PERNIKAHAN DINI PADA MASYARAKAT BANJAR

WEDDING EARLY ON SOCIETY BANJAR


FAUZUR RAHMAN, SH.I, MH
Pascasarjana UIN Antasari Jl. A. Yani Km. 4,5 Banjarmasin, Indonesia
fauzur_rahman123@yahoo.com


Abstract. The marriage rate of children under the age of 19 in South Kalimantan holds the highest national record. In understanding the occurrence of early marriages, it is important not only to look at provincial data, but also data on districts/cities to sub-districts and villages. According to the regional BBKBN in South Kalimantan, the highest percentage is Hulu Sungai Tengah district according to data from the BKKBN. From that reason, researchers conducted focused research in the Hulu Sungai Tengah District, especially the Banjar indigenous people who lived in the area. If in the past parents wanted their children to marry young for various reasons, now there are not a few teenagers themselves, not only rural teenagers but also teenagers in big cities, who want to marry young. In understanding the occurrence of early marriages, it is important not only to look at provincial data, but also data on districts / cities to sub-districts and villages. South Kalimantan has the highest percentage of 9.24%.
The focus of the research is what are the causes of early marriage in the Banjar community and how maqasid al-Syariah analyzes the factors that cause early marriage in the Banjar community The type of this research is field research and data collection using interviews, documentation, and observation.
The results findings about wedding early on society Banjar that is factors that cause in society Banjar happen wedding early is factor less able, already to be tradition village local, already have job, break up school, pregnant first, the will of the parents, and association. While maqasid al-Syariah in wedding that is get and take place offspring, fulfilling hajat human channel lust and shed love unfortunately, fulfilling religious calling, nurturing self from crime and damage, added seriousness for take responsibility answer receive right and liability, too mean it for obtain treasure wealth lawful, and build house stairs for forming a peaceful society on basic love and love dear.

Keywords: Dini Marriage, Banjar

Abstrak. Angka perkawinan anak dengan usia dibawah 19 tahun di Kalimantan Selatan memegang rekor tertinggi nasional. Dalam memahami kejadian pernikahan dini, penting untuk tidak hanya melihat data provinsi, melainkan juga data Kabupaten/Kota hingga kecamatan dan desa. Menurut BBKBN daerah di Kalimantan Selatan yang mempunyai persentase yang paling banyak adalah kabupaten Hulu Sungai Tengah menurut data dari BKKBN. Dari alasan itulah peneliti melakukan penelitian terfokus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah khususnya masyarakat asli Banjar yang berdomisili di daerah tersebut. Jika dahulu orang tua ingin agar anaknya menikah muda dengan berbagai alasan, maka kini tidak sedikit remaja sendiri, bukan hanya remaja pedesaan tetapi juga remaja di kota besar, yang ingin menikah muda. Dalam memahami kejadian pernikahan dini, penting untuk tidak hanya melihat data provinsi, melainkan juga data Kabupaten/Kota hingga kecamatan dan desa. Kalimantan Selatan memiliki persentase tertinggi yaitu 9,24%.
Fokus penelitian adalah tentang faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada masyarakat Banjar dan analisis Maqasid al-Syariah terhadap faktor-faktor penyebab pernikahan dini pada masyarakat Banjar. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dan pengumpulan data penulis menggunakan wawancara, dokumentasi, dan observasi.
Hasil temuan tentang pernikahan dini pada masyarakat Banjar yakni faktor-faktor yang menyebabkan di masyarakat Banjar terjadi pernikahan dini adalah faktor ekonomi, sudah menjadi tradisi desa setempat,  sudah mempunyai pekerjaan, putus sekolah, hamil duluan, kehendak orang tua, dan pergaulan. Sedangkan maqasid al-Syariah dalam pernikahan yakni mendapatkan dan melangsungkan keturunan, memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya, memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, menambahkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Kata kunci : Pernikahan Dini, Banjar




1.        PENDAHULUAN

Menikah merupakan acara yang sangat penting karena dalam menikah tersebut kita sangat menginginkan kebahagiaan dan keharmonisan dalam berumah tangga, tujuan utama dalam menikah adalah mempunyai keluarga yang langgeng sampai ajal menjemput dan mempunyai partner dalam mengarungi kehidupan. Sebagai manusia yang normal tentunya sangat menginginkan pernikahan yang langgeng dan hanya terjadi satu kali dalam kehidupan kita.
Pernikahan berkaitan dengan masalah sosial karena menyangkut hubungan sesama insan. Selain itu pernikahan juga mempunyai nilai ibadah bagi yang mengerjakannya. Hal ini tercantum dalam UU No. 1/1974  pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan maksud mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang sakinah mawaddah wa rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menikah adalah sunnatullah yang dihadapi semua insan dalam proses kehidupan. Dalam menikah itu ada dua aspek yang mesti diperhatikan, yaitu kesiapan fisik dan kesiapan mental. Siapnya fisik seseorang untuk menikah dapat dinilai  dari berkecukupannya kebutuhan ekonomi. Sedangkan kesiapan mental dilihat dari faktor usia. Akan timbul permasalahan jika pernikahan dilakukan di usia yang sangat muda yaitu menikah dini yang secara fisik dan mental memang belum siap.
Zaman dahulu tentu sering kali mendengar pernikahan dini, namun pada saat sekarang ini ada sebagian wilayah tertentu yang masih menggunakan tradisi menikah dini tersebut, tentunya untuk zaman modern ini kurang pas jika masih  ada yang menikah dalam usia dini.
Ajaran Islam dalam aturannya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan dini. Tetapi Islam juga tidak pernah mendorong atau   mendukung pernikahan dini (di bawah umur) tersebut, apalagi   dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak  anak,  psikis, dan  fisik  terutama  pihak  wanitanya,  dan  juga  kebiasaan  dalam suatu masyarakat,  dengan beralasan bahwa dalam ajaran Islam sendiri tidak melarang.
Sesungguhnya penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Dewasa ini pacaran adalah hal yang dianggap biasa dilakukan muda-mudi dengan acapkali mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan.
Pada era globalisasi ini, lingkungan sosial sangat dinamis dan terbuka. Konteks remaja sangat bervariasi di berbagai tempat di dunia bahkan di dalam satu negara. Salah satu yang dibawa dalam perubahan ini adalah perubahan gaya hidup remaja. Kombinasi antara usia perkembangan remaja yang khas seperti usia belajar dengan dinamisnya lingkungan sosial dan budaya pada dewasa ini, membuat remaja masuk di berbagai lingkungan atau dunia yang sering kali tidak bisa diikuti dan dipahami lagi secara benar oleh generasi sebelumnya termasuk orang Tuanya sendiri.
Ada banyak lingkungan yang dimasuki remaja sesuai dengan daya tariknya. Salah satu lingkungan yang saat ini banyak dicermati karena satu pihak merupakan lingkungan berisiko bagi masa depan remaja dan di lain pihak merupakan lingkungan yang mempunyai daya tarik serta relatif mudah dimasuki remaja yakni dunia narkoba dan dunia dengan relasi-relasi tanpa ikatan. Akibatnya para remaja akan terjebak pada pergaulan bebas seperti penggunaan narkoba dan juga hubungan seks yang beresiko seperti hubungan seks yang berganti-ganti pasangan dan hubungan seks tanpa perlindungan.
Hal ini dikarenakan minimnya informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang mereka miliki. Menurut WHO, orang muda dapat dibedakan antara adolescence (10-19 tahun) dan youth (15-24 tahun).  Di Indonesia kelompok ini disebut dengan remaja dan pemuda. Kelompok tersebut menjadi satu kategori yaitu remaja (15-24 tahun). Remaja yang tak terlayani atau sering disebut dengan underserved youth adalah para remaja yang berusia antara 15-24 tahun karena situasi dan kondisi tertentu tidak terlayani oleh berbagai pelayanan formal seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan.
Underserved youth adalah remaja-remaja yang tidak terlayani secara formal seperti pendidikan (tidak sekolah atau putus sekolah), kesehatan (tidak punya akses pada pelayanan kesehatan formal) dan pekerjaan (bekerja disektor-sektor formal dan relatif tidak tetap). Mereka terdiri dari kelompok yang tentunya tidak seragam atau sama.  Mereka antara lain kelompok-kelompok remaja yang tinggal di pemukiman yang termarjinalkan secara sosial maupun ekonomi di dalam masyarakat kota-kota besar. Akibat minimnya informasi yang mereka miliki akhirnya menghasilkan perbuatan/tingkah laku yang tidak wajar seperti mengkonsumsi narkoba, seks bebas dan lain sebagainya yang mudah terjadi sehingga pada akhirnya berujung pada sebuah pernikahan.
Sifat-sifat keremajaan ini seperti emosi yang tidak stabil, belum mempunyai kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi, serta belum mempunyai pemikiran yang matang tentang masa depan yang baik, akan sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak dalam hal ini kemampuan konflik pun, usia itu berpengaruh.
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (UU No. 23 Tahun 2002).
Pada prinsipnya pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan atau terjadi pada seseorang diusia anak-anak. Ditinjau dari Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan .” Sedangkan pada UU No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah nikah.  Ditinjau dari Undang-Undang yang telah disebutkan di atas pernikahan di bawah umur adalah tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh hak-haknya yaitu hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan, kekerasan, dan mendapat perlindungan.    
Masalah pernikahan dini merupakan masalah yang populer di masyarakat. Dengan berbagai interpretasi, dan sudut pandang yang berbeda. Persoalan yang muncul kemudian adalah masih terdapat daerah yang masyarakatnya masih melakukan pernikahan dibwah usia, yaitu dibawah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Pernikahan model ini lebih dikenal dengan nama pernikahan dini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengindahkan peraturan pemerintah yang telah diundang-undangkan yakni UU Perkawinan No. 1Tahun 1974 pasal 7 ayat (1)  dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat (1).
Fenomena pernikahan dini sudah sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan  maraknya pernikahan usia muda pada kalangan remaja, yang tidak hanya mewabah diperdesaan saja tetapi sudah memasuki perkotaan. Fenomena Pernikahan usia muda ini tampaknya merupakan “mode” yang terulang. Dahulu pernikahan usia muda dianggap lumrah. Tahun berganti, makin banyak yang menentang pernikahan usia muda namun fenomena ini kembali lagi. Jika dahulu orang tua ingin agar anaknya menikah muda dengan berbagai alasan, maka kini tidak sedikit remaja sendiri, bukan hanya remaja pedesaan tetapi juga remaja di kota besar, yang ingin menikah muda.
Pernikahan dini masih ditemukan di negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan dini yang tinggi. Data menunjukkan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia masih memprihatinkan. Data survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 menunjukkan 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun, atau setara dengan 375 anak perempuan menikah setiap harinya, dengan prevalensi 11%. Sementara itu 0,5 anak perempuan menikah sebelum usianya 15 tahun. Hal ini membuat Indonesia menjadi Negara ke-2 tertinggi di ASEAN dalam prevalensi pernikahan anak setelah Kamboja. Karena jumlah penduduknya yang tinggi, Indonesia menempati urutan ke-7 tertinggi di dunia atas angka absolut pengantin anak.  Sedangkan di seluruh provensi Indonesia menurut data BKKBN, Kalimantan Selatan menempati urutan teratas dalam kasus pernikahan dini.
Sebagian besar wilayah tersebut adalah wilayah yang mengalami krisis sosial ekologi, yang mana ruang hidup  masyarakat terhempas sehingga memaksa anak-anak perempuan untuk segera menikah, entah untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, menggantikan peran ibu di rumah tangga hingga menjadi tenaga tambahan bagi keluarga. 
Provinsi Kalimantan Selatan menempati salah satu yang memiliki persentasi tinggi dalam pernikahan dini. Angka pernikahan anak dengan usia di bawah 19 tahun di Kalimantan Selatan memegang rekor tertinggi nasional. Hal ini menjadikan keprihatinan sejumlah pihak, mengingat pernikahan anak sangat beresiko secara sosial seperti tingginya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), juga tingginya resiko kematian ibu dan bayi.
Data BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015 jumlah pernikahan dini di Tanah Laut dengan persentasi 69,93%, Kotabaru dengan persentase 66,94%, Kabupaten Banjar sebanyak dengan persentase 65,88%, Barito Kuala dengan persentase 64,60%, Kabupaten Tapin dengan persentase 68,27%, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan persentase 69,96%, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan persentase 71,13%, Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan persentase 67,39%, Kabupaten Tabalong dengan persentase 63,13%, Kabupaten Tanah Bumbu dengan persentase 65,96%, Kabupaten Balangan dengan persentase 67,86%, Kota Banjarmasin dengan persentase 52,16%, dan Kota Banjarbaru dengan persentase 47,65%. Dari data ini terlihat Kabupaten Hulu Sungai Tengah menjadi daerah yang paling penduduknya menikah pada usia kurang dari 21 tahun.
Dalam memahami kejadian pernikahan dini, penting untuk tidak hanya melihat data provinsi, melainkan juga data Kabupaten/Kota hingga kecamatan dan desa. Kalimantan Selatan memiliki persentase tertinggi yaitu 9,24%. Persentase itu merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Melalui data tersebut juga terungkap, bahwa pernikahan usia 10-14 tahun di Kalimantan Selatan sudah mencapai 9,2 persen dari jumlah perkawinan dan usia 15-19 tahun sebesar 46 persen dari jumlah pernikahan.  Menurut BBKBN daerah di Kalimantan Selatan yang mempunyai persentase yang paling banyak adalah kabupaten Hulu Sungai Tengah menurut data dari BKKBN. Dari alasan itulah peneliti melakukan penelitian terfokus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah khususnya masyarakat asli Banjar yang berdomisili di daerah tersebut.
Fenomena Pernikahan dini pada masyarakat Banjar  menurut peneliti Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Antasari Banjarmasin erat kaintannya dengan kebiasaan yang dianut di masyarakat. Fatrawati memaparkan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Banjar bisa dikelompokan menjadi empat bagian. Perjuangan, perekonomian, egoisme kompetitif serta religius. Jika dihubungkan nilai kesejahteraan, tren menikahkan anak di bawah umur bagi sebagian orang bisa diartikan sebagai sarana untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Sebut saja seperti menikahkan dengan orang mapan. Begitu pula dengan nilai religius. Yang sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Orang tua mendorong pernikahan anak agar terhindar dari perbuatan zina yang dilarang agama. Apalagi jika didukung oleh orang-orang yang dituakan dan Tuan guru kampung untuk keberlangsungan pernikahan anak.
Dari perpektif masyarakat Banjar itulah yang menjadi awal mula terkonstruksinya sebuah pernikahan dini. Bahwa dengan umur sekian anak-anak bisa melakukan pernikahan dan membentuk sebuah keluarga sendiri. Disinilah terjadi  benturan  antara hifdz al-nafs, dan hifdz al-nasl dengan pernikahan dini. Dikarenakan  hal ini masih sangat beresiko bagi anak untuk melakukan hubungan seksual apalagi kesiapan organ reproduksinya. Selain itu pernikahan dini membawa dampak yang sangat besar bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Undang-undang di Indonesia menganggap ketika seorang anak sudah menikah dia tidak lagi dianggap sebagai seorang anak, meskipun UU Perlindungan Anak menjamin bahwa hak anak dilindungi terlepas dari status perkawinannya. Namun, pada realitanya, hal ini berpengaruh pada hilangnya hak-haknya, termasuk hak terhadap pendidikan. Begitu seorang anak menikah hampir dipastikan dia akan putus sekolah. Pada tahun 2016 anak perempuan yang menikah di bawah 18 tahun beresiko empat kali lebih besar untuk tidak menyelesaikan pendidikan menengah atas atau setara. Ini berpengaruh pada hilangnya kesempatan untuk mengembangkan potensinya dan berkontribusi secara maksimal terhadap komunitasnya. Ditahun 2015 anak perempuan yang menikah sebelum mencapai 18 tahun cenderung bekerja di sektor informal (68,6%) dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal (31,4%).    
Secara kesehatan, anak perempuan juga berisiko tinggi ketika hamil dan melahirkan dini. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar pada anak perempuan usia 15-19 tahun dan bayi yang dilahirkan dari ibu usia kurang 20 tahun berisiko lebih besar untuk meninggal pada usia 28 hari pertama (UNICEF State of the World’s Children). Jika sang anak lahir dengan selamat dia masih terpapar risiko kesehatan lainnya, salah satunya adalah stunting . Berdasarkan Riskesdes 2013 data stunting anak di bawah usia 5 tahun menunjukkan korelasi yang berbanding lurus dengan pernikahan dini. Kalimantan Selatan adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Studi global di 34 negara menunjukkan anak perempuan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, karena hubungan yang timpang dan kurangnya kemampuan bernegosiasi. Secara ekonomi, pernikahan dini tidak hanya merugikan sang anak dan keluarganya tetapi masyarakat dan Negara. Pernikahan dini diestimasikan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).      
 Berdasarkan pemaparan dampak dari pernikahan dini di atas sehingga mendahulukan keselamatan jiwa anak dari resiko yang ditimbulkan akibat pernikahan Pernikahan dini juga dianggap tidak sejalan dengan salah satu maqasid al-nikah (tujuan nikah) yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah dari suami istri, dimana psikologi anak belum memahami semua itu kecuali kasih sayang dari kedua orangTuanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengagkat masalah ini dalam bentuk penelitian dengan judul Pernikahan Dini Pada Masyarakat Banjar.

2.        METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) atau  penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah jenis penelitian hukum yang mengkaji dan menganalisis bekerjanya di dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dikaji dari tingkat efektivitasnya hukum, kepatuhan terhadap hukum, peranan lembaga atau institusi hukum di dalam penegakan hukum, pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial tertentu atau sebaliknya, pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum.
Pandangan ahli tentang pengertian penelitian hukum empiris, disajikan berikut ini. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menguraikan pengertian penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian hukum yang dikerjakan dengan cara meneliti data primer.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum empiris berbeda dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum empiris yang menjadi titik kajiannya yakni pada bekerjanya hukum dalam masyarakat. Ada beberapa pendekatan yang biasa dipakai dalam penelitian hukum empiris  yaitu:
a.    Pendekatan sosiologi hukum;
b.    Pendekatan psikologi hukum;
c.    Pendekatan antropologi hukum.
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum atau yuridis empiris yaitu pendekatan yang melihat realitas hukum di masyarakat dan pendekatan antropologi hukum.
Pendekatan sosiologi hukum adalah pendekatan yang menganalisis tentang bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Pendekatan ini dikonstruksikan sebagai sesuatu perilaku masyarakat yang ajek, terlembagakan serta mendapatkan legitimasi secara sosial.
Pendekatan antropologi hukum adalah pendekatan yang menganalisis cara-cara penyelesaian sengketa, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat tradisional.
Hal-hal yang dianalisis dan dikaji pada kajian ideologis ini, yaitu identifikasi aturan-aturan yang umumnya di lingkungan masyarakat yang bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku. Ada dua dimensi dari norma, yaitu:
1)   Dimensi norma ideal; dan
2)   Dimensi perilaku yang terwujud.
Dimensi norma idela adalah aturan hukum yang menjadi pedoman bagi orang-orang yang bertindak. Kajian deskriptif merupakan kajian yang menganalisis dan mengkaji bagaimana orang nyata berperilaku.
Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasangan yang menikah dini, tokoh masyarakat, agama, aparat desa, kepala KUA dan orang yang mengetahui kejadian menikah dini. Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah pengaruh masalah sosial terhadap aturan hukum karena objek yang diteliti berupa faktor-faktor penyebab pernikahan dini yang ada di masyarakat Banjar.
Adapun data yang digali dalam penelitian ini adalah hal-hal yang menyangkut atau yang berhubungan dengan praktik pernikahan dini masyarakat Banjar.
Sumber data dalam penelitian hukum empiris berasal dari data lapangan. Data lapangan merupakan data yang berasal dari para responden. Responden yaitu orang atau kelompok masyarakat yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Dalam hal ini penulis mengambil data dari lapangan yakni responden dan informan serta berbagai sumber seperti buku-buku, majalah, artikel, surat kabar, essai, makalah-makalah, maupun karya tulis lainnya yang mendukung dan relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Dalam pengumpulan data di lapangan, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang familiar dalam penelitian kualitatif yakni wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara atau interview digunakan untuk mendapatkan jawaban dari informan utama dan informan pelengkap dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengajukan pertanyaan. Berbeda dengan penelitiaan kuantitatif, dalam penelitian kualitatif lebih diutamakan pertanyaan terbuka. Data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada pimpinan, pembina rohani, konselor, dan perawat di pondok pesantren untuk mengetahui program, metode, faktor pendukung, dan faktor penghambat dalam merehabilitasi para pecandu narkoba di pondok pesantren tersebut.
 Observasi digunakan untuk mengamati, cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Cara tersebut pada umumnya ditandai oleh pengamatan tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh individu, dan membuat pencatatan-pencatatan secara objektif mengenai apa yang diamati.
Berikutnya dokumentasi digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau informasi berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, notulen rapat, dan agenda. Pengumpulan data melalui dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, dokumentasi juga digunakan untuk memahami sekaligus mendalami keadaan lokasi penelitian.
Tahap terakhir adalah pengecekan keabsahan data. Keabsahan data adalah hal yang dilakukan penulis dalam rangka membuktikan data yang diperoleh sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, kredibilitas data itu sendiri bertujuan untuk membuktikan apa yang diamati oleh penulis sesuai dengan pernyataan yang sebenar-benarnya. Pada tahap ini untuk menguji keabsahan data peneliti menggunakan metode triangulasi dan triangulasi sumber.
Triangulasi merupakan hal yang penting dalam kajian ini. Saat dimulai kajian dan dikumpulkan informasi, langkah selanjutnya adalah untuk menguji kebenaran dari setiap sumber dan metode. Tidak satupun informasi yang akan dipertimbangkan sampai data tersebut di triangulasi.  Dalam triangulasi metode, peneliti membandingkan dan mencocokkan fenomena yang diperoleh di lapangan (berupa catatan selama observasi) dengan data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Sedangkan dalam triangulasi data sumber, penulis membandingkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan wawancara dari sumber yang berbeda.

3.         HASIL temuan
3.1.      Pernikahan Dini Menurut Aspek Sosiologis
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (RumahTangga) yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Secara etimologi pernikahan adalah adalah akad yang dilakukan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan senghaja.  Sedangkan secara terminologi pernikahan adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan suami istri dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang yang diridhoi Allah Swt.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif (negara). Sebelum lahirnya undang -undang pernikahan mengenai tata cara pernikahan bagi orang Indonesia pada umumnya diatur menurut hukum agama dan hukum adat masing-masing. dan setelah berlakunya hukum negara yang mengatur mengenai masalah pernikahan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan. Namun untuk membentuk suatu pernikahan di dalam Undang-Undang hukum pernikahan telah di tetapkan syarat- syaratnya seperti mengenai batas usia untuk dapat melakukan pernikahan (syarat materiil) salah satunya KetenTuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun.” Batasan ini di maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan pernikahan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pernikahan di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di Kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, dan lain-lain.
Namun pada kenyataanya pernikahan di bawah umur pada masa zaman dahulu sampai pada zaman sekarang masih banyak sekali yang terjadi Meskipun demikian dalam hal pernikahan di bawah umur terpaksa dilakukan.  Diantara pernikahan dini pada masyarakat Banjar mempunyai pengaruh yang tidak baik bagi mereka yang melakukan pernikahan dini. Pengaruhnya akan dirasakan dalam persoalan rumah tangga, seperti pertengkaran suami istri dikarenakan emosi yang masih labil. Di dalam kehidupan rumah tangga pertengkaran ialah hal yang biasa namun jika terjadi terus menerus akan mengakibatkan perceraian.
Pada masyarakat Banjar menurut data yang peneliti peroleh masyarakat yang melakukan pernikahan dini ada dua yaitu masyarakat pedesaan dan perkotaan. Di masyarakat pedesaan pernikahan dini pada umumnya terjadi pada masyarakat yang memiliki ekonomi rendah kebawah yang lebih merupakan bentuk sosial pada pembagian peran dan tanggung jawab dari keluarga perempuan pada suami. Sedangkan pada masyarakat perkotaan pada umumnya pernikahan dini terjadi karena kecelakaan yang diakibatkan pergaulan bebas.
Kadar pengetahuan dan kesiapan perempuan dalam menghadapi rumah tangga sering kali menjadi kendala, baik kesiapan fisik maupun mental seringkali menjadi masalah. Peneliti menemukan bahwa tingkat pengaruh pendidikan yang rendah, baik orang tua maupun anak, serta perekonomian yang lemah menjadi sebab banyaknya kasus pernikahan dini. Dan hal ini rentan sekali dengan perceraian.
Masalah perceraian umumnya terjadi karena sudah tidak lagi memegang amanah sebagai istri atau suami, istri sudah tidak menghargai suami sebagai kepala rumah tangga atau suami yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Apabila mereka mempertahankan ego masing-masing maka akan menimbulkan masalah perceraian Namun tidak mungkin di pungkiri bahwa tidak sedikit dari mereka yang telah melangsukan pernikahan di usia dini dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan keluarga sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
Kematangan pola pikir maupun emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjadi kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya pernikahan maka status sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami istri dan sah secara hukum.
Berdasarkan data yang peneliti temukan pengaruh faktor sosial sangat berpengaruh terhadap pernikahan dini terutama menyangkut status sosial menyangkut pekerjaan.Pekerjaan seseorang dapat mengukur kedudukan seseorang di masyarakat. Dimana pada saat penelitian beberapa informan mengaku memiliki tingkat ekonomi yang masih rendah. Berbagai konsekuensi negatif dari nikah dini pada masyarakat Banjar yaitu terjadinya perceraian yang banyak penulis dari laporan informan karena dapat menimbulkan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga disebabkan belum siapnya fisik dan mental.
Seiring dengan meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dan rendahnya keluarga memenuhi kebutuhan hidupnya, maka sebab itu keluarga lebih memilih anaknya untuk bekerja dan menikah lebih dahulu daripada menlanjutkan pendidikan ke jenjang SMP ataupun SMA. Menikah menurut orang tua dapat meringankan beban hidup mereka dalam menghidupi keluarga tanpa berpikir panjang apa dampak masa depan bagi anak. Padahal anak mereka belum cukup dewasa untuk dinikahkan. Sementara pernikahan yang sukses pasti membutuhkan kedewasaan dan tanggung jawab secara fisik mapun mental untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan rumah tangga. Fakta dalam realitas sosial fenomena pernikahan dini menimbulkan kontroversi di masyarakat karena adanya perbedaan dari berbagai macam sudut pandang.
Fenomena pernikahan anak ini bukanlah fenomena baru, namun pada masa lalu, anak yang dinikahkan pada umumnya mendapatkan dukungan sosial, senantiasa didampingi keluarga besar untuk proses belajar berumah tangga. Di masa lalu, standar kebutuhan keluarga juga tak tinggi mereka cukup sandang, pangan dan papan. Hal ini membuat daya dukung sosial ekonomi pedesaan umumnya dapat menunjang keluarga baru. Dalam siuasi di mana daya dukung alam hilang.
Berdasarkan hasil analisis penelitian penulis diketahui bahwa sebagian masyarakat banjar yang melakukan pernikahan dini termasuk dalam katagori rendah yaitu kebanyakan bekerja di bidang pertanian dengan penghasilan pas-pasan dan pengeluaran yang besar. Menurut Vue, pernikahan dini terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan perkapita dibawah standar pendapatan yang harus dipenuhi, dalam hal senilai dengan 1 US$ atau Rp 10.000,00 per hari atau Rp 300.000,00 per bulan.
Dalam keluarga-keluarga yang sangat miskin, mengawinkan anak perempuan seringkali dibayangkan sebagai jalan keluar dari kemiskinan keluarga. Namun pada kenyataannya pernikahan mereka condrong menjadi beban bagi keluarga pihak perempuan. Sangat jarang pasangan pernikahan muda yang menetap di keluarga laki-laki, sebab pada dasarnya ibu dari pihak perempuan merupakan mentor dan sekaligus sebagai penunjang rumah tangga anaknya. Tidak jarang sang menantu tidak membawa nafkah tambahan atau bahkan menjadi beban tambahan bagi keluarga perempuan. Situasi ini kerap menyebabkan usia pernikahan itu bisa sangat pendek dengan meninggalkan anak perempuan dari keluarga miskin yang telah hamil atau melahirkan.
Dalam struktur relasi timpang secara gender anak perempuan menjadi korban paling pertama dari perubahan perubahan yang berdampak negative kepada keluarga, komunitas, dan struktur sosial tingkat desa di mana mereka tumbuh dan berkembang. Dalam struktur semacam ini anak-anak perempuan menjadi kehilangan pranata yang seharusnya menjadi pelindung mereka.
Pada masyarakat Banjar menikah adalah hal yang sangat sakral yang sarat dengan nilai yang erat kaitannya dengan budaya, agama, ekonomi, dan lingkungan sekitar yang membuat perempuan memasuki jenjang dalam lembaga pernikahan. Dalam budaya patriarkis menikah tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial tetapi juga agar perempuan kelihatan sempurna yakni menjadi istri dan kemudian ibu.
Perubahan status seseorang dari belum nikah menjadi nikah akan membawa peubahan peranannnya dalam masyarakat atau secara ritual telah memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak baru. Selain itu taraf ekonomi penduduk yang rendah tidak cukup untuk menjamin kelanjutan pendidikan anak. Jika seorang anak perempuan telah menamatkan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, ia hanya tinggal di rumah. Selain itu keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Dalam realitas kehidupan, pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni proses pemiskinan, subordinasi, atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih banyak dan lain-lain.
Latar belakang tersebut seperti kondisi rendahnya pendidikan, kemiskinan penduduk, daerah yang terisolir, kelengkapan lapangan pekerjaan, serta rendahnya mobilitas geografis dan sosial telah mendorong terjadinya pernikahan dini. Pasangan yang menikah dini memiliki beberapa resiko dan konsekuensi dari pernikahan dini, pernikahan dini cenderung melahirkan kemiskinan struktural. Hal ini dapat dilihat setelah pernikahan pasangan cendrung tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada rendahnya pendapatan dan kualitas pendidikan keluarganya.    
Latar pendidikan yang rendah juga sangat berpengaruh pada pola pikir dan kualitas hidup seseorang sehingga ancaman kemiskinan selalu menjadi dampak pernikahan anak. Hampir semua anak-anak perempuan yang dinikahkan dan berhasil kami temui tidak memiliki pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Tak seorang pun dari mereka melanjutkan sekolahnya setelah menikah.
Salah satu dampak buruk dari pernikahan dini adalah ancaman kemiskinan. Tidak banyak pilihan bagi anak perempuan yang dinikahkan setelah menikah. Semakin muda usia anak menikah, maka potensinya mengalami kemiskinan juga semakin besar akibat putus sekolah dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak khususnya mereka yang lahir dari keluarga berpenghasilan rendah.
Nyaris tak ada pernikahan anak yang tak berdampak langsung secara sosial. Dampak sosial paling langsung adalah berhentinya akses pendidikan. Tak ada satu pun perangkat sosial formal yang ditemui di lapangan yang dijadikan sarana untuk pendidikan anak perempuan yang telah menikah. Padahal lembaga pendidikan dapat membuka lebih luas, bukan hanya cakrawala pengetahuan anak, melainkan juga peluang-peluang agar dapat menjalani masa datang yang lebih keras. Selain itu lembaga pendidikan mungkin juga dapat menjadi sarana berbagi bagi anak-anak yang telah menikah, baik untuk mendapatkan dukungan sosial lebih luas, maupun untuk menyediakan pembelajaran bagi mereka yang belum menikah.
Pada hakekatnya, penikahan di bawah umur juga mempunyai sisi positif. Pada saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi cenderung tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu sering dijumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Kenyataan ini menjelaskan pernikahan di bawah umur merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang semakin dikhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggunjwab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ maka harus dilakukan.
Dari hasil penelitian yang peneliti dapatkan terjadinya pernikahan anak pada umumnya disebabkan faktor kemiskinan sosial dan direspon dengan pernikahan anak selain itu juga karena tidak tersedianya infrastruktur yang memungkinkan anak bisa bertahan lebih lama menjalani masa remajanya dengan misalnya bersekolah.
Selain itu dari sisi keagamaan, praktik pernikahan dini dalam kenyataannya didukung oleh tokoh agama yang dianut sebagian masyarakat Banjar. Sebagaimana yang ungkapkan oleh pelaku yang mendasarkan pernikahan dini sebagai solusi. Meski usia mereka ketika melangsungkan pernikahan masih di bawah usia 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki, pernikahan menurut pandangan mereka dianggap sebagai jalan atau pintu yang diperbolehkan agama untuk melangsungkan pernikahan. Pilihan terhadap pernikahan secara agama ini dianggapnya mampu menyudahi faktor-faktor yang melatari untuk segera melangsungkan pernikahan. Terlebih pandangan seperti ini mendapat dukungan dari tokoh agama dan bahkan berkenan untuk menikahkannya. Meski tidak semua tokoh agama memiliki pandangan yang sama.
Problematika pergaulan yang bebas dan tidak terkendali dikalangan remaja di satu sisi telah berdampak pada praktek seksualitas bebas dan kehamilan di luar nikar, disatu sisi para tokoh agama memiliki tanggung jawab yang tinggi di masyarakat menyebabkan mereka mendukung pernikahan dini. Menurut H. Husni Rahman, seorang kepala KUA masyarakat di daerah ini tidak menolak dengan pandangan keagamaan yang dianut Tuan guru.
Mayoritas masyarakat Banjar memeluk agama Islam. Mereka sangat memegang teguh ajaran agama sebagaimana mereka pahami. Kenyataan ini kemudian menempatkan Tuan guru sebagai tokoh agama pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat, bahkan bagi masyarakat Banjar terkenal dengan istilah sami’na waata’na, apa yang diucapkan dan dikerjakan Tuan guru dilaksanakan meskipun berat.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam soal pernikahan seorang Tuan guru akan selalu menjadi rujukan. Sebagian besar masyarakat di pedesaan kerap berkonsultasi mengenai waktu baik untuk menikahkan putra-putri mereka. Bahkan mereka pun dimintai pendapatnya mengenai hiburan yang pantas dalam resepsi. Namun kebanyakan Tuan guru diperkampungan tidak pernah mencegah ketika ada orang tua mau menikahkan anaknya yang masih kecil. Bahkan mereka bersedia menjadi penghulu dadakan. Penghulu dadakan adalah penghulu tak resmi yang diperankan oleh para guru/tokoh masyarakat lokal di perkampungan. Mereka diminta atau ditunjuk oleh orang tua pasangan calon pengantin untuk menggantikan kepala KUA atau penghulu resmi KUA yang tidak mau menikahkan karena masih di  bawah umur. Mereka menjadi alternatif ketika permohonan ke KUA ditolak dan diarahkan meminta dispensasi ke Pengadilan Agama.
Para guru mengaji yang memimpin masyarakat dinilai masyarakat awam, memiliki otoritas untuk menikahkan karena pengetahuan agamanya. Biasanya mereka berpatokan pada hadis atau riwayat dengan pemahaman yang sederhana. Kalau dilihat di dalam kitab-kitab rujukan mereka usia 16 tahun dan 19 tahun sudah dianggap cukup untuk menikah. Bahkan perempuan usia 12 tahun sudah dianggap bisa dinikahi. Banyak tokoh agama yang berpedoman pada ini dan mereka tidak ragu untuk menikahkan anak-anak mereka yang baru lulus SD.
Para kepala desa bukannya tidak tahu praktik pernikahan dini itu terjadi. Hanya saja mereka tidak bisa berbuat banyak ketika harus berhadapan dengan budaya yang berlaku dimasyarakat. Menurut penuturan Bapak Khairani, Kepala Desa Mandingin, pernikahan anak di desa tidak bisa dilarang, karena hukum yang berlaku di masyarakat desanya yaitu hukum agamambudaya, tradisi. Dan hukum tradisi lebih kuat diyakini masyarakat. Meskipun lebih condrong ke hukum adat tetapi peraturan pemerintah tetap berjalan, khususnya terkait dengan syarat adminstrasi, seperti KTP, KK, dan ijazah. Kalau syarat-syarat ini tidak lengkap menurutnya izin nikah dari Negara tidak akan ada. 
Sebagian tokoh agama di Banjar khususnya guru-guru yang ada di pedesaan merujuk kepada riwayat yang menceritakan tentang pernikahan Rasulullah Saw. dengan Siti Aisyah seperti diketahui terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Siti Aisyah di usia 6 tahun dan berkumpul dengannya di usia 9 tahun. Kendati keabsahan riwayat ini masih diperdebatkan dikalangan ulama kontemporer.
Di kalangan ulama klasik sendiri terdapat perbedaan dalam menyikapi hadis yang menjelaskan pernikahan Nabi Muhammad Saw. dengan Siti Aisyah. Imam Ibn Hazm, seorang ulama Andalusia berpendapat bahwa bagi kaum laki-laki tidak boleh nikah di bawah umur sebab Nabi Muhammad sebagai teladan nikah pertama kali pada usia 25 tahun, sedangkan bagi perempuan diperbolehkan nikah dibawah umur asalkan sudah haid sebagaimana dicontohkan Aisyah. Imam Ibn Syabramah dan Imam Abu Bakar al-A’sham tegas menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur adalah haram, sebab pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah yang masih berusia 9 tahun adalah kekhususan Nabi yang tidak boleh ditiru oleh umatnya. Keberagaman pendapat para ulama ini menunjukkan bahwa substansi hadis ini masih diperdebatkan dan ditafsirkan dan bukan sebuah pemaknaan tunggal secara harfiah saja.
Mengadu teks dengan teks soal pernikahan Nabi dengan Aisyah bisa dilihat dari sikap Nabi yang berbeda misalnya ketika menolak lamaran dua khalifah sebelum Ali yang melamar Fatimah. Jawaban Nabi kira-kira “nanti dulu, dia masih kecil”. Di antara dua praktik itu kewarasan akal membimbing manusia pada alasan yang paling masuk akal. Menundanya karena belum waktunya.
Upaya lain menelusuri referensi lain di luar hadis, misalnya menggunakan penulusuran sejarah Nabi Muhammad. Dari sejumlah ahli sejarah yang meriwayatkan Nabi, ada celah untuk menafsirkan bahwa usia Aisyah bukan enam tahun ketika dinikahi Nabi. Kesulitan untuk menggunakan teks diluar hadis, seperti referensi sejarah ini adalah karena sifatnya bukan teks rujukan. Jadi ini hanya sekilas info.
Soal usia Aisyah 9 tahun digauli, kita bisa melihatnya dua hal pertama, konteks zaman memang biasa seperti itu, kedewasaan anak dilihat dari kecerdasan sosial, spiritual dan mental dan ketika itu Aisyah telah mencapainya dan bukan batas umur biologis numeric angka sebagai rujukan.
Jika alasannya konteks yang menyebutkan bahwa kedewasaan itu relatif tergantung konteksnya dengan ciri-ciri kedewasaan mental, spiritual dan fisik, maka penentuan angka umur pernikahan anak pun bisa relatif. Jika di masa lampau tuntutan umat muslim Indonesia meminta Negara menaikannya menjadi 16 tahun, maka kini umat muslim juga menuntut untuk menaikannya lagi sesuai ukuran tuntutan kedewasaaan itu sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menghalangi Fatimah menikah di usia dini. Di Indonesia terutama didaerah-daerah pedesaan, masih banyak terdapat pernikahan dibawah umur, kebiasaan ini berasal dari adat yang berlaku sejak dahulu yang mentradisi hingga sekarang.
Ukuran pernikahan dimasyarakat seperti itu adalah kematangan fisik belaka (haid, bentuk tubuh yang sudah menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder) atau bahkan hal-hal yang sama sekaii tidak ada kaitannya dengan calon pengantin misainya panen, utang piutang antara orang tua dan sebagainya. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat di Indonesia masih terjadi anak-anak berumur 9-13 tahun sudah menikah.
Usia pernikahan dalam pemikiran hukum Islam hanya dipersyaratkan telah mencapai baligh antara kedua calon suami istri, dengan syarat -syarat dan rukun pernikahan. Salah satu syarat sah pernikahan adaiah mencapai usia baligh, sehingga secara tegas harus memenuhi ketenTuan hukum Islam yang sesuai dengan ketenTuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan.
Berdasarkan paparan di atas menurut hemat penulis secara keagamaan pernikahan dini masih diperbolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Akan tetapi untuk masa sekarang perlu dipertimbangkan lagi untuk menikah dini apalagi kemaslahatannya, mungkin pada zaman dulu pernikahan dini tidak terlalu menimbulkan darurat, tetapi kalau sekarang pernikahan dini jika banyak menimbulkan masalah maka sebaiknya dipertimbangkan dahulu.
3.2  Pernikahan Dini Masyarakat Banjar Menurut Budaya
Hasil penelitian lapangan membuktikan bahwa pernikahan dini masyarakat Banjar termasuk tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data BKKBN bahwa Provinsi Kalimantan Selatan termasuk daerah yang tertinggi angka pernikahan dininya. Faktor yang paling kuat adalah karena tradisi yang masih dipertahankan sampai hari ini dan pandangan agama yang mengusung nikah anak sebagai suatu yang sah. Sehingga berbagai persoalan misalkan tentang kemiskinan direspon melalui pernikahan dini dengan berdalil atas nama tradisi dan agama padahal bertujuan meringankan beban orang tua dan memindahkan tanggung jawab kepada suaminya.
Adat dan tradisi juga berperan dalam memperkeruh pernikahan dini seperti tradisi menjodohkan anak. Dari data informan diketahui bahwa masih banyak tradisi menjodohkan anaknya di usia anak-anak. Tradisi perjodohan di masyarakat Banjar khususnya didaerah pedesaan tidak segan mengawinkan anak-anak perempuan demi mengamankan atau memperbesar aset keluarga. Perempuan dianggap tidak perlu mengeyam pendidikan tinggi jika semua kebutuhan hidupnya terpenuhi.
Tradisi menikah dini biasanya terjadi pada kehidupan keluarga petani yang mayoritas dari keluarga prasejahtera. PenenTuan menikah sepenuhnya ditentukan oleh keluarga orang tua yaitu bapak atau ibu. Sedangkan anak yang akan menikah jarang dilibatkan dalam membuat keputusan penting. Sebagai tradisi turun temurun akan melahirkan rantai kemiskinan dan berbagai permasalahan yang sulit dibendung.  
Masyarakat Banjar yang terletak di kecamatan Labuan Amas Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Desa ini jauh dari kota, sehingga penduduknya berpendidikan rendah. Menurut informan anak-anak yang menikah dini salah satu penyebabnya jauh dari sekolah sehingga anka-anak tidak ada kegiatan lagi. Jadi wajar jika banyak penduduknya yang berpendidikan rendah. Banyak anak muda di sana yang sudah memiliki anak, kebanyakan memilih menikah daripada sekolah lebih tinggi.
Berdasarkan data dari informan kebanyakan masyarakat banjar khususnya dipedesaan para orang tua takut jika anaknya khususnya perempuan dikatakan perawan tua, ada juga yang mengatakan jika lama menikah diejek masyarakat “tidak laku” dan ada juga yang mengtakan jika lamaran laki-laki yang melamar ke rumah maka tidak bagus dan ada mitos tertentu. Dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga tersebut secara otomatis akan mengikuti tradisi tersebut. Faktor yang mendasari hal tersebut berdasarkan data yang penulis gali dari informan ada keterkaitannya dengan pandangan keagaman bahwa boleh saja menikahkan anak pada usia dini berdasarkan hadis Nabi tentang pernikahan Nabi Saw. dengan Siti Aisyah.
Tradisi yang diyakini masyarakat Banjar tertentu semakin menambah persentase pernikahan dini pada masyarakat Banjar. Hal ini menarik persentase pernikahan dini di Kalimantan Selatan khususnya masyarakat Banjar yang ada dipedesaan memiliki persentase tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) Kalimatan Selatan angka pernikahan dini di pedesaan lebih tinggi jumlahnya dibandingkan dengan perkotaan. Angka yang tertinggi kebanyakan di daerah pelosok-pelosok hulu sungai.
Masyarakat menilai bahwa pernikahan dini sebagai konstruksi sosial agar tidak disebut sebagai perawan tua. Konstruksi sosial menurut Peter L Berger dan Thomas Luckmann merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu-individu menciptakan terus menerus suatu realitas atau kenyataan yang dimiliki dan dialaminya. Meskipun istilah konstruksi sosial berkaitan dengan sosiologi pengetahuan, ada beragam pendapat yang seharusnya dimaksud dengan pengetahuan dalam konteks ini, Peter Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui tiga momen dialektis yang similutan yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia. Tradisi pernikahan dalam budaya masyarakat Banjar sejak dahulu sudah ada. Mitos tentang perawan tua jika anaknya tidak dinikahkan, gunjingan tidak laku jika anaknya tidak dinikahkan dan aib keluarga jika menolak lamaran laki-laki. Isu kemiskinan juga seringkali terjadi hingga anaknya dinikahkan di usia dini. Selain itu perjodohan juga sering terjadi, tak heran anaknya di usia anak sudah di tunangkan dengan laki-laki.
Objektifikasi adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. hasil ini berupa realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif. Faktor ekonomi, sosial, dan budaya adalah realitas objektif masyarakat Banjar yang memilih pernikahan dini sebagai alternatif keluar dari kesusahan. Pada akhirnya masyarakat membuat pernikahan dini sebagai tradisi.
Internalisasi, masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas objektif ditafsiri secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk mengambil alih dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi dilakukan seumur hidup melibatkan sosialisasi baik primer maupun sekunder. Dengan diterimanya definisi tersebut, individu pun bahkan hanya mampu memahami definisi orang lain tetapi lebih dari itu turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi itulah individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus pengubah masyarakat.
Pernikahan dini pada masyarakat Banjar masih bisa ditolak, diterima bahkan dikembangkan menjadi budaya tergantung dari individu masing-masing. Dengan kata lain bahwa individu mempunyai kuasa untuk meneruskan atau tidak. Individu yang telah menjabat sebagai tokoh agama atau tokoh masyarakat di Banjar, maka tindakan ini sebagian besar dilakukan untuk menghormati etika budaya masyarakat Banjar yaitu meneruskan tradisi budaya pernikahan dini.
Dengan kondisi tradisi masyarakat pedesaan yang kebanyakan menikahkan anaknya di usia dini jika dibiarkan terus menerus maka akan berdampak pada kesempatan seorang remaja untuk meraih pendidikannya kejenjang lebih tinggi, kurangnya berinteraksi dengan lingkungan sebaya apalagi jika anak perempuan, kurang memiliki waktu mengasah potensi dan kurangnya kesempatan bekerja bagi perempuan hingga selanjutnya kondisi ini akan menanmbah kuota kemiskinan.
Berdasarkan fakta di lapangan, suatu kenyataan yang dapat kita lihat bahwa pernikahan dini pada masyarakat Banjar pada umumnya terjadi banyak dipengaruhi adat tradisi walaupun masyarakat pada umumnya sudah tahu dengan regulasi pemerintah tentang batas usia pernikahan akan tetapi itu bukanlah menjadi penghalang bagi masyarakat untuk menikahkan anaknya di usia dini.
Praktik perniakahan dini pada masyarakat Banjar menurut penulis merupakan tradisi yang sudah ada dalam keluarga. Dengan adanya anggapan-anggapan seperti bujangan tua, perawan tua, tidak laku dan lain-lain. Dimana hal ini akan membawa masyarakat ke suatu paradigma yang nantinya akan menyulitkan mereka dengan anggapan seperti itu.  
Selain itu pernikahan dini pada masyarakat Banjar terutama di pedesaan keinginan menikah mucul ada yang disebabkan oleh keinginan sendiri dan ada juga dijodohkan orang Tuanya yang kebanyakan dipengaruhi oleh tradisi budaya setempat yang juga kebanyakan menikah di usia dini. Hal ini dipengaruhi pandangan keagamaan yang diajarkan oleh guru-guru agama di desa untuk menikahkan anaknya di usia muda, karena bagi perempuan yang sudah baligh tidak baik menyendiri terlalu lama, khawatir terjadi sesuatu yang kurang baik.
Hal ini sesuai dengan teori ketertarikan yang diungkapkan oleh Olson De Frain yang dikenal dengan teori the stimulus value role theory, ia menyebutkan bahwa “pemilihan pasangan merupakan proses dimana individu tertarik pada calon pasangannya berdasarkan stimulus tertentu”. Stimulus yang dimaksud dalam penelitian ini dapat diartikan seperti ketertarikan terhadap daya tarik fisik, setelah tertarik pada fisik maka ketertarikan akan muncul ketika keduanya sama-sama mengetahui memiliki keyakinan yang sama, nilai yang sama, perasaan yang sama, strata keluarga yang hampir sama, pendidikan yang sama, budaya yang sama dan lain sebagainya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lott dan Lott dalam teori reinforcement yang menyatakan bahwa “setiap orang dirangsang unttrk menyukai orang lain”. Hal ini di dukung oleh pendapat Dryfoos “sejumlah remaja yakin bahwa meningkatnya keberanian remaja mengambil resiko, bukan disebabkan oleh faktor kematangan seperti egosentrisme, tetapi lebih disebabkan oleh faktor konstetoral seperti kemiskinan, ekonomi keluarga yang buruk, dukungan pendidikan yang kurang memadai”.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan di lapangan pendapat Dryfoos yaitu faktor pernikaahn dini yang disebabkan kemiskinan, ekonomi keluarga yang buruk di tambah pendidikan kurang memadai sesuai dengan faktor yang menyebabkan pernikahan dini pada masyarakat Banjar. Hal ini ada keterkaitannya dengan pengaruh budaya tradisi masyarakat yang terus menerus menikahkan adanya di usia muda.

3.3    Maqasid Al-Syariah Pernikahan Dini
Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya sebuah institusi kecil dalam keluarga. Pernikahan sangat penting bagi kehidupan manusia perseorangan maupun kelompok. Melalui pernikahan yang sah, pergaulan antara laki laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil pernikahan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah Swt.
Dalam pandangan hukum Islam pernikahan merupakan suatu ibadah dan merupakan perintah Allah Swt. dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Perintah Allah Swt. berarti menurut perintah al-Quran sedangkan sunnah Rasul berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.
Oleh karena itu dalam pernikahan harus diatur sedemikian rupa dalam rangka mencapai tujuan keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.  Tujuan pernikahan pada dasarnya memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di dunia ini. Selain itu untuk mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan keluarga dan masyarakat.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan. Perempuan dalam sejarah digambarkan sebagai makhluk yang sekadar menjadi pemuas hawa nafsu kaum laki-laki. Pernikahan adalah pranata yang menyebabkan seorang perempuan mendapatkan perlindungan dari suaminya. Keperluan hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, anak yang dilahirkan tidak diketahui siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mendidiknya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana layaknya binatang, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara sesama manusia, yang mungkin juga dapat menimbulkan pembunuhan yang mahadahsyat. Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan Negara.
Zakiyah Darajat dkk. Mengemukakan Lima tujuan dalam pernikahan, yaitu :
1.       Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2.       Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3.       Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4.       Menambahkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5.       Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Menurut dr. Ali Sibra M, ketentuan usia pernikahan dalam pasal 7 ayat 1&2 UU No.1 Tahun 1974 tidaklah cocok untuk dijadikan tolak ukur terjadinya sebuah pernikahan, karena pada usia di bawah 20 tahun seseorang masih belum mengalami kedewasaan dalam dirinya dan organ reproduksi belum matang dan tidak siap untuk mengalami kehamilan sampai persalinan.
Secara sosial mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalani bahtera rumah tangga dan hidup bermasyarakat dengan masyarakat sekitar. Pernikahan dalam usia di bawah 20 tahun akan mengakibatkan putusnya sekolah dan membuat wanita secara permanen menjadi tidak mandiri dan selalu bergantung pada suaminya, sehingga nantinya akan mempengaruhi pada status sosial dan ekonomi. Seorang istri yang masih remaja biasanya mempunyai pendidikan yang rendah sehingga mereka mengalami ketergantungan kepada suami dan keluarganya, termasuk juga dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi. Dengan demikian mereka lebih mungkin terjadi banyak risiko kesehatan, kekerasan, infeksi menular seksual termasuk HIV dan AIDS.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh LKBH Fakultas Hukum Univetaitas Wiralodra, Indramayu menyimpulkan bahwa banyak sekali pernikahan di bawah umur di Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu yang berakhir dengan perceraian. Bahkan setelah perceraian terjadi, sang perempuan pada umumnya lantas menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau Pekerja Seks komersial (PSK). Parahnya, sang penjual itu adalah orang Tuanya sendiri.
Melihat pandangan pakar medis dan hasil penelitian oleh LKBH di atas seakan membukaan mata kita bahwa sebenarnya menikah di usia dini yaitu di bawah 20 tahun justru akan mengakibatkan beberapa bahaya bagi pasangan suami istri dan anak yang dilahirkan, yang justru jauh dari tujuan-tujuan yang diharapkan dari pensyariatan pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan di bawah usia 20 tahun bagi perempuan sebenarnya tidak mencerminkan dan tidak merealisasikan tujuan pernikahan.
Berdasarkan uraian terdahulu menurut hemat penulis pelaku yang menikah muda belum tentu semuanya bahagia meskipun ada segelintir orang yang menikmati menikah muda. Tetapi berdasarkan data-data yang penulis dapatkan, pernikahan dini besar kemungkinan tidak bahagia, karena pada dasarnya seseorang yang menikah muda memiliki pola pikir yang belum sempurna apalagi wanita.
Menurut hemat penulis pernikahan akan bahagia jika pasangan mengerti arti makna dan tujuan pernikahan, meski salah satu pasangan berusia belia tetapi jika dia mengerti makna dan tujuan pernikahan kemungkinan dia akan bahagia dan tujuan pernikahannya akan tercapai. Akan tetapi jika salah satu pasangan tidak memiliki kesiapan termasuk tidak mengerti makna dan tujuan pernikahan maka kemungkinan besar yang akan dialami adalah pertengkaran terus menerus yang berujung perceraian.
Dari infoman menikah muda banyak memiliki dampak yang negatif. Dan ini disebabkan kurang siapnya mereka dalam menghadapi pernikahan, selain itu mereka belum matang dari segi usia mental. Dan yang akan terjadi konflik terus menerus serta adanya rasa egois dan ingin menang sendiri. Sehingga terjadilah kekerasan fisik, batin pada salah satu pasangan muda.
Selain itu peneliti juga menemukan data dari sejumlah informan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pelaku dini tidak semuanya berlangsung dengan harmonis. Padahal tujuan perniakahan adalah supaya membentuk keluarga yang harmonis bahagia sesuai dengan prinsip sakinah, mawaddah wa rahmah. Keluarga yang harmonis bisa diperoleh jika pasangannya sudah siap untuk berumah tangga. Dengan menjadi keluarga harmonis maka tujuan pernikahan dapat tercapai yaitu keluarga yang penuh dengan ketenanagan, ketentraman, kasih sayang, keturunan berbelas kasih sayang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, menjaga garis keturunan, menjaga pola hubungan keluarga, menjaga keberagamaan dalam keluarga, dan mepersiapkan aspek ekonomi. Beberapa tujuan ini tentunya tidak bisa direalisasikan secara maksimal jika terjadi pernikahan dini karena umur 16 bagi perempuan bukanlah umur ideal, selain itu dalam kehidupan rumah tangga juga harus saling melengkapi dan saling mengerti agar keluarga bisa hidup rukun bukan mencari kesalahan pasangan karena makhluk ciptaan Allah pasti ada perbedaan apalagi kekurangan, oleh sebab itu kita harus sabar dan saling pengertian dan caranya harus dipersiapkan lebih dahulu sebelum menikah agar setelah menikah dapat tercapai keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Masalah pernikahan dini pada masyarakat Banjar yang penulis temui telah memunculkan persoalan kemanusiaan. Pernikahan dini telah merampas kehidupan dan masa depannya. Pertanyaannya, bagaimana cara melakukan counter terhadap narasi-narasi serupa itu yang pada dasarnya bersandar pada teks keagamaan, minimal hadis? menghadirkan narasi alternatif penting karena argumen-argumen itu bersama alasan sosial ekonomi lainnya telah melanggengkan praktik pernikahan dini. Padahal dari sisi apapun pernikahan dini tak memberikan manfaat melainkan mafsadat bagi anak perempuan bahkan anak yang akan dilahirkan.
Dalam praktiknya di zaman lampau mungkin menikahkan anak tidak dianggap persoalan. Baik karena kurangnya pengetahuan mengenai dampak atau karena daya dukung sosial-ekonomi ketika itu dapat menyangga beban perempuan muda dalam menjalankan perannya sebagai ibu. Namun hasil penelitian di sepanjang waktu menunjukkan pernikahan dini lebih banyak memunculkan mafsadat daripada manfaat.
Pernikahan dini adalah fakta penderitaan anak perempuan, mafsadat seperti kemiskinan dan kebodohan yang ditimbulkannya adalah fakta. Namun sejumlah teks membenarkan atau tak langsung melarang praktik ini. Dalam keadaan serupa metode istiqra dapat membantu mencari jalan keluar untuk menemukan hukum atas pernikahan dini.
Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra (induksi) artinya sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus yang digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Fakta-fakta khusus yang dimaksud diperoleh menggunakan pengetahuan akal, pemikiran yang didapat dari realitas kehidupan atau dalam bahasa kekininian.
Al-Syaithibi berupaya merekonstruksi metodologi hukum Islam dengan meneliti substansi makna yang terkandung dalam suatu gagasan hukum. Menurutnya atas landasan itulah penyelesaian persoalan-persoalan baru dapat dilakukan. Makna yang terkandung dalam suatu gagasan hukum ini populer dengan istilah maqasid al-syariah. Maqasid al-syariah ini merupakan landasan yang paling mendasar dari ilmu syariah.
Metode istiqra ini pada dasarnya memberi kebebasan pada akal untuk memahami sebuah teks. Tetapi kebebasan akal ini dibatasi oleh konsep maqasid atau maslahah yang secara berurutan disebut al-Syaitibi yakni maslahah dharuriyyah (primer), maslahah hajiyah (sekunder) dan tahsiniyyah (tersier). Dalam analisa al-Syathibi konsep maslahah sebagai prinsip harus sesuai dengan tujuan penerapan syariat yang secara rinci ditunjukan untuk memelihara agama,diri, akal,keturuan, dan harta.
Dengan mengacu kepada landasan maqasid al syariah, maka penurut hemat penulis pernikahan dini tidak diperbolehkan dengan argumentasi bahwa al Quran menyebut pernikahan itu sebagai al-mitsaq al-ghalizah (perjanjian yang kokoh), sehingga tidak bisa dianggap sederhana dan ringan. Karenanya dalam pernikahan dibutuhkan kecakapan, kemampuan dan kesiapan dari kedua belah pasangan, laki-laki dan perempuan dan juga maslahat serta menimbulkan madharat bagi tubuh dan mental rumah tangganya, reproduksinya, sosialnya dan pendidikannya.
Dalam kenyataan hidup dapat disaksikan betapa banyak dampak negatif dari pernikahan dini, baik yang menyangkut kesehatan tubuh perempuan, reproduksinya seperti melahirkan anak prematur, keguguran, lemah atau belum siapnya mental sehingga mudah perceraian. Dampak pada sosial dan pendidikannya pun buruk, sebab pada usia anak-anak yang mestinya diisi dengan belajardan sekolah justru diisi dengan kesibukan rumah tangga yang pada akhirnya terjadi pembodohan diakibatkan putus sekolah sebagai konsekuensi dari pernikahannya. Seluruh dampak negatif tersebut bertentangan dengan tujuan-tujuan luhur dan baik syariat yang bersifat universal yang hendak menjaga dan melindungi agama, tubuh, jiwa, akal dan harta.
Pernikahan dini sama sekali tak membawa kemaslahatan. Terlebih kalau melihat perkembangan zaman yang semakin menuntut beban dan tanggung jawab yang tidak ringan baik dalam segi pendidikan yang menuntut para remaja dan muda mudi untuk belajar dan menuntut ilmu agar siap menjalani hidup secara kompetetif dan pada saat yang sama tuntutan ekonomi juga semakin menekan, agar dapat hidup layak. Jika pernikahan dini hanya akan menyeret pelakunya ke dalam keterbelakangan dan ketidaksanggupan dalam merespon perekembangan sosial, maka semakin banyak orang yang menikah atau dinikahkan di usia anak-anak, semakin banyak pula beban sosial yang harus ditanggung. Sebab para pelaku sosialnya tidak sanggup merespon dan berpartisipasi dalam dinamika dan perkembangan yang sedang berlangsung. Apalagi pernikahan dini telah memicu munculnya problem-problem kesehatan reproduksi. Melihat dampak-dampaknya itu pernikahan dini bukan sekedar problem rumah tangga dan privat melainkan juga sebagai problem sosial.
Pernikahan jelas bukan semata-mata soal hubungan seks. Pernikahan itu bertujuan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Faktor kematangan psikologis yang dipengaruhi oleh pendidikan dan jiga pengalaman hidup akan berpengaruh pada kedewasaan yang menentukan keberlangsungan rumah tangga. Sosok seorang ibu yang dianggap sebagai al-madrasatul al-ula alias sekolah pertama dan terutama bagi anak-anaknya akan gagal dipenuhi bila sang ibu sendiri tidak cukup berpendidikan.
Ibu merupakan pilar keluarga, karenanya harus mempunyai wawasan yang memadai. Bagaimana mungkin perempuan yang belum cukup umur, belum dewasa dan masih suka bermain di jalanan bersama teman-teman sebayanya mampu mendidik generasi harapan bangsa dan menanggung beban rumah tangga yang teramat berat. Meningkatkan kualitas pendidikan bagi perempuan dengan penundaan usia pernikahan akan menjadikan perempuan lebih mempunyai pengetahuan dan kesadaran mengenai tanggung jawab yang akan ia pukul setelah berumah tangga sehingga ia bisa mendidik puta-putrinya dengan baik.
Islam memerintahkan kepada orang tua agar memelihara dan mendidik anak secara baik dan benar. Orang tua tidak boleh menelantarkan anak-anak mereka. Ketika masih bayi anak harus disusui, dirawat dan diberi kasih sayang yang cukup. Setelah tumbuh besar anak berhak memperoleh penghidupan dan pendidikan dan pendidikan yang layak. Sehingga kelak benar-benar menjadi generasi yang berkualitas.
Di antara tujuan pernikahan adalah hifzh al-nasl (menjaga keturunan) yang merupakan salah satu dari kelima dasar tujuan universal hukum syariat, maqasid al-syariah (tujuan-tujuan diturunkannya syariat). Selama ini banyak yang memaknai hifzh al-nasl secara sempit dengan hifzh al-nasab (menjaga nasab) supaya nasab tidak tercampur dan tidak terjadi ‘salah alamat’ kesiapa anak memanggil ayah. Hal ini memang benar adanya. Tetapi maknanya juga mencakup keharusan menciptakan keluarga yang sejahtera. Diantara hak-hak anak yang paling mendasar dan harus dipenuhi oleh orang Tuanya adalah: (1). Memberi nama yang baik; (2). Memberi nafkah; (3) mengkhitan jika laki-laki; (4) mendidik dan menyekolahkan; (5) menikahkan dengan orang (laki-laki/perempuan) yang dicintai.
Kelima hak mendasar tersebut tidak akan terpenuhi bila tidak ada kesiapan dan kecakapan masing-masing dari suami dan istri. Berapa banyak kita temukan anak-anak yang terlantar hanya karena ayah dan ibunya berusia anak-anak yang masih suka bermain karena tak punya cukup pengetahuan. bagaimana cara mengurus rumah tangga. Sehingga kemudian banyak anak-anak yang tinggal dengan nenek dan kakeknya yang sudah tua renta.
Banyak juga kita temukan orang tua yang mengandalkan pendidikan anak-anaknya hanya kepada sekolah. Padahal tidak seluruh waktu anak-anak dihabiskan untuk belajar di sekolah. Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Orang tua yang dewasa, punya pengetahuan memadai dan punya kecakapan dalam mengurus rumah tangga tentu akan tahu apa yang harus dilakukan ketika anak-anak sudah berada di luar sekolah dan kembali ke rumah.
Melahirkan generasi baru merupakan keharusan atau bahkan kewajiban demi berlangsungnya kehidupan umat manusia. Dalam suatu kaidah fikih dikatakan, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib” (Sesuatu yang jika tanpanya sebuah kewajiban tak sempurna, maka sesuatu itu wajib). Dalam konteks menjaga keberlangsungan eksestensi manusia, regenerasi adalah wajib. Tetapi regenerasi ini tidak akan berlangsung dengan baik dan mensejahterakan tanpa mempertimbangkan kualitas individu-individu yang akan bersatu dalam satu keluarga. Sebab hanya individu-individu yang berkualitaslah yang akan sanggup mengambil peran dalam membangun peradaban, mengambil peran dalam dunia kerja dan kesempatan.
Selain itu pernikahan dini juga berbenturan dengan tujuan pernikahan yaitu hifzh al-nasl (menjaga jiwa) menjaga jiwa disini maksudnya menjaga jiwa kemanusiaan terhadap tuhan dan manusia. Islam melarang segala hal yang dapaat menafikan kemanusiaan, seperti berbuat zalim, berperilaku tidak adil, merendahkan orang lain dan lain-lain. Dalam konteks pernikahan dini sebagaimana data yang penulis dapat dari informan diketahui bahwa pernikahan dini ada ketimpangan gender, ketimpangan antar anggota masyarakat, keadaan fisik dan ekonomi yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menghindari terjadinya kezhaliman.

4          SIMPULAN

1.       Faktor-faktor yang menyebabkan di masyarakat Banjar terjadi pernikahan dini adalah faktor ekonomi, sudah menjadi tradisi desa setempat,  sudah mempunyai pekerjaan, putus sekolah, hamil duluan, kehendak orang tua, dan pergaulan.
2.       Maqasid al-syariah dalam pernikahan yakni mendapatkan dan melangsungkan keturunan, memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya, memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, menambahkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Dapat penulis simpulkan pernikahan dini yang ada pada masyarakat Banjar jika disandingkan dengan maqasid al-syariah hukumnya haramnya jika tidak terpenuhinya kewajiban suami seperti memberikan nafkah dan kurangnya kesiapan mental dalam membina rumah tangga.

5          DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta:  Akademika Pressindo, 2010.
Al-Banjary, Muhammad Arsyad. Kitab an-Nikah. Martapura  Yayasan Pendidikan Dalam Pagar, 2002.
Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd. Mu’jam al-Mufakhrasy li al-Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kairo: Maktabah Dar as-Salam, 2008.
Al-Dimasyqiy, Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy. Mauizhah al-Muslimin min Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Dimyati, Muhammad Shatta. Hasniyah I’anah al-Thalibin, Juz 3. Beirut : Darul Fikri, 1997.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya Ulum al-Din Jilid 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah, terj. Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Al-Jaziri, Abd al-Rahman. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah. Kairo: Maktabah al-Tijariyyah,1969.
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. At-Tarifat. Sanqafurah: Alharamain, 2001.
Al-Kahlany, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam Jilid 2 Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Shan'aniy. Subul al-Salam Juz 3. Kairo: Dar al-Ihya' al-Turats al-'Arabiy, 1980.
Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Darl al-Fikr, t.th.
Al-Zuhaili, Wahbah.  Fiqh al-Islamiyyah wa Adillatuh Jilid 4. Beirut, Lebanon: Darul Fikri Mu’ashir, 2002.
An-Naisaburi, Imam Abu Husin Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim Juz 7. Indonesia: Maktabah Dahlan,t.th.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Arni. Kuatnya Tradisi: Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini. Laporan Penelitian UIN Antasari Banjarmasin.
Ash-Shieddieqy, Muhammad Hasbi. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Asmawi. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta:  Darussalam, 2004.
Aulia, Tim Redaksi Nuansa. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa Aulia, 2008.
Bakar, Imam Taqiyyudin bin Abu. Kifayat al-Akhyar Juz 2. Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
Basri, Asrafi Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar:Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
Daudi, Abu. Maulana Syekh Muhammad Arsyad al Banjary (Tuan Haji Besar). Martapura: Madrasah Sullamul Ulum, 1980.
Departemen  Pendidikan  Nasional. Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Departemen Agama R.I. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Departemen Agama, 1997.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Departremen Agama. Ilmu Fiqih. Jakarta: Bagian Perawatan,1983.
Erwinsyah, Argyo Demartoto, dan Supriyadi. “Persepsi Masyarakat Terhadap Pernikahan Usia Dini di Kelurahan Jebres Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Jurnal Analisa Sosiologi,Volume 7, Nomor 1(2018), h. 5.
Gunawan, Roland. Monografi Penelitian Perkawinan Anak Seri No. 4. Yogyakarta: Rumah Kitab, 2016.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hanafiah. Mu’amalat Dalam Tradisi Masyarakat Banjar. Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2012.
Hardani,  Sofia. Perlakuan terhadap anak di dalam perundang-undangan di Indonesia (Telaah Kritis Pasal 7 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Batas Umur Melangsungkan Perkawinan). Bandung: Humaniora Utama Press, 1992.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos,1996.
Hasan, M. Ali.  Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Siraja ,2003.
Hazm, Ibn. Al-Muhalla Juz 9, h. 459, dikutip oleh Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Holilurrahman. Batas Usia Idel Pernikahan Perspektif Maqasid Shariah, Journal of Islamic Studies and Humanities UIN Sunan Ampel,  Vol. 1 No 1. (2016), h. 8.
Ibrahim. Al-Bajuri vol. 2. Semarang: Toha Puha, 1992.
Al-Sijistani, Abî Daud Sulaiman bin al-Asy’ats.. Sunan Abu Dawud Juz 1. Beirut: Darul Fikr, 1994.
Khairuzzaini, Islamisasi Kerajaan Banjar, Tesis tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Madjid, Ahmad Abd. Hakikat Hukum Allah: Sebuah Kajian tentang Pemahaman Hukum yang Diturunkan Allah dan Pelaksanaannya dalam Masyarakat Islam. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Manab, Abdul. Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif. Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Marcoes, Lies, dkk. Maqasid Al Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta:Rumah Kitab, 2018.
Marta, Afri Rahmadia. Keputusan Perempuan Menikah Dini. Jurnal Konselor, Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh, Volume 6 Nomor 3 (2017), h. 101-104.
Mas’ud, Imam Alaudin al-Kasani Abu Bakar bin. Badai’al-Shanai Juz 3. Kairo: Dar al-Hadits, 2005.
Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas Fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqasid al- Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: Lkis, 2010.
Mubarok, Jaih. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS: 2007.
Muhiyah Jaqwad  Muhammad. Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2007.
Mukti Ali, dkk.  Fikih Kawin Anak. Jakarta: Rumah Kitab, 2017.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Yogyakaarta: PP.Munawwir Krapyak, 1984.
Nasution, Khiruddin. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim Dengan Pendekatan Integratif Interkonektif. Yogyakarta: AcadeMia dan Tazzafa, 2009.
Nasution, Khiruddin. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim Dengan Pendekatan Integratif Interkonektif. Yogyakarta: Academia, 2013.
Novia, Umi Chulsum dan Windy. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya, Kashiko, 2006.
Rachmad, Teguh Hidayatul. Kontestasi Pernikahan Dini Dalam Kajian Budaya Madura. Kepanjen: AE Publishing, 2007.
Rahmawati, Ana. Konstruksi Sosial Perempuan Dalam Pernikahan Dini. Skripsi tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Riiyo, Ml. H. Hukum Prkawinan Islam (Situ Ailisis Dari Uu No, 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Rohman, Holilul. Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Syariah, Journal Of Islamic Studies and Humanitis, UIN Sunan Ampel Surabaya Volume 1 Nomor 1. (2016), h. 5.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kaedah ad-dharûrah yuzalu

Lafadz ‘amm dan Khash

Ketersambungan Sanad