lunr Imisa
Ppayn hukum linn hiasn dapat berupa
kasasi demi kepen-tinflfl hukum, yaitu link Jaksa Agung untuk meminta
pemba-Ittlmi iiKis piiliisiin pengadilan lingkat terakhir, kecuali terhadap
pUtUlgr] Malikiiiiuili Agung. K;is;isi demi kepentingan hukum berbedii dengan
knsasi biasa karena tidak terikat dengan teng-gang waktu dan putusan tidak
boleh merugikan pihak-pihak
yang berkepentingan (lihat Pasal259 ayat
(2) KUHAP).
Peninjauan kembali, yaitu hak terpidana
untuk meminta
memperbaiki keputusan pengadilan yang
telah menjadi tetap,
sebagai akibat kekeliouan atau kelalaian
hakim dalam mehjatuh-
kan putusannya. (lihat Pasal 263 KUHAP).
Dengan diundangkannya UU No. 8 Tahun
1981mengenai Hukum Acara Pidana (KUHAP) membawa perubahan-perubah-an yang cukup
mendasar dalam sistem hukum acara pidana kita, termasuk perubahan pada tata
cara upaya hukum. Misalnya ke-tentuan Pasal 214 KUHAP pidana yang dijatuhkan
kepada ter-dakwa yang tidak hadir dapat dilakukan perlawanan (verzet) dan
apabila putusan pengadilan masih berupa perampasan ke-merdekaan dimurigkinkan
untuk meminta banding ke Pengadilan Tinggi. Berbeda dengan ketentuan lama yang
diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Darurat No. 1 Tahun 1951 terhadap hal
de-mikian hanya dimungkinkan untuk mengajukan perlawanan dan j tidak untuk
banding, tetapi masih dimungkinkan untuk mengajukan permohonan kasasi.
4
Demikian juga halnya dengan banding.
Pada dasarnya seti-ap putusan pengadilan negeri dapat dimintakan banding,
kecuali terhadap putusan bebas. Pengertian putusan bebas menurut UU Darurat No.
1 Tahun 1951 berbeda dengan pengertian putusan bebas dalam KPHAP, karena dalam
Pasal 6 ayat (2) undang-undang itu mengatakan: " . . . jika putusan itu tidak
mengan-dung pembebasan dari tuntutan selumhnya", Dengan kata
lainx putusan bebas itu dapat digolongkan dengan putusan bebas mumi
dan putusan bebas terselubung, Dikatakan bebas murni apabila putusan yang diucapkan
hakim baik yang tersirat atau tersurat adalah pembebasan dari seluruh dakwaan (vriispraak),
sedangkan pembebasan terselubung secara tersurat diucapkan pembebasan,
tetapi secara tersirat tidak demikian halnya, karena ada hagian-bagian unsur
delik yang sebenarnya telah ter-bukti, tetapi dinyatakan tidak terbukti.
Pembebasan terselubung dapat disamakan dengan lepas dari segala tuntutan hukum
(onslag van rechtsvervolging). Pembebasan murni tidak dapat dimintakan
banding, sedangkan pembebasan terselubung masih dimungkinkan.
Sebelum berlakunya KUHAP hampirsemua
putusan bebas dianggap sebagai pembebasan terselubung, dan dapat dimintakan
banding asal saja penuntut umum dalam memori banding-nya dapul niembuktikan
bahwa putusan tefsebut sebenarnya adalah lepas dari segala tuntutan hukum. Hal
ini didasarkan kepada yurispitulensi Mahkamah Agung, antara lain putusan
tang-gal 16 Met 1973 No. 22 K/Kr/1970 yang menentukan: "Seha-rusnya Pengadilun Tinggi
menyatakan bahwa permohonan banding "tidak dapat diterima" sebab
putusan Pengadilan Negeri merupakan suatu "pembebasan" sedangkan
permohonan banding tidak disertai ban tahan terhadap pembebasan terse but atas
dasar alasan bahwa pembebasan tersebut ^'bukan" suatu pembebasan murni
tetapi adalah suatu "pelepasan dari tuntutan hukum". Putusan Mahkamah
Agung No. 41 K/Kr/1968 yang mengatakan : Larangan untuk mengajukan banding
terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama yang tnengandung "pembebasan
seluruhnya dari tuntutan" sebagaimana terkandung dalam
5
Pasal 6 (2) Undang-undang No. 1/1951
hanya dapat dikesam-pingkan atas alasan yang harus dikemukakan oleh Penuntut
umum bahwa pembebasan itu bukan suatu "pembebasan mur-ni"./ / ■
.
Demi untuk mewujudkan peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan, mengingat pula bertumpuknya jumlah perkara yang
dimintakah banding di Pengadilan Tinggi, KUHAP mem-batasi did terhadap
perkara-perkara yang dapat dimohonkan banding. Pasal 61 KUHAP menentukan;
"Terdakwa atau penuntut umum berhak minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang mertyangkut masalah kurang tepat-nya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat.
Dari ketentuan Pasal tersebut jelas
pengaturan banding le-bih tegas dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 1/1951,
karena tidak terdapat lagi keragu-raguan apakah putusan tersebut ada-lah
pembebasan murni atau terselubung karena kedua putusan tersebut tidak
dimungkinkan untuk banding. Kelonggaran hanya diberikan kepada pucusan lepas
dari tuntutan hukum, yang masih dimungkinkan untuk kasasi. Hal ini jelas
tergambar dalam Pasal 244 KUHAP yang tidak menyebut lepas dari tuntutan hukum
sebagai hal yang tidak dibenarkan untuk diajukan per-mohonan kasasi Dalam
Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah pula diberikun pcnjelasan bahwa masalah
"salah atau tidak te-patnya penerapan hukum" justru merupakan alasan
yang dapat dipakai dalam mengojukan permohonan kasasi (lihat pasal' 253 KUHAP).
Biladilihat pula pada pasal 244 KUHAP yangmenga-takan bahwa "hanya
terhadap putusan bebas" tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah
diartikan bahwa terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak
dapat diajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi.
Hukum Acara kasasi selama ini diatur
dalam UUMAI (Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia) yang tersebut dalam UU
No. 1 Tahun 1950 sampai dicabutnya undang-undang
L
6
itu oleh undang-undang No. 13 Tahun
1965. Dengan dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya lagi UU No. 1 Tahun 1950
terjadi kekosongan hukum dalam memeriksa dan-memutus perkara yang dimintakan
kasasi, karena UU No. 13 Tahun' 1965 tidak ada mengatur hukum acara bagi
Mahkamah Agung. Untuk mengatasi hal tersebut terpaksa Mahkamah Agung
menafsir-kan sendiri bahwa yang dicabut oleh UU No. 13 Tahun 1965 tersebut
bukanlah secara keseluruhan, melainkan khusus menge-nai kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung.
Hal itu jelas tergambar pada setiap
putusan/Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Agung tidak mengambil kebijaksanaan
demiki-an, praktis Mahkamah Agung sudah tidak dapat bekerja lagi, sedangkan
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung dimak-sudkan untuk menjaga kepastian dan
kesatuan hukum (lihat Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977).
Di innka telah dikatakan bahwa putusan
bebas tidak dapat dimintakan untuk pemeriksaan banding, lalu bagaimana dengan
pcmeiiksaan kasasi? Kalau diperhatikan ketentuan perundang-undangan sebelum
lahirnya KUHAP (UU No. 13 Tahun 1965 tenting Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sertu UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman) tidak terdapat ketentuan yang
mtngutakun bahwa putusan bebas tidak dapat dimohonkan pemtrlksuan kasasi. Pada
umumnya ketentuan tersebut me-ngatakan bahwa putusan yang diberikan tingkat
terakhir oleh pengadilan lain seluin Mahkamah Agung dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung. Tidak dicantumkannya larangan putusan bebas untuk
dimohonkan kasasi karena ketentuan tersebut tidak hanya mengatur tentang cara
memeriksa perkara pidana di depan Mahkamah Agung, t^tapi juga memeriksa
perkara-perkara lain dari perkara pidana seperti perkara perdata dan lainnya.
Bukankah Mahkamah Agung merupakan puncak dari seluruh jalannya peradilan.
Mahkamah Agung merupakan lembaga tertinggi/di bidang hukum dan peradilan yang
harus mengayomi seluruh badan peradilan. Menurut ketentuan Pasal
7
Komentar
Posting Komentar