Bahan Makalah Sejarah Peradilan agama Islam
Susunan Organisasi Peradilan
Agama
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama
terdiri dari Pengadilan Agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tingkat banding. Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan yang menerima,
memeriksa, dan memutus setiap perkara yang diajukan pencari keadilan (yustisiabel)
pada tahap awal. Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding
adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus kembali putusan
Pengadilan Agama apabila pihak beperkara mengajukan banding. Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama disebut juga judex factie, yaitu Pengadilan
yang berwenang memeriksa dan menilai fakta dan pembuktian.
Pengadilan Agama dibentuk
dengan Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan
Undang-Undang.
Untuk lebih mudah memahami susunan organisasi
Peradilan Agama akan dibahas terlebih dahulu susunan organisasi Pengadilan
Agama dan selanjutnya dibahas susunan organisasi Pengadilan Tinggi Agama.
A. Susunan Organisasi Pengadilan Agarna
Susunan organisasi Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
21
Kepaniteraan peradilan Agama
1. Pimpinan Pengadilan
Pimpinan Pengadilan Agama terdiri
dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan diangkat dari diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
2.
Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman, Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
3.
Panitera
Panitera adalah seorang pejabat yang
mernimpin Kepaniteraan. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa Panitera Muda, beberapa Panitera Pengganti,
dan beberapa Juru Sita. Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah
Agung.
4.
Sekretaris
Sekretaris adalah seorang pejabat yang
mernimpin Sekretariat. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh
seorang Wakil Sekretaris. Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung.
5.
Juru Sita
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya
Juru Sita dan Juru Sita Pengganti yaitu pejabat yang melaksanakan tugas-tugas
ke-jurusitaan. Juru Sita Pengadilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh
Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bcr-sangkutan. Juru Sita
Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Susunan organisasi Pengadilan Agama
dapat digambarkan di halaman berikut.
22
Susunan Organisasi Pengadilan Agama
Kelas 1 A
23
Musthafa,Sy,S.H.M.H
Kepaniteraan Peradilan Agama
Penerbit : Rencana, 2005, Jakarta
15. Membina Teknis dan
Administrasi Peradilan
Mahkamah Agung sebagai Puncak dan Pucuk
Pimpinan bagi Pengadilan di bawahnya wajib membina pengadilan. Pembinaan
tersebut baik dari segi teknis maupun administrasi peradilan demi
terselenggaranya peradilan yang sederhana, cepat, murah, tuntas dan final.
Kebijaksanaan Mahkamah Agung dalam
membina Pengadilan-pengadilan di bawahnya selama ini perlu diteruskan dan
ditingkatkan baik frekuensinya, kualitasnya maupun cakupan materinya.
355
16. Membina Organisasi,
Administrasi dan Keuangan Pengadilan
Pembinaan Pengadilan dengan sistem
dualistik, yakni pembinaan teknis peradilan berada pada Mahkamah Agung sedang
pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan berada pada masing-masing
Departemen seperti yang selarha ini dilaksanakan harus diakhiri. Hal ini
semata-mata untuk menciptakan "independence of the judiciary" yang
mampu menjamin tegaknya peran dan fungsi peradilan yang "fair and fust
trial" yangbersifat *''impersial"' serta berani mengontrol
aktivitas pemerintahan, demi tegaknya hukum dan konstitusi dalam rangka mencapai
cita-cita Proklamasi 1945.
Masalah penghapusan sistem dualistik ini
bukanlah masalah "prestise" dan "status" tetapi
lebih ditujukan untuk memurnikan ketentuan Pasal 24 UUD 1945, sehingga benar-benar
dapat dikembangkan dan diupayakan konsepsi dan program pembinaan dan
pengawasan tunggal yang integratif oleh Mahkamah Agung.
Bagi siapa pun yang berfikir
murni dan jernih dalam menimbang dan memilih antara sistem dualistik tersebut
dengan sistem pembinaan tunggal yang integralistik oleh Mahkamah Agung lentu
akan menyatakan dengan jujur dan logis bahwa pembinaan tunggal yang
integralistik oleh Mahkamah Agung akan lebih baik dari pada sistem dualistik.
Prof. Oemar Seno Adji pada tahun 1966 mengusulkan hal tersebut yang didu-kung
oleh IKAHI. Kemudian Prof. Muladi dari UNDIP juga mengusulkan hal yang sama
yang didukung pula oleh IKAHI. Namun anehnya siapa pun yang menjabat Menteri
Kehakiman biasa keberatan untuk melepaskan kekuasaannya atas peradilan tersebut
dengan berbagai alasan. Dr. Mahfud mengatakan bahwa "boleh jadi pemerintah
punya kepentingan
356
untuk memegang kendali jalarmya peradilan
di Indonesia ter-masuk nasib para hakimnya.
Pada era reformasi ini,
nampaknya aspirasi tersebut sudah diserap oleh para wakil-waku rakyat di MPR
sehingga MPR dalam sidang istimewa tanggal 13 Nopember 1998 telah
menetapkan Keterapan No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara. Dalam TAP MPR tersebut dinyatakan bahwa; "Pembinaan lembaga
peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervehsi
ke dalam proses peradilan serta kelembagaannya kolusi dan praktek-praktek
negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan
kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang
kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah".
Berdasarkan pemikiran
tersebut, MPR telah mengagendakan pelaksanaan reformasi di bidang hukum sebagai
berikut:
a.
Pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
b.
Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional
secara terpadu.
c.
Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan
bernegara.
d.
Terbentuknya sikap dan prilaku anggota masyarakat ter-masuk para
penyejenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Berdasarkan Ketetapan MPR tersebut,Pemerintah telah
mengeluarkan UU No. 35 Th 1999 tanggal 31 Agustus
1999 tentang perubahan atas UU No. 14 th 1970, yang menyuapkan bahwa
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan berada di bawah
kekuasaan MA.Ketentuan lebih lanjutperadilan kekuasaan tersebut diatur dengan
UU.
357
A.Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar.
Tahun 2001 : Yogjakarta
Kepaniteraan Peradilan Agama
A. Pengertian
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman tidak ditemukan pengertian Panitera. Dalam Penjelasan Umum
angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditemukan kalimat, "Selaku Panitera,
ia menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat
teknis peradilan (yustisial)". Undang-Undang tersebut tidak secara khusus
memberikan pengertian Panitera, tetapi hanya menjelaskan tentang tugas-tugas
seorang Panitera. Sedangkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
disebutkan bahwa Panitera, Panitera Pengganti, dan Juru Sita adalah pejabat
peradilan yang pengangkatan dan pemberhentian-nya serta tugas pokoknya diatur
dalam undang-undang. Rumusan pasal tersebut juga belum memberikan pengertian Panitera.
Dalam kamus hukum dan kamus Bahasa
Indonesia dapat ditemukan pengertian Panitera.
Dalam kamus hukum, Panitera atau griffier dalam bahasa
Belanda dan clerk of the court dalam bahasa' Inggris diarrikan
pejabat-pejabat Pengadilan yang bertugas membantu Hakim unruk mem-buat berita
acara persidangan pada saat sidang pemeriksaan di-adakan.1
Musthafa,Sy,S.H.M.H
Kepaniteraan Peradilan Agama
Penerbit : Rencana, 2005, Jakarta
PENYATU ATAPAN PERADILAN
AGAMA PADA MAHKAMAH AGUNG
Drs. H. Wahyu Widiana, MA.
Direktur Pembinaan Peradilan Agama,
Mahkamah Agung Jakarta
A.
Pendahuluan
Wacana menjadikan seluruh lingkungan
peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA), baik aspek judisial
maupun aspek non-judisialnya, sudah lama muncul. Wacana ini torus bergulir dan
selalu menimbulkan kontroversi. Satu pihak menghendaki agar seluruh peradilan
berada satu atap di MA, sementara pihak lain menghendaki seperti keadaan selama
ini, yaitu pembinaan teknis peradilan berada di MA, sedangkan pembinaan
administrasi, organisasi dan finansial berada pada pemerintah.
Sebetulnya, kedua pihak tersebut
mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar kemandirian hakim dalam menerima,
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, dapat terjamin dengan sebaik-baiknya,
tanpa ada intervensi pihak manapun dan dalam bentuk apapun. Adapun yang
pro-satu atap beralasan, bahwa penanganan urusan non-judisial oleh eksekutif
sangat potensial mengganggu kemandirian hakim dalam menangani perkara. Kelompok
ini beranggapan bahwa pemerintah akan sangat mudah mempengaruhi hakim, sebab
"nasib" hakim berada di bawah kekuasaan dan ditentukan oleh
pemerintah. Sementara pihak yang kontra beralasan, bahwa kemandirian
hakim tidak dapat ditentukan oleh siapa yang menentukan "nasib" hakim
itu sendiri. Kemandirian sangat tergantung kepada integritas hakim. Semakin
91
kuat integritas hakim dalam menegakkan
keadilan, semakin kuat kemandiriannya. Bahkan sebaliknya, jika urusan teknis
dan urusan non-teknis peradilan dipegang oleh satu lembaga, maka akan besar
kemungkinan terjadinya tirani penguasaan. Lalu siapa yang akan mengontrolnya. Check
and balance tidak berjalan lagi jika penguasaan peradilan secara total
berada di bawah Mahkamah Agung (MA).
Pro dan kontra ini terus berlangsung,
bahkan juga dalam menafsirkan hasil Ketetapan MPR tahun 1998 yang menyatakan
bahwa "fungsi yudikatif harus dipisahkan dengan fungsi eksekutif".
Kelompok yang pro satu atap menyatakan, bahwa ketentuan itu menghendaki
agar seluruh lingkungan peradilan berada pada lembaga yudikatif, tidak dipisah
seperti selama ini. Sedangkan kelompok yang kontra berpendapat, bahwa
yang harus dipisah adalah "fungsi" bukan "lembaga"nya.
Justru tidak benar jika suatu lembaga negara menangani dua fungsi, fungsi
yudikatif sekaligus fungsi eksekutif. Kelompok yang kontra ini beranggapan
ketetapan MPR tidak menghendaki adanya penyatuatapan peradilan.
Sementara itu, usaha-usaha
untuk meningkatkan kemandirian kekuasaan kehakiman terus dilakukan dengan
mencari bentuk yang dianggap paling cocok. Pada tahun 1999, keluarlah UU No.35
Tentang: Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang: Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang ini menyatakan bahwa secara
organisatoris, administra-tif dan finansial, seluruh lingkungan peradilan
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Namun UU ini menyebutkan bahwa
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial tersebut dilaksanakan secara
bertahap, paling lama 5 tahun sejak berlakunya UU ini, kecuali pengalihan
Peradilan Agama (PA),
92
waktunya tidak ditentukan. Pada awal
Januari 2004, telah disahkan dalam UU No. 4 Tahun 2004 Tentang: Kekuasaan
Kehakiman. Dalam UU ini disebutkan antara lain bahwa pengalihan Peradilan Umum
dan Peradilan Tata Usaha Negara ke MA dilakukan selambat-l.imbatnya tanggal 31
Maret 2004, sedangkan PA dan Peradilan Militer selambat-lambatnya tanggal 30
Juni 2004.
B. Pengalihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung
Sama halnya seperti pengalihan peradilan
lainnya, pengalihan I 'A ke MA juga menimbulkan kontroversi, bahkan lebih
"heboh" tlibandingkan peradilan lainnya. Yang pro dan kontra dalam
pengalihan PA ke MA, bukan saja elit-elit politik dan para pakar liukum, namun
juga melibatkan ulama dan masyarakat luas. Ini tl.ipat dipahami, mengingat
bahwa umat Islam merasa memiliki I'A, dan menganggap masalah PA bukan saja
merupakan masalah kekuasaan kehakiman semata, namun juga merupakan bagian dari
kehidupan keberagamaan.
Itulah sebabnya UU No.35 Tahun 1999
memberi ketentuan khusus kepada PA untuk masuk ke MA dengan waktu yang tidak
ililentukan. Bahkan dapat diartikan selama-lamanya tidak ililakukan pengalihan
PA ke MA. UU No. 35 Tahun 1999 ini merupakan kompromi antara keinginan yang
kuat untuk menjadikan satu atap peradilan (terutama Peradilan Umum dan
Peradilan TUN) berada di bawah MA, dengan keinginan yang kuat il.iri masyarakat
Islam, agar PA tidak dialihkan ke MA, Sebagaimana terlihat dari surat MUI ke
Presiden tanggal 31 Mei 1999, yang menyatakan penolakan penyatuatapan PA ke MA.
Namun demikian, perkembangan pun
terjadi. Pada saat proses pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman, antara DPR dan
pemerintah di akhir tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia sedang
93
melakukan Rakernas dan Ijtima' Ulama
Komisi Fatwa se-Indone-sia di Jakarta. Dalam Rakernas dan Ijtima' ini, atas
permohonan Menteri Agama, para ulama melakukan pembahasan tentang RUU Kekuasaan
Kehakiman yang akan menetapkan pelaksanaan satu atap peradilan di bawah MA.
Para ulama, sebagaimana terlihat dari surat MUI yang ditujukan kepada Pimpinan
DPR RI, tanggal 16 Desember 2003, menyatakan bahwa sepanjang sejarah PA, peran
ulama sangat besar dalam melakukan pembinaan terhadap PA, dan selama ini
pembinaan terhadap PA telah berlangsung dengan baik. Oleh karena itu para ulama
minta agar MA memperhatikan aspek sejarah dan pembinaan PA selama ini. Akhirnya
MUI mengusulkan adanya penyempurnaan RUU dengan mencantumkan suatu alinea pada
Penjelasan Umumnya, yang berbunyi:
"Dengan berlakunya Undang-Undang
ini, pembinaan Badan Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan
Militer dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan badan peradilan agama yang
spesifik dalam sistem peradilan nasional, maka pembinaan terhadap badan PA
dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat dari Menteri Agama dan
Majelis Ulama Indonesia".
Usulan MUI tersebut diterima oleh DPR.
Alinea keempat pada Penjelasan Umum UU No.4 Tahun 2004 secara persis redaksinya
diambil dari usulan MUI di atas. UU ini disahkan oleh Presiden. RI tanggal 15
Januari 2004.
Menteri Agama sendiri dalam menghadapi
proses pengalihan PA ini secara aktif melakukan konsultasi dengan berbagai
pihak, terutama dengan para ulama, baik yang tergabung dalam MUI atau dari
ormas-ormas Islam lainnya. Dengan memperhatikan
94
mi ran MUI kepada DPR, Menteri Agama menyetujui masuknya I'A ke MA,
dengan catatan ada rambu-rambu sebagai jaminan hihwa pembinaan PA di masa
mendatang akan lebih baik lagi. I )an ini terlihat dari materi UU tersebut (dan
juga UU tentang MA) yang mengaitkan pembinaan PA dengan Menteri Agama dan MUI,
menjamin adanya Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama di MA dan Ketua Muda
MA Urusan Lingkungan Peradilan Agama, serta memperhatikan penanganan Mahkamah
Syar'iah tli provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Di antara substansi UU No.4 Tahun 2004 yang
berhubungan dengan PA adalah sebagai berikut:
1.
Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial PA ke MA dilakukan
selambat-lambatnya tanggal 30 Juni 200
2.
Pengalihan tersebut dilakukan oleh Keppres yang harus keluar
selambat-lambatnya 60 hari sebelum 30 Juni 2004.
\. Di MA,
dibentuk Ditjen Badan Peradilan Agama.
I.
Pegawai dan aset PA menjadi pegawai dan aset MA, bukan
lagi milik Dep. Agama. B, Pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Departemen
Agama menjadi pegawai Dirjen Badan
Peradilan Agama pada MA.
Pada tanggal 23 Maret 2004, keluarlah
Keppres No. 21 Tahun 2004 Tentang: Pengalihan Organisasi, Administrasi dan
Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara d.in
Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Dalam Keppres itu disebutkan bahwa
pengalihan Peradilan Umum dan Peradilan T.ita Usaha Negara dari Departemen
Kehakiman & HAM ke MA dilakukan pada tanggal 31 Maret 2004, sedangkan
pengalihan Peradilan Agama pada tanggal 30 Juni 2004. Kini, ketiga lingkungan peradilan
tersebut telah dialihkan ke MA pada tanggal-l.inggal sesuai dengan yang
disebutkan dalam Keppres di atas.
95
Secara organisatoris, Peradilan Agama
yang terdiri dari 343| Pengadilan Tingkat Pertama dan 24 Pengadilan
Tingkat Banding kini tidak lagi berada di bawah Departemen Agama, namun sudah
secara resmi berada di bawah MA. Namun demikian, pengalihan tersebut bukan
berarti hubungan PA dengan Departemen Agama putus sama sekali.
Dilihat dari kesejarahan masa silam, PA
tidak dapat lepas dari Departemen Agama, bahkan untuk masa kini sekalipun.
Alinea keempat pada Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 2004 memperlihatkan kepada
kita bahwa Menteri Agama atau| Departemen Agama bahkan MUI masih
mempunyai akses dalam membina PA. Lebih jauh dari itu, PA masih terus dan tak
akan pernah putus hubungan dengan Departemen Agama. Hal ini dapat kita lihat
antara lain dari pembinaan Hukum Islam sebagai hukum materi PA dan Sarjana
Syari'ah yang nota bene merupakan produ perguruan tinggi binaan Departemen
Agama, merupakan SD pokok yang disyaratkan untuk menjadi para aparat hukum d
lingkungan PA.
C. Sikap Masyarakat Islam dan Pegawai PA
terhadap Pengalihan PA ke MA
Pada masa pembahasan RUU No. 35 Tahun
1999, konsultas antara Departemen Agama dengan para ulama dan instansi terkai
dilakukan secara intens. Dari pertemuan-pertemuan tersebut diperoleh kesan
bahwa kalangan umat Islam pada umumny menolak pengalihan PA ke MA. Departemen
Agama, sesuai denga pendapat MUI, juga menolak konsep satu atap tersebut. Namun
da kalangan PA, dapat dikatakan hampir seluruh karyawan da pejabatnya mendukung
konsep satu atap dengan harapan ad perbaikan pembinaan terhadap organisasi dan
kesejahteraan pegawai
96
Setelah disahkan UU No.35 Tahun 1999,
pada tahun 2000, dilakukan penelitian oleh tim kerjasama antara Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama dengan Fakultas Syari'ah IAIN Jakarta, mengenai
"Respon hakim, panitera, karyawan PA dan masyarakat muslim terhadap UU No.
35/1999". Di antara hasil penelitian tersebut adalah bahwa 503 dari 518
responden (97%) dari kalangan PA menyatakan setuju penyatuatapan PA ke
MA. Sisanya, 3% menyatakan menolak. Sedangkan dari kalangan mahasiswa,
dosen dan tokoh Islam hanya 86 dari 379 responden (23%) yang menyatakan
persetujuannya. Sisanya, 291 (77%) menolak. Keadaan seperti ini hampir
sama dengan kesan awal pada saat dilakukan pembahasan RUU. Alasan yang
dikemukakan oleh responden dari kalangan PA adalah masalah kesejahteraan
(sarana/prasarana) dan struktur, sedangkan alasan yang dikemukakan oleh
responden dari kalangan masyarakat adalah karena kaitan historis.
Pada masa pembahasan RUU dan paska
pengesahan UU No.4/ 2004, penelitian yang sama belum pernah dilakukan. Yang
jelas, dari kalangan para ulama, terutama yang tergabung dalam MUI dan Komisi
Fatwa MUI se Indonesia, terlihat ada pergeseran jika dibandingkan dengan
keadaan sekitar tahun 1999. Pergeseran pandangan ini juga mempengaruhi sikap
Departemen Agama, yang semula menolak menjadi mendukung dengan syarat-syarat
tertentu.
D. Peradilan Agama di Masa Mendatang
Bagaimana keberadaan PA di masa
mendatang .kini banyak dipertanyakan orang. Pertanyaan ini menjadi lebih besar
gaungnya, lebih-lebih setelah disahkan UU No.4 Tahun 2004 Tentang: Kekuasaan
Kehakiman yang dikenal sebagai Undang-Undang "Satu Atap". Memang, pertanyaan
orang seperti ini dapat dipahami, sebab PA yang nota bene merupakan salah satu
lembaga
9 7
pelaksana hukum Islam selama ini berada
di bawah Departemen Agama yang Menterinya ada "jaminan" mesti orang
Islam, kini dialihkan menjadi berada di bawah Mahkamah Agung yang tidak ada
jaminan ketuanya orang Islam. Kekhawatiran orang-orang setelah PA berada di
bawah Mahkamah Agung adalah bahwa PA akan "ditekan" oleh politik
hukum orang-orang tertentu yang tidak suka PA berkembang.
Kekhawatiran seperti itu boleh-boleh
saja. Namun penulis berpendapat bahwa kekhawatiran itu tidak otomatis terjadi
setelah terjadinya "satu atap", bahkan PA akan berkembang lebih baik
jika didukung oleh semua pihak yang punya otoritas dalam bidang peningkatan
SDM, penyiapan anggaran dan penanganan manajemen. PA setelah ada di bawah
Mahkamah Agung akan lebih terpacu untuk bersaing secara sehat menuju keadaan
yang lebih baik. PA akan lebih termotivasi untuk memberikan pelayanan hukum
kepada masyarakat pencari keadilan berdasarkan asas-asas hukum yang ada dan
berdasarkan misi kekhususan PA itu sendiri. Penulis ingat ketika lobi dengan
kawan-kawan di DPR, mereka mengatakan bahwa masuknya PA ke MA sekarang ini, di
samping karena tuntutan konstitusi, peraturan perUndang-Undangan dan
pelaksanaan reformasi hukum, juga untuk kepentingan PA itu sendiri supaya tidak
dimarginalkan di luar sistem.
Penulis melihat bahwa masalah "satu
atap" sudah menjadi kenyataan dan merupakan putusan politik nasional
yang dinyatakan dalam suatu Undang-Undang. Putusan politik ini akan sangat
mempengaruhi keberadaan PA di masa mendatang. Suka atau tidak suka, setuju atau
tidak setuju terhadap penyatuatapan, kini kita perlu mencari dan memanfaatkan
celah-celah yang dapat dipakai untuk mengembangkan PA. Banyak hal yang dapat
dijadikan "modal dasar" dalam pengembangan PA di masa
98
mendatang. Pertama, keberadaan PA
lebih mantap dan sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya di mata
Undang-Undang. Kedua, unit kerja pembina organisasi, administrasi dan
finansial terhadap PA di Mahkamah Agung setingkat Direktorat Jenderal. Ada
peningkatan dibandingkan waktu di Departemen Agama yang hanya setingkat
direktorat. Keadaan ini secara rasional akan meningkatkan aspek pembinaan,
terutama dalam kaitannya dengan organisasi, administrasi dan finansial. Ketiga,
Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan PA sebagai pembina teknis masih
tetap ada. Keempat, persaingan sehat semakin terbuka. Sebelum PA
dialihkan ke MA, terdapat lebih dari 30 orang pejabat d i MA yang berasal dari
lingkungan PA. Mereka menempati posisi di lingkungan yang terkait langsung
dengan pembinaan PA, bahkan dengan pembinaan seluruh lingkungan peradilan.
Keadaan PA di masa mendatang pada
dasarnya tergantung kepada orang PA itu sendiri. Mampukah mereka memanfaatkan
situasi dan kondisi yang ada serta merubah tantangan menjadi peluang yang dapat
melambungkan citra dan kualitas pelayanan PA kepada masyarakat? Jika ya, PA
akan lebih berkembang di masa mendatang. Namun demikian, dukungan dari faktor
oksternal seperti Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai pemasok ulama SDM,
dukungan masyarakat dan dukungan politik, sangat besar artinya, bahkan dapat
menentukan dalam pengembangan I'A di masa mendatang.
E.
Implikasi Pengalihan PA ke MA terhadap Fakultas Syari'ah
Pengalihan PA ke MA sempat menimbulkan
kekhawatiran .ilumni dan mahasiswa Fakultas Syari'ah. Pembinaan PA di bawah MA
dikhawatirkan menimbulkan implikasi negatif terhadap
99
mereka. Mereka khawatir akan terseretnya
posisi alumni Fakultas Syari'ah dari lingkungan PA, misalnya syarat untuk
menjadi hakim dan aparat lainnya di lingkungan PA tidak lagi harus sarjana
Syari'ah. Lebih jauh dari itu, ada kekhawatiran bahwa hukum Islam tidak lagi
dijadikan acuan dalam memutus perkara di lingkungan PA.
Sebetulnya kekhawatiran itu tidaklah
beralasan jika kita melihat keadaan peraturan perUndang-Undangan dan sistem
pembinaan serta personil yang ada pada masa kini. Pengalihan PA ke MA tidak
secara otomatis mengubah keadaan yang telah berjalan selama ini. Memang,
keadaan yang berlaku selama ini dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Namun
perubahan itu bukan karena adanya penyatuatapan semata. Perubahan itu dapat
terjadi karena adanya perubahan politik (hukum) dan kebijakartJ
Keadaan peraturan perUndang-Undangan dan
sistem pembinaan PA yang ada sekarang menempatkan sarjana Syari'ah sebagai
tenaga andalan untuk lingkungan PA. Bahkan dengan satu atap peradilan di bawah
MA, maka sarjana Syari'ah akan lebih mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk
bersaing dan berkiprah di bidang peradilan dan hukum pada umumnya. Sarjana
Syari'ah kini tidak saja hanya dapat berkarir menjadi aparat di PA, namun juga
dapat menduduki posisi-posisi yang tinggi dan strategis di lingkungan MA,
sebagai pembina semua lingkungan peradilan di Indonesia. Sekarang sudah banyak
contoh alumni Fakultas Syari'ah yang menduduki posisi-posisi seperti itu.
Adanya perubahan UU dan kebijakan yang
akan merugikan alumni Fakultas Syari'ah tidaklah perlu dikhawatirkan secara
berlebihan, sebab untuk merubah peraturan perUndang-Undangan, terutama suatu
UU, sangatlah memerlukan pertimbangan yang sangat mendalam dan memerlukan
dukungan
100
politis yang besar. Saya melihat,
perubahan ke arah sana sangat kecil, kalaupun tidak disebutkan mustahil. Bahkan
sebaliknya, perubahan yang ada sekarang, justru perubahan yang banyak
menguntungkan alumni Syari'ah, seperti adanya beberapa UU yang secara eksplisit
menyebutkan sarjana Syari'ah. Dengan memperhatikan ini semua, dan juga
memperhatikan masa depan PA, maka pengalihan PA ke MA tidak akan membawa
implikasi negatif, bahkan sebaliknya akan menguntungkan alumni Fakultas
Syari'ah untuk dapat berkiprah di lingkungan PA dan MA pada umumnya.
F.
Penutup
Demikianlah makalah singkat yang dapat
penulis kemukakan. Semoga menjadi bahan diskusi yang bermanfaat. Harapan penulis,
sarjana Syari'ah akan mempunyai peluang yang lebih besar setelah PA berada di
MA. Sebab, selain adanya kompetisi yang sehat dan lebih menantang dari lain
lingkungan peradilan, PA tetap akan mempertahankan bahan baku SDM dari Fakultas
atau jurusan Syari'ah. Oleh karena itu, penyatuatapan PA ke MA mestinya akan
lebih memicu jurusan ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pembelajaran,
sehingga menghasilkan produk SDM yang berkualitas, tangguh dan berintegritas
tinggi. Wallohu A'lam Bishshowab.
101
Komentar
Posting Komentar